Kondisi Psikologis Warga Wadas Belum Pulih, Aktivitas Belum Sepenuhnya Normal
Sejumlah warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, masih trauma setelah insiden ricuh dengan polisi, pekan lalu. Mereka mengaku belum tenang menjalankan aktivitas sehari-hari.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
PURWOREJO, KOMPAS — Kondisi psikologis warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, hingga Rabu (16/2/2022), belum pulih. Delapan hari setelah insiden kericuhan dengan aparat terkait pengukuran bakal lahan tambang batu andesit guna pembangunan Waduk Bener, sebagian warga mengaku masih takut dan khawatir tindakan represif aparat akan terulang kembali.
Marsono (55), salah seorang warga, mengatakan, setelah kericuhan, untuk pertama kalinya, Rabu (16/2/2022), dia kembali bertani di lahannya. Namun, karena terus disergap rasa cemas, dia hanya berada di lahan sekitar dua jam. Setelah itu, dia terburu-buru kembali pulang ke rumah. Padahal, biasanya warga pulang dari bertani menjelang sore.
”Perasaan saya tidak tenang. Saya masih khawatir polisi akan kembali menyergap, menangkap warga hingga ke rumah-rumah lagi,” ujarnya, Rabu (16/2/2022).
Karena ketakutan itu, aktivitas di lahan tidak bisa dilakukan secara optimal. Semula, dia berencana memanen sejumlah pohon durian dan membersihkan ilalang di sekitar pohon. Namun, sekalipun baru mengambil satu durian dan memotong sebagian rumput, dia memutuskan kembali pulang.
Dia menuturkan, kondisi psikologis warga, terutama mereka yang kontra penambangan, masih diliputi trauma dan kecemasan. Perasaan mereka belum bisa tenang karena hingga Rabu (16/2/2022), personel polisi masih sering terlihat berkeliling kampung tanpa maksud dan tujuan jelas.
Muhson (63), warga lainnya, mengatakan, dirinya juga sudah kembali beraktivitas mengurus tanaman dan pohon-pohonnya di ladang. Namun, dia mengakui, aktivitas itu belum bisa dijalankannya dengan tenang seperti biasanya.
Selain karena masih trauma terhadap tindakan aparat pada Selasa (8/2/2022), dia juga belum nyaman beraktivitas karena masih sedikit warga lain yang berani ke ladang. “Biasanya, di ladang, saya bisa bertani dan mengobrol. Ramai, paling tidak ada 10 petani. Namun, hari ini, saya hanya bertemu satu hingga dua orang saja,” ujarnya.
Biasanya, Muhson bertemu rekan-rekannya dengan beragam aktivitas, seperti memotong kayu, memanen hasil bumi, memangkas, atau mengambil rumput untuk pakan ternak. Namun, pada Rabu (16/2/2022), dia hanya bertemu dengan petani yang mengambil rumput, dengan alasan terdesak kebutuhan memberi pakan ternaknya masing-masing.
Muhson adalah salah satu dari puluhan warga Desa Wadas yang mengungsi setelah kericuhan Selasa lalu. Ketika itu, Rabu (9/2/2022), dengan mengendarai sepeda motor, dia memilih mengungsi ke rumah kerabatnya di Desa Kaliboto, Kecamatan Bener, yang berlokasi di tepi jalan Magelang-Purworejo. Dia baru kembali pulang ke rumah pada Jumat (12/2/2022).
Sementara itu, warga lainnya, Uud (38), mengatakan, kericuhan dengan aparat masih melekat dan membuatnya belum bersemangat menjalankan aktivitas sehari-sehari, seperti bertani. ”Saya sudah tidak menengok lahan selama seminggu lebih,” ujarnya.
Sama seperti Marsono, dia pun cemas karena masih sering melihat mobil dan truk-truk polisi lalu lalang di desa. Dia tidak mengetahui secara pasti apakah polisi tersebut datang untuk ikut terlibat dalam proyek pengecatan masjid ataupun pembuatan jamban yang saat ini sedang dilaksanakan TNI.
Sekretaris Desa Wadas Salma Zuhria mengatakan, setelah kericuhan dengan aparat yang sebelumnya juga terjadi pada April 2021, sebagian warga Desa Wadas menjadi sangat sensitif saat melihat keberadaan polisi. Oleh karena itu, setiap pihak luar yang ingin menggelar kegiatan di Desa Wadas, selalu diingatkan tidak membawa polisi untuk terlibat di dalamnya.
”Kalau, toh, merasa perlu membawa polisi, kami berupaya mengingatkan agar polisi yang terlibat tidak dalam jumlah berlebihan,” ujarnya.
Setelah kericuhan dengan aparat yang sebelumnya juga terjadi pada April 2021, sebagian warga Desa Wadas menjadi sangat sensitif saat melihat keberadaan polisi. (Salma Zuhria)
Di sisi lain, Salma mengungkapkan, setelah kericuhan pada Selasa (8/2/2022), banyak pihak luar merasa Desa Wadas daerah sarat konflik sehingga kegiatan apa pun yang mereka lakukan dirasa membutuhkan pengawalan polisi. Namun, pihak perangkat desa terus mencoba memberi pengertian kepada mereka sehingga bisa dipahami.
Adapun demi menekan potensi konflik susulan dan mengendalikan emosi warga, Salma mengatakan, dalam berbagai kegiatan desa, terutama kegiatan pemberian bantuan, Pemerintah Desa Wadas berupaya tidak menetapkan kewajiban bagi warga untuk memberikan tanda tangan. ”Bagi warga yang situasinya masih sensitif, kewajiban memberikan tanda tangan justru akan membuat kami, pemerintah desa, jadi dicurigai macam-macam,” ujarnya.
Hal itu, antara lain, terjadi saat pemberian bantuan losion antinyamuk saat terjadi kasus malaria. Kala itu, losion akhirnya langsung dibagi-bagikan kepada warga melalui puskesmas.
Salma menuturkan, pihaknya tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam konflik warga terkait penambangan. Namun, dia pun terus berupaya agar hal itu tidak berdampak pada pembangunan dan kegiatan desa. Gotong royong untuk pembangunan sarana prasarana fisik saat ini terus berjalan. Namun, pelaksanaan kegiatan dan jumlah warga yang terlibat langsung diserahkan dan dikoordinasi pengurus RT setempat.