Warga Wadas Sebut Kekerasan oleh Aparat Sudah Dua Kali Terjadi
Sejumlah perwakilan warga Wadas melaporkan kekerasan yang mereka alami ke Propam Mabes Polri, Jakarta. Mereka menuntut pelaku yang bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga diusut tuntas.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kepolisian Negara RI dituntut menarik pasukannya dari Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah serta mengusut tuntas pihak yang bertanggungjawab atas kekerasan yang dialami warga Wadas. Penduduk desa juga menegaskan kembali bahwa mereka tidak ingin tanahnya diubah jadi tambang.
Hal ini disampaikan perwakilan warga Desa Wadas Ngabdul Mukti seusai melaporkan kekerasan yang dialami warga ke Propam Mabes Polri, Jakarta, Jumat (25/2/2022). Perwakilan warga juga sempat berunjukrasa di depan Mabes Polri.
Mukti mengatakan, pihaknya juga meminta Presiden Joko Widodo mencabut Ijin Penetapan Lokasi (IPL) Pertambangan yang ditandatangani Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. “Posisi kami tetap sama, jangan sampai ada penambangan di desa Wadas,” kata Mukti.
Hal yang sama disampaikan oleh tiga warga lainnya dalam konferensi pers yang diadakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Mbah Marsono, warga Wadas mengatakan, hampir 100 persen warga Wadas adalah petani. Tambang hanya akan merusak tanah. “Kami tidak ingin banyak uang berlimpah. Kami hanya ingin hidup rukun damai, tidak ada intimidasi. Ayem tentrem,” tandasnya.
Ia mengatakan, aparat yang datang pada awal Februari lalu, tidak hanya untuk melakukan pengamanan tanah yang diukur. Mereka menyerang masyarakat. Pintu rumah diketuk-ketuk sehingga masyarakat tidak berani keluar rumah apalagi bertani.
Hal serupa disampaikan Yati. Ia minta agar diusut siapa orang di balik kekerasan yang dilakukan aparat. Hal ini sudah terjadi kedua kalinya. Yang pertama, 23 April 2021. Ia mengatakan, warga tidak ingin melawan pemerintah, tetapi hanya ingin mempertahankan lahannya.
“Kita tidak akan menjual tanah kepada siapapun dan harga berapapun. Kami hidup sebagai petani, kami sudah sejahtera, tidak mewah, tapi cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bisa menyekolahkan anak,” kata Yati.
Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya yang juga kuasa hukum warga Wadas mengatakan, sejak 2018 warga menolak pertambangan di desanya. Kekerasan telah dua kali dilakukan aparat. Oleh karena itu, warga membawa masalah ini ke Jakarta karena menganggap Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Kapolda Jawa Tengah tidak mampu menyelesaikannya.
Telah dua hari warga Desa Wadas mengunjungi berbagai instansi. Mereka didampingi LBH Yogyakarta, LBH Semarang, LBH Sikap, PBH Peradi Wates, LBH Bhijak Ikadin, Walhi Yogyakarta, YLBHI, Walhi, Solidaritas Perempuan, Greenpeace, Trend Asia, dan LBH Ansor.
Kunjungan untuk menyampaikan kronologi dan fakta ini dimulai pada Rabu, 23 Februari 2022, ke Kompolnas. Hari berikutnya, mereka mendatangi Kantor Staf Presiden (KSP), Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman, Kompolnas, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Kementerian ESDM.
Seusai kisruh di Wadas, 8 Februari lalu, Kepala Polda Jawa Tengah, Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi mengatakan, pihaknya hanya mengamankan masyarakat agar tidak terjadi bentrokan. Sebab, saat pengukuran tanah untuk rencana tambang dilakukan, antara warga yang setuju penambangan dan kontra bergesekan. Mereka yang kontra dikejar-kejar oleh masyarakat yang menginginkan tanahnya dilakukan pengukuran.