Banjir semakin sering melanda Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Lhokseumawe karena daerah aliran sungai dalam keadaan kritis dan tutupan hutan di kawasan hulu kian berkurang.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Banjir karena luapan sungai melanda Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Lhokseumawe sejak Minggu (27/2/2022) hingga Senin (28/2/2022). Ribuan orang mengungsi karena rumahnya terendam.
Berdasarkan laporan dari Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Posdalops) Badan Penanggulangan Bencana Aceh, jumlah desa yang tergenang sebanyak 120 desa.
Desa yang tergenang sebanyak 70 desa di Aceh Timur, 26 desa di Aceh Utara, 14 desa di Lhokseumawe, dan 10 desa di Aceh Tamiang.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Timur Ashadi menuturkan sebanyak 2.855 rumah warga terendam banjir. Dari 10.344 warga yang terdampak, sebanyak 2.178 jiwa mengungsi ke balai desa. ”Banjir meluas. Kami masih mendata desa-desa yang tergenang,” kata Ashadi.
Ketinggian air di permukiman warga 40 sentimeter hingga 1 meter. Beberapa desa di Kecamatan Darul Aman dan Ranto Peureulak, ketinggian air mencapai 1 meter.
Banjir di Aceh Timur juga sempat merendam jalan nasional Aceh-Medan. Namun, kendaraan masih bisa melintasinya. ”Akibat intensitas hujan yang tinggi sejak Jumat (25/2/2022) telah memicu banjir dan tanah longsor,” kata Ashadi.
Di Aceh Utara, banjir melanda sejak Minggu pagi. Kawasan yang tergenang meliputi Kecamatan Pirak Timu, Lhoksukon, Matangkuli, Langkahan, dan Tanah Luas. Kawasan tersebut menjadi langganan banjir.
Kepala BPBD Aceh Utara Asnawi menuturkan, Sungai Keureuto dan Pirak meluap setelah diguyur hujan deras di kawasan hulu di Bener Meriah.
Berdasarkan data sementara dari BPBD Aceh Utara, sebanyak 2.669 warga terdampak banjir. ”Sebagian warga mengungsi ke Meunasah (balai desa) dan sebagian masih bertahan di rumah,” kata Asnawi.
Banjir di Aceh Timur dan Aceh sejak 2022 terjadi sebanyak dua kali. Pada awal tahun banjir melanda durasi waktu mencapai sepuluh hari. Banjir semakin sering melanda kawasan itu disebabkan daerah aliran sungai dalam keadaan kritis dan tutupan hutan di kawasan hulu kian berkurang.
Berdasarkan data dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Krueng Aceh, Sungai Pereulak di Aceh Timur dan Sungai Keureto di Aceh Utara dalam keadaan kritis. Dua sungai ini paling sering meluap saat terjadi hujan dalam intensitas tinggi.
Sebelumnya, dosen Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar, menuturkan, banjir di Aceh adalah akumulasi dari dampak pengelolaan lingkungan yang buruk.
”Hutan rusak, daerah aliran sungai kritis, dan infrastruktur tidak memadai. Jadi, hujan bukan pemicu tunggal banjir,” ujar Zulfikar.
Zulfikar mengatakan, deforestasi atau kehilangan tutupan hutan di hulu membuat daya serap air tanah lemah. Dalam waktu yang lama pada kawasan yang gundul, genangan air hujan membentuk kawah-kawah. Saat tanah kian jenuh, air akan tumpah ke dataran lebih rendah, menyapu semua yang ada. Banjir bandang pun tidak terhindarkan.