Dugaan Pencabulan Anak, Polda Sulsel Copot Jabatan Oknum Perwira
Setelah kasus di Luwu Timur, kekerasan seksual pada anak terjadi lagi di Sulsel. Seorang pelajar SMP mengaku mengalami kekerasan seksual saat bekerja sebagai asisten rumah tangga. Pelaku diduga oknum perwira polisi.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Pihak Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan mencopot jabatan seorang oknum perwira Direktorat Polair setempat yang diduga melakukan pencabulan pada anak di bawah umur. Oknum perwira tersebut kini menjalani pemeriksaan intensif Bidang Propam Polda Sulsel.
”Ya, benar (sudah dicopot). Saat ini untuk perkembangan kasusnya, yang bersangkutan masih dalam pemeriksaan Propam. Kita tunggu saja hasilnya,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sulsel Kombes Komang Suartana, Selasa (1/3/2022).
Sebelumnya, kepada wartawan, Kapolda Sulsel Irjen Nana Sujana mengatakan, Polda akan bertindak tegas jika oknum polisi tersebut terbukti bersalah. Kasus pencabulan ini terungkap dan ramai menjadi pembicaraan dua hari ini saat korban, IS (14), seorang pelajar SMP kelas 1, melaporkan yang dialaminya kepada tantenya di Kalimantan via telepon. Mendengar laporan ini, tantenya memberi tahu kedua orangtua korban.
Keluarga korban sempat merasa khawatir karena yang disebut pelaku oleh korban adalah oknum polisi berpangkat perwira. Mereka kemudian meminta pendampingan hukum.
Amiruddin, kuasa hukum korban, mengatakan, pihaknya siap mendampingi korban dan keluarganya untuk mengungkap kasus ini hingga ke pengadilan. ”Saya sudah membuat laporan ke polisi dan saat ini melengkapi berkas yang diperlukan. Salah satu yang harus dilengkapi adalah bukti hasil visum. Sebenarnya sudah melakukan visum yang pertama, tetapi saya diberi tahu jika masih kurang kuat dan diminta melakukan visum lagi. Hari ini (Selasa) saya ke Rumah Sakit Bhayangkara mendampingi korban untuk melakukan visum,” ujarnya saat dihubungi Kompas, Selasa siang.
Amiruddin mengatakan, berdasarkan pengakuan korban kepadanya, aksi pencabulan ini terjadi sepanjang September tahun lalu hingga akhir Februari 2022. Hal ini dimungkinkan karena sejak September, korban bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah oknum polisi berinisial M ini. Adapun korban adalah anak keenam dari tujuh bersaudara dan berasal dari keluarga kurang mampu.
”Dia bekerja di sana awalnya diajak oleh tetangganya yang dipanggil ’mama botak’. Korban diiming-imingi gaji, bantuan sekolah, dan membantu ekonomi keluarga. Korban menerima tawaran itu dan tinggal di sana sambil melanjutkan sekolah,” kata Amiruddin.
Menurut pengakuan korban, tak lama setelah bekerja, dirinya sudah mengalami kekerasan seksual. Terduga pelaku mengiming-imingi korban dengan janji akan membiayai sekolahnya hingga perguruan tinggi dan juga membelikan gawai. Kekerasan seksual itu terjadi di rumah oknum polisi tersebut.
Semula, korban menolak dan sempat melaporkan hal ini kepada saudaranya. Namun, saudaranya malah meminta korban tidak sembarang menuduh karena yang dituding adalah seorang polisi.
Terduga pelaku mengiming-imingi korban dengan janji akan membiayai sekolahnya hingga perguruan tinggi dan juga membelikan gawai. Kekerasan seksual itu terjadi di rumah oknum polisi tersebut.
”Kalau menurut pengakuan korban, dia dipaksa dan setiap kali sudah melayani, dia diberi uang Rp 250.000. Uang itulah yang dia kumpulkan untuk membeli telepon genggam. Katanya perbuatan tidak seharusnya itu dilakukan beberapa kali hingga pada akhir Februari lalu, korban merasa kesakitan dan sudah tidak tahan. Dia akhirnya melapor ke tantenya,” kata Amiruddin.
Saat ini korban tinggal di rumah salah satu keluarganya. Selain agar bisa fokus pada proses hukum yang sedang berjalan, korban juga akan diupayakan menjalani pemulihan trauma.