Kekurangan Tim Ahli, Perlindungan Tinggalan Sejarah dan Budaya di Sumsel Tak Optimal
Kurangnya tim ahli menjadi kendala Sumsel untuk melestarikan budaya dan cagar budaya. Jika hal ini dibiarkan, bukan mustahil generasi mendatang tidak bisa menikmati dan mempelajari sejarah dan budayanya sendiri.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sebagai daerah yang sarat dengan tinggalan sejarah dan budaya, Sumatera Selatan masih kekurangan tim ahli untuk membuat kajian mengenai nilai penting dan fungsi dari peninggalan tersebut. Keberadaan tim ini sangat krusial untuk merekomendasikan obyek sejarah dan budaya itu menjadi benda cagar budaya atau warisan budaya tak benda sehingga menjamin perlindungannya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Aufa Syahrizal, Kamis (24/2/2022), mengatakan, sampai sekarang jumlah cagar budaya di Sumsel hanya 19 obyek, padahal potensi cagar budaya mencapai ratusan obyek. Sementara dari 1.186 obyek pemajuan kebudayaan di Sumsel yang didasari pada pokok pikiran kebudayaan daerah se-kabupaten/kota di Sumsel, hanya 43 obyek yang sudah ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia.
Tidak optimalnya pengusulan tersebut disebabkan masih kurangnya tim ahli untuk membuat kajian mendalam terkait dengan arti penting dan fungsi dari sebuah obyek pemajuan kebudayaan dan obyek diduga cagar budaya (ODCB). Untuk di Sumsel saja, dari 17 kabupaten/kota, hanya empat daerah yang sudah memiliki tim ahli cagar budaya (TACB), yakni Provinsi Sumsel, Kota Palembang, Kabupaten Lahat, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, TACB seharusnya ada di setiap daerah karena perannya sangat penting untuk membuat rekomendasi agar sebuah ODCB bisa ditetapkan menjadi cagar budaya. ”Ketika status itu diperoleh, perlindungan terhadap sebuah tinggalan sejarah akan lebih optimal karena sudah dijamin oleh undang-undang,” kata Aufa.
Menurut dia, UU No 11/2010 dan UU No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan belum benar-benar dipahami oleh pemerintah kabupaten/kota sehingga tidak ditunaikan secara benar. ”Seakan undang-undang tersebut tidak dipedulikan dan hanya ditumpuk saja,” katanya.
Karena itu, Aufa menambahkan, sosialisasi dan pendampingan perlu dilakukan agar kebudayaan, termasuk tinggalan sejarah di Sumsel, dapat terlindungi dari kerusakan ataupun pencurian budaya dari pihak lain.
Pamong Budaya Ahli Muda Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi Yanto Manurung berpendapat, kasus Pasar Cinde bisa menjadi contoh untuk segera menetapkan sebuah ODCB menjadi cagar budaya. Walau perlakuan ODCB sudah sama dengan cagar budaya, tetap saja butuh status hukum yang jelas. ”Jangan sampai karena ada kepentingan, ODCB itu hancur karena ingin diubah menjadi bangunan baru,” katanya.
Berbeda halnya jika ODCB sudah ditetapkan menjadi cagar budaya. Ketika ada kerusakan pada obyek tersebut, Yanto mengatakan, pelaku perusakan bisa langsung dibawa ke ”meja hijau”. Semua sanksinya pun telah tertuang dalam undang-undang. Karena itu, setiap daerah harus memiliki TACB yang bertugas untuk mencari, mengkaji, dan memberi rekomendasi kepada kepala daerah guna menetapkan sebuah ODCB menjadi cagar budaya.
Diklaim
Sejarawan dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Kemas Abdul Rachman Panji mengatakan, banyak budaya dari Palembang yang diklaim oleh pihak lain karena kurangnya kajian atau persiapan untuk memajukan obyek budaya tersebut. Misalnya, songket, dari kata dasar sukit yang berarti tusuk dan cukit.
Dari segi nama pun sudah jelas bahwa songket berasal dari Palembang. Namun, karena dari sisi kajian Malaysia jauh lebih siap, songket Malaysia-lah yang lebih dulu ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dunia (intangible cultural heritage).
Beruntung segera ditetapkan karena perajinnya sudah mau diajak ke Malaysia untuk membuat selendang yang sama.
Hal ini tentu menjadi kerugian dan membuat banyak orang yang berkecimpung di dalamnya merasa gusar. Namun, ini harus menjadi pembelajaran untuk terus mempersiapkan kajian kebudayaan sehingga ketika ada kesempatan bisa memperkenalkannya kepada dunia. ”Kita masih ada kesempatan karena motif songket Palembang itu unik. Segera buat kajian lebih dalam sehingga kita bisa memperkenalkannya di tingkat dunia,” kata Kemas.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Cahyo Sulistyaningsih mengakui, kurangnya sumber daya menjadi kendala penetapan cagar budaya dan WBTB di Sumsel. Untuk mengajukan sebuah obyek budaya atau obyek diduga cagar budaya, harus didukung dengan nilai penting dan fungsi dari obyek tersebut. ”Aspek inilah yang kurang ditekankan oleh kajian yang dikirimkan,” katanya.
Untuk itu, perlu dukungan dari semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, komunitas, masyarakat, hingga akademisi dari berbagai disiplin ilmu untuk melengkapi kajian tersebut. Menurut dia, perlindungan sebuah obyek diduga cagar budaya dan obyek pemajuan kebudayaan sangat penting agar tidak dirusak atau disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dia menjelaskan, memang tidak mudah untuk mengajukan sebuah obyek pemajuan kebudayaan menjadi WBTB Indonesia. Dia mencontohkan, obyek Selendang Mudawaroh Sulaman Kelekang baru bisa ditetapkan sebagai WBTB Indonesia tiga tahun setelah diusulkan. Hal ini karena banyak aspek yang harus dilengkapi. ”Beruntung segera ditetapkan karena perajinnya sudah mau diajak ke Malaysia untuk membuat selendang yang sama,” katanya.
Meski sudah ditetapkan, kewajiban selanjutnya adalah membuat WBTB tersebut tetap lestari dengan dibuatnya rencana aksi untuk tiga tahun ke depan. ”Langkah ini dilakukan agar budaya ini tetap dikenal di masyarakat. Jika tidak, bukan tidak mungkin status itu dicabut,” kata Cahyo.
Rencana aksi tersebut bisa diwujudkan dalam beberapa hal, seperti membuat festival budaya tahunan atau bahkan membuat kebudayaan tersebut sebagai muatan lokal di daerahnya sehingga bisa dipelajari oleh anak-anak. ”Dengan begitu, harapannya, budaya tersebut tidak punah karena masih ada regenerasi,” ucap Cahyo.