Sepasang gading dengan panjang 66 sentimeter masih utuh. Pada bangkai gajah liar tersebut ditemukan adanya bekas luka tusuk di bagian dada, mata, perut, dan pangkal paha kanan. Gajah itu mati karena diserang gajah.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
LHOKSUKON, KOMPAS — Seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) jantan ditemukan mati di Desa Alue Dua, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Gajah itu diduga mati bukan karena perburuan sebab sepasang gadingnya masih utuh.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Rabu (23/2/2022), menuturkan, bangkai gajah itu tergeletak di tepi sungai dalam kawasan hutan produksi. Diperkirakan gajah tersebut telah mati seminggu lalu sebab bangkainya mulai membusuk.
Sepasang gading dengan panjang 66 sentimeter masih utuh. Pada bangkai gajah liar itu ditemukan bekas luka tusuk di bagian dada, mata, perut, dan pangkal paha kanan. ”Gajah ini diduga mati karena perkelahian sesama gajah liar,” kata Agus.
Meski demikian, tim dokter BKSDA Aceh tetap melakukan nekropsi. ”Berdasarkan hasil nekropsi yang dilakukan secara makroskopis, dugaan sementara kematian gajah liar tersebut kematian alami,” kata Agus.
Agus mengatakan, lokasi kematian gajah itu termasuk habitat gajah. Akan tetapi, ini kasus pertama kematian gajah di kawasan tersebut.
Data BKSDA Aceh sejak 2015-2021 menunjukkan jumlah gajah yang mati sebanyak 63 ekor. Penyebab kematiannya, sebanyak 27 ekor karena konflik, 16 ekor kematian alami/sakit, dan 10 ekor karena perburuan. Adapun jumlah populasi gajah di Aceh berdasarkan data terakhir (2020) berjumlah 539 ekor.
Konflik
Intensitas konflik gajah juga masif di Aceh. Pada 2016-2021, tercatat terjadi sebanyak 542 konflik gajah. Konflik tersebar di 16 kabupaten/kota di Aceh. Daerah dengan konflik tertinggi adalah Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Utara.
Daerah dengan konflik tertinggi adalah Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Utara.
Terkait konflik, Kepala Bidang Konservasi dan Sumber Daya Alam DLHK Muhammad Daud mengatakan, konflik gajah harus ditangani secara konprehensif karena juga berujung pada kerugian, baik gajah maupun manusia. Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi konflik, di antaranya membuat parit, memasang pagar kejut (power fencing), dan pada penyesuaian pola pertanian di kawasan konflik dengan tanaman yang tidak disukai gajah.
Daud menambahkan, pemerintah, swasta, lembaga swadaya, dan warga di kawasan hutan harus bersinergi menekan konflik gajah. ”Gajah jangan dipandang sebagai hama, tetapi dia kekayaan fauna yang harus kita jaga,” kata Daud.
Aceh menjadi harapan besar bagi dunia konservasi. Sebab, disebut-sebut, hanya di hutan Aceh empat jenis satwa kunci hidup di satu kawasan, yakni gajah, harimau, badak, dan orangutan.
Direktur Conservation Response Unit (CRU) Aceh Wahdi Azmi dalam sebuah kesempatan mengatakan, gajah yang memasuki lingkungan warga kerap disebut sebagai konflik antara satwa dan manusia. Namun, sebutan ini dinilainya karena masyarakat terganggu dengan keberadaan gajah di sekitar mereka. Secara ekonomi masyarakat merasa dirugikan oleh kehadiran gajah tersebut.
Manusia diharapkan yang harus lebih cerdas menyikapi konflik dengan gajah. ”Jangan kita tuntut gajah yang menyesuaikan diri dengan manusia, tetapi manusialah yang harus mampu mencari cara agar dapat hidup berdampingan dengan gajah,” kata Wahdi.