Kasus ”Ritual Maut”, Polres Jember Tetapkan Pemimpin Padepokan sebagai Tersangka
Polres Jember menetapkan pemimpin Padepokan Tunggal Jati Nusantara Nurhasan sebagai tersangka kasus ”ritual maut” di Pantai Selatan Jember yang menewaskan 11 anggotanya.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
JEMBER, KOMPAS — Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, menetapkan Nurhasan (39), pemimpin Padepokan Tunggal Jati Nusantara sebagai tersangka kasus ”ritual maut” di Pantai Payangan, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, yang merenggut 11 korban jiwa, Minggu (13/2/2022) dini hari.
Kepala Kepolisian Resor Jember Ajun Komisaris Besar Hery Purnomo dalam konferensi pers, Rabu (16/2/2022) sore, mengungkapkan, dari hasil penyelidikan terbukti ada unsur pidana dalam kasus ini. Dari hasil pemeriksaan saksi dan alat bukti lain diperoleh fakta bahwa yang menginisiasi ritual di Payangan adalah Nurhasan.
”Hasil gelar perkara (kemarin) sudah dinaikkan tingkatannya dari penyelidikan menjadi penyidikan. Hari ini dilakukan gelar perkara kembali setelah pemeriksaan saksi-saksi dilakukan. Dan, saudara N (Nurhasan) sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan,” ujarnya.
Menurut Hery, pihaknya sudah memeriksa sejumlah saksi, antara lain delapan anggota padepokan, orang yang saat kejadian ada di Payangan, dan saksi ahli dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang menyatakan saat peristiwa terjadi kondisi ombak/cuaca di laut selatan sedang tidak baik.
Dari keterangan saksi di lokasi, Nurhasan sebenarnya sudah diperingatkan untuk tidak menggelar ritual di tempat itu, tetapi yang bersangkutan berskeras melakukannya. Ritual dilakukan di lokasi berbahaya karena masih terjangkau oleh ombak tanpa persiapan alat pengaman dan keselamatan.
Penyidik, lanjut Hery juga sudah menggeledah rumah tersangka di Dusun Botosari, Desa Dukuh Mencek, Kecamatan Sukorambi. Hasilnya, polisi menemukan sejumlah barang, salah satunya buku atau kitab yang digunakan Nurhasan untuk kegiatan pengobatan dan pengajian yang selama ini dilakukan.
Disinggung soal motif orang bergabung dengan padepokan, termasuk anggota polisi di wilayah Bondowoso (Bripda Febriyan DP) yang ikut menjadi korban, Hery mengatakan pihaknya akan mendalami lagi karena motivasi setiap orang berbeda. Latar belakang mereka ke Tunggal Jati Nusantara lantaran masalah ekonomi, keluarga, dan penyembuhan penyakit.
Mengenai apakah ada orang lain yang juga menjadi inisiator dalam ritual maut itu, Hery kembali menegaskan bahwa semua insiatif Nurhasan; mulai dari berangkat dari rumah, ritual dan doa di lokasi, hingga musibah terjadi.
Total kegiatan ritual kelompok ini di Pantai Payangan sebanyak tujuh kali. Dari jumlah tersebut, enam kali ritual berlokasi agak jauh dari lidah ombak, sedangkan ritual pada 13 Februari dilakukan dengan berendam di air laut.
Mengenai alasan ritual di laut, menurut Hery, tersangka dalam melakukan kegiatan memang menggabungkan kegiatan keagamaan dan aliran kepercayaan. Seperti menggunakan bahasa Jawa, kidung, dan mantra. Metode ini didapatkan tersangka dari orang lain, tetapi sudah meninggal.
”Pembacaan mantra, kidung, ini nanti akan kita lihat dan pelajari apakah maksud dari mantra-mantra yang dibacakan, termasuk dari aliran mana? itu yang akan kami pelajari lebih lanjut,” ucapnya.
Aktivitas Padepokan Tunggal Jati Nusantara berawal dari pengobatan alternatif. Saat ada anggota padepokan merasa sembuh, yang berangkutan kemudian menyampaikan ke orang lain sehingga kabar padepokan tersebut beredar luas. Tidak ada syarat khusus untuk bergabung karena informasi menyebar dari mulut ke mulut.
”Dia pulang dari Malaysia tahun 2011 kemudian membuat tempat pengobatan alternatif. Tahun 2015, baru ada padepokan dan berkembang dengan nama Tunggal Jati Nusantara yang berjalan hingga sekarang,” ucapnya.
Untuk pelaksanaan kegiatan, padepokan memungut iuran sebesar Rp 20.000 per orang. Begitu pula untuk sewa kendaraan, setiap anggota diwajibkan membayar Rp 20.000.
Disinggung soal kemungkinan bakal ada tersangka lain, Hery menyatakan untuk saat ini belum ada tersangka lain. Namun, tidak menutup kemungkinan jika hasil penyelidikan nanti mendapati ada pihak lain yang ikut terlibat.
Nurhasan sendiri dibawa ke Polres Jember pada Selasa (15/2) siang, setelah tiga hari menjalani perawatan di RSUD dr Soebandi. Dia berhasil selamat dalam musibah itu, tetapi istri muda dan anak tirinya, Siti Zubaidah (34) dan Pinkan JN (13), ikut tewas.
Sebelumnya, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Jember Ajun Komisaris Komang Yogi Arya Wiguna mengatakan, tersangka telah dinyatakan layak untuk menjalani rawat jalan oleh dokter sehingga bisa langsung diperiksa.
Nurhasan dijerat Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang karena kesalahannya (kealpaannya) mengakibatkan orang lain kehilangan nyawa dengan hukuman maksimal lima tahun penjara.
Seperti diketahui, ritual maut di Pantai Payangan merenggut 11 dari 24 anggota Padepokan Tunggal Jati Nusantara. Ritual di laut disebut-sebut sebagai semadi membuang sial.
Korban meninggal adalah Sulastri (42), Sri Wahyuni Komariyah (30), dan Sofiya Nazila (22), ketiganya warga Desa Gebang, di Kecamatan Jember; Pinkan J Ningrum (13) dan Siti Zubaidah (34) warga Kaliwining, Kecamatan Rambipuji.
Selain itu ada Yuli L Yairo (42) warga Panti dan Holifa (38) warga Desa Gugut, Rambipuji; Arizqotul Maunah (21) warga Gumukmas, Jember; Bripda Febriyan DP (28) Sumbersalam, Tengaran, Bondowoso; Masuni (55) Kaliwates, Jember; Syaiful Bahri (35) Ajung, Jember.