Menguak Tabir di Balik Padepokan yang Menggelar Ritual Berbuah Petaka
Nama ”padepokan” Tunggal Jati Nusantara tetiba mengemuka ke publik setelah aktivitas ritual yang mereka lakukan di pantai selatan Jember berbuah petaka dengan tewasnya 11 anggota.
Rumah kecil berwarna krem di tepi jalan di Dusun Botosari, Desa Dukuh Mencek, Kecamatan Sukorambi, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Senin (14/2/2022) siang, terlihat sepi. Pintu rumah—ang kusennya mulai terkoyak digerogoti teter—itu tertutup rapat.
Beberapa tetangga menuturkan rumah itu sedang kosong karena penghuninya, Nurhasan (39), masih berada di RSUD dr Soebandi dengan ditemani sang istri. Nurhasan selamat dari musibah ketika menggelar ritual bersama 23 orang lainnya di Pantai Payangan, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, Minggu (13/2/2022) dini hari.
Namun, nasib naas menimpa 11 anggota Padepokan Tunggal Jati Nusantara yang dia pimpin. Nyawa mereka terenggut, termasuk istri muda dan anak tiri Nurhasan, yakni Siti Zubaidah (34) dan Pinkan Juliavita N (13).
Peristiwa tidak biasa dan besarnya jumlah korban membuat publik bertanya-bertanya, ritual apa yang mereka lakukan dan seperti apa padepokan Tunggal Jati Nusantara itu sebenarnya. Nama Tunggal Jati Nusantara sendiri relatif baru mengemuka dan banyak publik di Jember yang tidak tahu, bahkan kerabat korban sekalipun.
Nurhasan tinggal di Botosari. Rumahnya pun biasa seperti warga kebanyakan, jauh dari kesan sebuah padepokan yang biasa dipakai untuk laku kebatinan maupun olah kanuragan. Tak ada pendapa atau pekarangan luas yang biasa dipakai untuk aktivitas banyak orang.
Sebatang pohon srikaya kecil tumbuh di halaman, ditemani beberapa tanaman hias di teras. Halamannya cukup sempit, bahkan untuk sekadar memarkir satu mobil agak sulit jika tanpa memakan bahu jalan.
Ketua RT 003 RW 006 Dusun Botosari, Warso, mengatakan, rumah Nurhasan memang sering didatangi orang. Mereka biasa menggelar pengajian rutin sekali dalam sepekan. Selain pengajian, tidak ada aktivitas nyeleneh lainnya yang terlihat. Hanya gambar seekor harimau putih yang terpajang di ruang tamu.
”Biasanya hanya pengajian yang dilakukan setiap malam Jumat. Itu pun pesertanya tidak banyak. Hanya belasan orang. Ada yang datang menggunakan sepeda motor, ada yang memakai mobil,” ujar Warso, yang rumahnya berjarak sekitar 100 meter dari rumah Nurhasan.
Sebagian besar tamu yang datang ke rumah itu berasal dari luar desa. Sementara warga setempat yang menjadi anggota Tunggal Jati Nusantara hanya dua orang. Mereka selamat dalam musibah tersebut.
Baca juga: Polres Jember Periksa Belasan Saksi Terkait Ritual Maut di Pantai Payangan
Senada dengan Warso, Sekretaris Desa Dukuh Mencek Budiharto menjelaskan, selama ini warga mengenal Nurhasan sebagai paranormal. Kemampuan itu kemungkinan didapat dari alamarhum orangtuanya yang juga paranormal.
Orang datang ke rumah Nurhasan dengan berbagai keperluan, mulai dari soal ketenangan hati, masalah keluarga, pekerjaan, dan ekonomi. Jumlah tamu yang datang meningkat dalam tiga bulan terakhir. Sebelumnya sudah ada tamu, tetapi jumlah sedikit.
”Kalau siang di tempat itu tidak ada kegiatan. Kalau malam, kadang ada tamu lebih dari satu orang. Jumlah mereka akan bertambah saat malam Jumat tiba, tetapi bukan pengajian. Saya sendiri kurang paham apa yang dilakukan,” ujarnya.
Sebelum dikenal sebagai tokoh spiritual, Nurhasan sendiri pernah mencecap sebagai pekerja migran ke Malaysia. Dia baru pulang ke kampung halaman sekitar tahun 2010.
Salah satu orang yang bergabung dengan Tunggal Jati Nusantara adalah Sofiana Nazila (22), salah satu korban meninggal. Dewi Soliha (48), ibu Sofiana, menuturkan, anaknya bergabung dengan ”padepokan” tersebut empat tahun terakhir.
Soliha mengatakan, ada perubahan signifikan pada sikap anaknya. Jika sebelum bergabung almarhumah punya karakter keras, suka bergaul dengan teman-temannya yang punya kebiasaan kurang baik, seperti minum minuman beralkohol, tetapi setelah ikut padepokan, Sofiana terlihat lebih lembut, emosinya lebih terkendali.
”Setelah bergabung dengan padepokan dia tidak pernah marah sama saya, jadi baik anaknya. Tidak pernah membantah ataupun melawan. Kalau dulu, saya sering marahin dia karena anaknya tidak mau menurut,” tuturnya.
Sofiana bergabung dengan padepokan lantaran diberi tahu teman tentang padepokan tersebut. Saat itu Sofiana cerita kepada temannya tentang keinginannya untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Sebelumnya, sang teman lebih dulu bergabung dengan Jati Tunggal Nusantara.
Selama menjadi anggota padepokan, menurut Soleha, anaknya lebih banyak diajak bersalawatan dan berdoa. Sofiana beberapa kali ikut ritual ke Pantai Payangan. Waktunya pun selalu malam hari. Hanya saja, lokasi yang dipilih sebelumnya bukan berada di area terjadinya musibah.
”Ritual dilakukan jika ada petunjuk,” ujar Soliha tidak menyebut secara detail petunjuk dari mana yang dimaksud.
Keanggotaan padepokan secara cuma-cuma, tidak membayar. Kerabat Sofiana juga ada yang pernah bergabung, tetapi saat ini sudah berhenti atau dinyatakan lulus.
Penyelidikan polisi
Kepala Kepolisian Resor Jember Ajun Komisaris Besar Hery Purnomo mengatakan, hasil pemeriksaan sementara, padepokan Tunggal Jati Nusantara bergerak dalam hal pengobatan alternatif. Masyarakat yang datang dan bergabung menjadi anggota padepokan itu punya tujuan bermacam-macam. Ada yang datang dengan latar belakang persoalan ekonomi, keluarga, hingga memiliki masalah terkait kesehatan fisik maupun batin.
Baca juga: Semua Jenazah Korban Ritual Maut di Pantai Payangan Jember Telah Diserahkan ke Keluarga
Proses rekruitmen anggota Tunggal Jati dari mulut ke mulut. adapun kegiatannya meliputi zikir, doa, dan tindak lanjut seperti ritual. Polisi masih mendalami apakah ini berkorelasi dengan aliran tertentu.
Tunggal Jati Nusantara berdiri sejak 2011, tetapi mulai punya pengikut tahun 2015. Anggotanya sekitar 100 orang, tetapi tidak semua aktif. Adapun lokasi ritual—yang disebut-sebut sebagai kegiatan meditasi untuk melepas sial—sudah dilakukan beberapa kali dengan tempat berbeda-beda. Terakhir, ritual digelar di Pantai Payangan yang menelan 11 korban jiwa.
Berdasarkan pengamatan Kompas, titik yang dipakai sebagai tempat ritual oleh kelompok ini memang cukup berbahaya. Meski berada di teluk, ombaknya cukup besar terutama yang berada di sisi kanan dekat Bukit Semboja.
Febri (45), salah satu nelayan pencari gurita, menuturkan, di tempat itu terdapat palung cukup dalam. Posisinya beberapa meter dari bibir pantai dan tidak tampak. Arus balik di dasar, di daerah palung, biasanya kencang karena topografi dasar pantai curam.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jember Abdul Haris mengatakan, pihaknya baru mendengar kelompok Jati Tunggal Nusantara setelah terjadi peristiwa memilukan tersebut. Dari hasil pengumpulan informasi dari pihak yang memiliki data dan video yang viral, menurut Haris, zikir, salawat, dan doa yang dilantunkan kelompok ini tidak ada yang aneh.
”Namun, pertanyaannya kemudian mengapa ritual itu dilakukan di pantai? Padahal, kondisi ombak sedang besar dan konon sudah dilarang. Nah itu baru yang jadi masalah,” ujarnya.
Seakan-akan, menurut Haris, mereka punya keyakinan bahwa melakukan ritual di pantai lebih bagus dibanding tempat lain. ”Padahal, kita sejak awal memiliki keyakinan tempat teristimewa dalam konteks pendekatan diri kepada Allah, agar Allah memberikan kemudahan terkait masalah kita ada di Masjid dan tempat ibadah yang lain,” katanya.
Karena berkaitan dengan kajian masalah keagamaan, MUI Jember tidak ingin gegabah. Pihaknya sudah berkoordinasi dengan komisi fatwa untuk melakukan wawancara dan mencari data-data terkait aktivitas di padepokan tersebut.
Namun, pertanyaannya kemudian mengapa ritual itu dilakukan di pantai? Padahal, kondisi ombak sedang besar dan konon sudah dilarang.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan harus ada institusi di mana padepokan yang ada mendapatkan legalitas. Legalitas dan terdata penting karena padepokan seperti ini punya dampak luas. Dia mencontohkan Padepokan Kanjeng Dimas di Probolinggo yang punya dampak luas.
Kasus Padepokan Kanjeng Dimas mengemuka tahun 2016 silam. Padepokan ”pengganda uang” yang didirikan Kanjeng Dimas atau Taat Pribadi (52) menarik perhatian banyak orang dari sejumlah daerah yang ingin kaya secara instan. Dalam perkembangannya kemudian, Taat divonis bersalah atas kasus penipuan dan pembunuhan terhadap anggotanya.
”(Di tingkat pusat) ada Pengawas Aliran Kepecayaan yang berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Di kabupaten dengan kejaksaan negeri. Nah, padepokan ini nanti ada di bawah aliran mana,” ujarnya usai rapat bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Jember dan MUI di Jember, Senin siang.
Baca juga: TIM DVI Kebut Proses Indetifikasi Korban Kecelakaan Laut di Jember
Legalitas dari sebuah institusi penting agar semua terdaftar dan terkonfirmasi. Khofifah mencontohkan, keberadaan koperasi dan usaha kecil menengah juga terdaftar. Legalitas bukan membatasi kebebasan masyarakat dalam berserikat dan berkumpul. Namun, dengan legalitas upaya tertib sosial bisa terbangun dan semua pihak bisa terlindungi.