Perizinan Proyek Energi Baru Terbarukan Lambat, Presiden Tegur PLN
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla menceritakan, butuh waktu lima tahun untuk negosiasi dan mengurus perizinan pembangunan PLTA di Sulawesi.
POSO, KOMPAS — Kebutuhan akan energi baru terbarukan diperkirakan akan terus meningkat. Oleh karena itu, proses negosiasi dan pengurusan perizinan untuk mendirikan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan diminta dipermudah dan dipercepat. Jangan sampai investor energi baru terbarukan urung berinvestasi karena terhambat birokrasi.
Permintaan itu disampaikan Presiden Joko Widodo saat meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso 2 di Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Jumat (25/2/2022). Secara khusus, Presiden mengingatkan Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasojo untuk memperbaiki birokrasi di perusahaan negara yang mengurus masalah kelistrikan tersebut.
”Saya ingin tekankan pagi hari ini agar birokrasi, utamanya di PLN, Pak Dirut, betul-betul diperhatikan. Jangan sampai ada keluhan lagi seperti disampaikan Pak Jusuf Kalla, negosiasi perizinan sampai lebih dari lima tahun. Sekuat apa pun orang mengurus izin, negosiasi sampai lebih lima tahun (akan) kecapaian. Belum lagi bekerja di lapangan,” tutur Presiden.
Kalla menyampaikan bahwa pembangunan kedua PLTA itu memakan waktu yang relatif lama. Proses negosiasi dan perizinan berlangsung selama lima tahun dan pengerjaan proyek memakan waktu tujuh tahun. Dengan demikian, pembangunan kedua PLTA itu menghabiskan waktu hingga 12 tahun.
Dalam acara yang juga dihadiri Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno itu, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla menyampaikan rumitnya proses perizinan saat akan mendirikan PLTA. Selain PLTA Poso 2, PLTA Malea di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang juga diresmikan oleh Presiden Jokowi, dibangun oleh anak perusahaan Kalla Group milik Jusuf Kalla.
Mendengar keluhan itu, Presiden meminta para pemangku kepentingan bersama-sama memikirkan beban yang harus dihadapi investor saat akan berinvestasi di sektor energi. Sebab, selain birokrasi perizinan, investor juga harus mencari sumber pendanaan proyek.
”Untungnya Pak JK (Jusuf Kalla) dan seluruh manajemen Kalla Group ini tahan banting. Kalau ndak, sudah mundur dulu. Lima tahun ngurus enggak rampung-rampung, itu baru izinnya. Belum nanti mendapatkan pendanaan dari konsorsium perbankan, bukan sesuatu yang gampang,” kata Presiden.
Transisi energi
Dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo menyampaikan, dunia internasional mendesak semua negara untuk menggeser penggunaan energi fosil, terutama batubara, ke energi baru terbarukan (EBT). Indonesia sendiri memiliki potensi EBT sekitar 418.000 megawatt, baik tenaga air, geotermal, surya, angin, maupun energi pasang surut ombak atau tidal.
Namun, diakui, menggeser penggunaan energi fosil, seperti batubara, ke energi hijau tak mudah dilakukan di Indonesia. ”Ini memang tidak mudah karena (Indonesia) telanjur banyak PLTU,” ujar Presiden.
Kendati demikian, Indonesia menargetkan bauran energi baru terbarukan pada 2025 mencapai 23 persen dan 2030 29 persen. Tahun 2060, Indonesia menargetkan bisa mencapai emisi nol.
Target-target ini diakui tidak mudah karena pemerintah perlu menyeimbangkan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan listrik. Harapannya, tidak terjadi kelebihan pasok di PLN sehingga membebani.
Ini memang tidak mudah karena (Indonesia) telanjur banyak PLTU.
Dalam pidatonya, Jusuf Kalla menyampaikan, kebutuhan listrik tidak akan pernah turun. Selain karena pertumbuhan populasi masyarakat Indonesia, perkembangan industri, ataupun perkembangan mobil listrik, kebutuhan akan terus meningkat. Karena itu, keberlanjutan pembangunan pembangkit listrik dengan sumber energi hijau sangat diperlukan.
Baca Juga: Kebutuhan Listrik untuk Industri Pengolahan Nikel di Sulteng Disiapkan
Kalla menjelaskan, konflik Poso berakhir pada 2000-2001 setelah melalui serangkaian proses dialog. Jika kesejahteraan masyarakat tetap rendah, perdamaian yang telah dicapai akan sulit dipertahankan. Sementara untuk menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat dan daerah diperlukan listrik. Selain itu, diyakini listrik adalah bisnis yang akan berjalan terus dalam jangka panjang.
Di Poso, aliran air sungai umumnya terbuang ke laut. Karena itu, di wilayah ini sangat berpotensi dibangun PLTA dengan sistem run off river. Sistem ini memanfaatkan sungai yang berasal dari bukit sehingga tidak perlu membuat bendungan.
Dengan PLTA ini, listrik akan disalurkan ke empat provinsi, yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. PLTA ini juga bisa menjadi cadangan apabila ada masalah dengan pembangkit lain.
Baca Juga: Balada Sawah Rusak di Sekitar Danau Poso
”Dengan kemampuan 515 MW, kita baru pakai 300 MW, jadi ada cadangan 200 MW. Selain itu, kalau PLTU memerlukan waktu delapan jam untuk menghidupkannya, PLTA hanya dua menit, air masuk langsung jalan,” kata Kalla.
Saat ini, Kalla Group sudah membangun PLTA Poso 1 dengan kapasitas 120 MW. Adapun PLTA Poso 2A sudah beroperasi sebelumnya, sedangkan PLTA Poso 2B baru sebulan ini dijalankan. Namun, menurut Kalla, pihaknya masih menegosiasikan penyelesaian administrasi dengan PLN.
Apabila PLTA Poso 2 akan berkapasitas total 515 MW, PLTA Malea di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, berkapasitas 90 MW. PLTA Malea juga dibangun dengan sistem run off river. Untuk mengerjakan proyek tersebut, Kalla Group merekrut 2.000 tenaga kerja yang 80 persennya adalah penduduk lokal. Hanya chief engineering ataupun ahli berpengalaman yang didatangkan dari Jawa, Makassar, dan daerah lainnya. Namun, semuanya adalah warga negara Indonesia.
Nilai investasi yang digunakan rata-rata 2 juta dollar AS untuk 1 MW listrik yang dihasilkan. Apabila PLTA berkapasitas 605 MW, investasinya berkisar 1,2 miliar dollar AS atau setara Rp 17 triliun. Membangun transmisi ke Sulawesi Selatan pun memerlukan investasi senilai hampir Rp 2 triliun.
Awalnya, investasi ini pun ditangani sendiri. ”Akhirnya PLN percaya orang Indonesia bisa bikin dan bank percaya ini bisa menguntungkan. Setelah 50 persen berjalan, baru dana baru muncul dari perbankan nasional,” tutur kalla.
Jika kebutuhan listrik saat itu sekitar 80.000 MW, 23 persennya setara 18.400 MW. Saat ini, EBT yang dihasilkan di Indonesia baru sekitar 10.000 MW. Karena itu, masih perlu dibangun pembangkit listrik untuk sekitar 8.000 MW lagi. ”Artinya, tiap tahun kita harus membangun 2.600 MW. Kami dalam 12 tahun sanggupnya 605 MW. Artinya harus kerja empat kali lipat,” ujar Kalla.
Namun, dengan penguasaan detail teknis saat ini, Kalla meyakini pembangunan PLTA akan berlangsung lebih cepat. Saat ini, Kalla Group juga sedang membangun PLTA Kerinci di Jambi, PLTA Mamuju di Sulawesi Barat, dan PLTA Poso Energy 3 di Sulawesi Tengah.
Dengan tambahan tiga PLTA ini, Kalla Group akan menyumbangkan EBT 2.000MW. Ini merupakan salah satu bentuk dukungan pada program pemerintah untuk mencapai bauran 23 persen EBT pada 2025.
Kalla menyampaikan, potensi energi hidro di Indonesia mencapai 75.000 MW, dan baru 6.000 MW yang dimanfaatkan. Apabila pemerintah mampu mendorong kemampuan warga Indonesia dalam mengelola potensi EBT, baik yang bersumber tenaga air, tenaga panas bumi, angin, maupun matahari, bauran EBT yang ditargetkan akan bisa dicapai. ”Kita harus bekerja bersama-sama dan percaya kemampuan sendiri,” kata Kalla.
Selain itu, untuk mencapai target 23 persen bauran EBT, lanjut Kalla, diperlukan proses yang lebih cepat di PLN. Proses negosiasi PLTA Poso 2 dan PLTA Malea memerlukan lima tahun. Adapun konstruksi sekitar tujuh tahun sehingga pembangunan baru rampung 12 tahun.
Banyak pengusaha yang ingin membangun PLTA mini. Namun, menurut Kalla, semua tidak bisa maju karena urusan birokrasi, bukan urusan teknis. Selain itu, diharapkan ada insentif harga yang wajar. Harga yang ditetapkan harus menguntungkan pengusaha agar dapat mengembalikan investasi dan menguntungkan PLN untuk operasionalnya.
Selain itu, apabila sistem BOT bisa diperpanjang menjadi 50 tahun, pembangunan di sektor energi akan semakin menarik. Saat ini, sistemnya BOT dengan masa 25-30 tahun harus ditransfer. Adapun insentif pajak saat ini sudah diberikan oleh Kementerian Keuangan untuk EBT.
Presiden Jokowi pun menyampaikan penghargaannya atas upaya Kalla Group membangun PLTA-PLTA ini.
Baca Juga: Listrik Penerang Poso Hadirkan Mendung pada Petani
Sementara Rusdy Mastura menyebut keberadaan PLTA-PLTA ini adalah upaya mewujudkan kemandirian energi. ”Listrik adalah masa depan. Tanpa energi, tak bisa mendorong industri,” ujarnya.
Dia juga gembira karena keberadaan PLTA Poso akan membuat Poso tidak hanya dikenal sebagai daerah konflik. Namun, ke depan, Poso akan dikenal sebagai tempat sumber energi baru yang menerangi Poso dan Sulteng, bahkan wilayah lain.