Orangtua Siswa SD di Padang Masih Ragu dan Takut Anaknya Divaksinasi Covid-19
Sebagian orangtua siswa SD di Padang, Sumatera Barat, ragu dan takut anaknya divaksinasi Covid-19 karena usia anak dianggap terlalu dini serta adanya surat pernyataan bahwa dampak vaksinasi jadi tanggung jawab orangtua.
PADANG, KOMPAS — Sebagian orangtua siswa sekolah dasar di Padang, Sumatera Barat, ragu dan takut anaknya divaksinasi Covid-19 dengan alasan usia anak masih dini. Mereka memilih menerima sang anak tidak diizinkan ikut pembelajaran tatap muka daripada harus vaksinasi. Butuh sosialisasi yang masif untuk menepis misinformasi dan disiinformasi yang terjadi di masyarakat.
”Sebenarnya, secara ilmiah, tidak ada perlu dikhawatirkan dari vaksinasi Covid-19,” kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang Didi Aryadi, Senin, (14/2/2022). Dinkes bersama dinas lainnya telah menyosialisasikan pelaksanaan vaksinasi kepada orangtua atau wali siswa. Setelah sosialisasi, baru dibuatkan jadwal pelaksanaan vaksinasi di sekolah. Sosialisasi juga dilakukan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Sumbar. Meski demikian, masih banyak orang tua siswa yang khawatir akan dampak vaksinasi.
Sri (33), orangtua siswa SD 02 Kampung Pondok, Sabtu (12/2/2022), mengatakan, anak laki-lakinya yang kelas I SD tidak bisa lagi ikut pembelajaran tatap muka (PTM) sejak Rabu (9/2/2022) karena belum divaksinasi. Akhirnya, anak sulung Sri itu belajar di rumah berdasarkan tugas yang dikirimkan guru secara daring.
Ia belum mengizinkan anaknya divaksinasi karena usianya masih sangat dini, enam tahun, dan khawatir terjadi gejala yang tidak diinginkan usai disuntik. Menurut warga Kecamatan Padang Barat ini, tubuh setiap anak berbeda-beda reaksinya terhadap vaksinasi Covid-19, ada yang cocok, ada yang tidak.
”Kalau seandainya divaksin, lalu terjadi apa-apa dengan anak saya, pertanggungjawabannya, kan, tidak ada. Itu yang saya khawatirkan. Saya belum pernah screening kondisi anak. Di lihat dari luar sehat, tidak tahu bagaimana sebenarnya. Takutnya tiba di anak saya vaksin ini tidak cocok. Takutnya jadi penyesalan,” kata Sri.
Baca juga: Tolak Kebijakan Wajib Vaksinasi, Orangtua Murid SD di Padang Lapor ke Ombudsman
Irwan (46), warga Kecamatan Lubuk Begalung, mengatakan hal senada. Anak laki-laki, Irwan, berusia 8 tahun, siswa kelas II SD 35 Pegambiran, sejak Kamis (10/2/2022) tidak bisa mengikuti PTM karena belum divaksinasi Covid-19. Anaknya hanya mengerjakan tugas sekolah di rumah.
Irwan bukannya antivaksin. Ia, istri, dan anak sulungnya yang kelas I SMP sudah divaksin. Namun, ia belum mengizinkan anak kedua dari tiga bersaudara itu ikut vaksinasi karena dinilai usianya masih terlalu dini. Selain itu, di kelas sang anak, sebagian besar siswa lainnya juga belum mau divaksin.
”Kalau seandainya ada 50 persen yang divaksin di kelas itu, mungkin kami mau. Kami masih ragu, bukan tidak mau. Ragu karena anak saya masih kecil. Selain itu, kalau terjadi apa-apa pada anak, orangtua yang tanggung risikonya. Begitu tertera di surat pernyataan yang mesti kami tanda tangani. Pemerintah tidak berani tegas menyatakan bertanggung jawab,” kata Irwan.
Baca juga: Ditemukan 15 Kasus Covid-19, SDN 23 dan SDN 24 Ujung Gurun di Padang Ditutup
Zul (42), orangtua siswa di SD Kartika 1-12 Padang, mengatakan tidak mengizinkan anak perempuannya ikut vaksinasi Covid-19. Menurutnya, vaksinasi bagi orang dewasa saja banyak kendalanya, apalagi diberikan ke anaknya yang berusia sembilan tahun.
Menurut Zul, anaknya yang sekarang kelas III itu sempat dilarang ikut PTM. Namun, setelah ia dan mayoritas orangtua siswa lainnya protes, akhirnya sekolah mengizinkan ikut PTM. ”Kalau orang tidak mau divaksin, jangan dipaksa. Mendikbud pernah bilang, tidak ada unsur pemaksaan dalam vaksinasi. Pemerintah pusat dan daerah, kok, aturannya tidak sinkron?” ujarnya.
Tidak percaya
Zul bahkan menyakini vaksinasi tidak ada gunanya, toh anaknya selama ini juga sehat-sehat saja. Dirinya juga belum ikut vaksinasi Covid-19 karena khawatir efek sampingnya. Dia mengklaim, ada tetangganya yang meninggal karena divaksinasi. Lagi pula dia tidak begitu percaya Covid-19. Namun, istrinya terpaksa ikut vaksinasi karena takut tidak bisa menerima bantuan program keluarga harapan (PKH) dan sulit mengurus berkas administrasi.
”Kenapa menjelang Ramadhan kasus korona melonjak. Sementara itu, giliran hari besar agama lainnya tidak ada. Ini, kan, membuat perpecahan antarumat beragama. Saya ragu soal korona ini, tidak percaya. Tidak perlu dibesar-besarkan. Karena korona, pedagang tidak bisa berjualan, sedangkan retribusi dibayar terus,” kata pria yang bekerja sebagai pedagang ini.
Keraguan orangtua untuk memvaksinkan anaknya bisa dipicu dua hal, yaitu sosialisasi yang belum cukup dan ketakutan akibat misinformasi dan disinformasi yang beredar di masyarakat. (Defriman)
Upik (50), warga Lubuk Begalung, juga tidak mengizinkan anak perempuannya, siswa kelas VI di salah satu SD di Padang Selatan, ikut vaksinasi Covid-19. Sama dengan siswa lainnya, sang anak akhirnya belajar dari rumah, mengerjakan tugas yang diberikan guru.
Upik menilai hal itu riskan, sebab anaknya apabila demam bakal mengalami step. Ia tidak ingin hal serupa terjadi setelah anaknya disuntik vaksin. ”Sekitar 2,5 tahun saya bolak-balik kami ke rumah sakit mengobati anak saya yang step beberapa tahun lalu. Kalau ikut vaksinasi, saya khawatir akan kambuh lagi stepnya,” ujarnya.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Padang Nomor 421.1/456/Dikbud/Dikdas.03/2022 tanggal 7 Februari 2022, siswa yang boleh ikut PTM hanya siswa yang sudah divaksinasi, sedangkan yang belum belajar mandiri di rumah. Pada SE berikutnya, Nomor 421.1/470/Dikbud/Dikdas.01/2022 tangga 11 Februari 2022, dijelaskan guru memberikan tugas kepada siswa yang belajar di rumah.
Akibat adanya SE itu, Kamis (10/2/2022) lalu, puluhan orangtua siswa SD lainnya di Padang melaporkan ke Ombudsman Sumbar. Kebijakan Disdikbud dinilai mengurangi akses anak terhadap pendidikan. Apalagi, Kemdikbud tidak menjadikan vaksinasi sebagai syarat ikut PTM.
Salah satu orangtua yang melapor adalah Adi Kurniadi (42). Dua putrinya yang berada di kelas I dan III di SD Telkom Padang tidak bisa ikut PTM karena belum ikut vaksinasi. Ia belum mengizinkan anaknya ikut vaksinasi karena masih terlalu dini. Dengan melapor ke Ombudsman, ia berharap Disdikbud mencabut kebijakan tersebut.
Kepala SD 14 Jati Tanah Tinggi Gusnidar mengatakan, dari 154 siswa di sekolah itu, baru 83 orang yang mau divaksinasi. Dari jumlah itu, 67 siswa ikut vaksinasi yang diadakan sekolah sehari sebelumnya, 10 siswa belum diizinkan dokter karena tidak fit, dan 6 siswa ikut vaksinasi secara mandri.
”Sisanya (71 siswa) tidak ada kabar dari orangtuanya. Mereka belajar di rumah didampingi orangtua. Guru memberikan tugas, orangtua menjemput tugasnya kemudian mengantarkan lagi sepekan kemudian sembari menjemput tugas baru,” kata Gusnidar.
Gusnidar tidak tahu persis kenapa 71 siswa lainnya belum mau divaksinasi. Walakin, ia berasumsi orangtua tidak bersedia anaknya divaksinasi karena takut. Beberapa orangtua mengungkapkan hal itu ke Gusnidar. Selain itu, orangtua juga menjadikan pernyataan Mendikbud Nadiem Makarim sebagai pegangan bahwa tidak boleh ada paksaan terhadap siswa untuk ikut vaksinasi.
Akibat penolakan itu, kata Gusnidar, hubungan sekolah dan orangtua siswa menjadi renggang. Orangtua dan siswa berharap bisa ikut PTM, sedangkan sekolah tidak bisa mengabulkan karena berpedoman pada aturan Disdikbud.
Hal tersebut juga berdampak pada pembelajaran. Siswa yang ikut PTM bakal berbeda dalam hal penguasaan materi dibandingkan siswa yang belajar di rumah. Apalagi, pada Sabtu, tidak semua orangtua mengambil tugas untuk anaknya yang belajar di rumah. Guru juga menjadi kurang nyaman dalam mengajar karena tidak semua siswa hadir.
”Proses belajar mengajar sangat terganggu. Contohnya, Sabtu ini, orangtua jemput tugas agar anak tetap belajar. Bagaimana dengan yang tidak menjemput? Tentu tidak tahu apa pelajaran hari ini,” kata Gusnidar.
Gusnidar pun mengimbau orangtua untuk mengikuti aturan pemerintah agar anak-anak mereka mengikuti vaksinasi. ”Kasihan anak-anak, tidak bisa belajar secara maksimal,” ujarnya.
Kepala Disdikbud Padang Habibul Fuadi menjelaskan, surat edaran soal peserta pembelajaran tatap muka wajib telah vaksinasi Covid-19 itu terbit sebagai tindak lanjut keputusan Wali Kota dan anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Padang. Keputusan itu merupakan hasil rapat Forkopimda menyikapi kejadian anak-anak SD terpapar Covid-19 varian Omicron di Padang.
”Sebelumnya sudah ada rapat Forkopimda mencermati terjangkitnya anak-anak SD di Padang oleh Omicron. (Sejauh ini), lebih dari 20 orang (siswa) di SD yang berbeda,” kata Habibul. Terhadap laporan orangtua murid ke Ombudsman, Habibul mengatakan akan berkoordinasi terlebih dulu dengan pimpinan.
Belum ada KIPI
Menurut Didi, hingga Sabtu (12/2/2022) kemarin sudah sekitar 16.300 siswa SD yang divaksinasi dari total target 88.600 siswa. ”Dari 16.300 siswa itu, alhamdulillah tidak ada yang mengalami KIPI (kejadian ikutan pasca-imunisasi). Ini menambah kepercayaan masyarakat. Awalnya ada ragu, kemudian ada yang ikut, anaknya baik-baik saja. Kegiatan vaksinasi berikutnya, meningkat jumlah yang ikut. Progresnya baik,” ujar Didi.
Menurut dia, kebanyakan orangtua siswa saat ini menunggu dan melihat dulu. Jika sudah banyak yang ikut vaksinasi, melihat reaksinya terhadap siswa yang disuntik, baru mereka mantap mengizinkan anak mereka divaksin.
Didi menepis anggapan bahwa pemerintah lepas tangan terhadap KIPI yang dialami anak usai divaksinasi. Sesuai prosedur tetapnya, setelah disuntik, peserta vaksinasi akan diobservasi selama 15-20 menit. Jika aman, diizinkan pulang. Apabila terjadi KIPI sehari, sepekan, dua pekan, atau beberapa waktu setelahnya, peserta bisa menghubungi nomor petugas puskesmas yang tertera di kartu vaksin.
”Jadi, tidak putus hubungan begitu selesai disuntik. Kami terus lakukan pemantauan dan berikan informasi kalau terjadi KIPI. Kami sudah siap. Tidak benar lepas tangan. Sakit biasa saja, bisa langsung ke puskesmas, apalagi ini akibat vaksinasi. Biaya ditanggung pemerintah atas nama penyakit Covid-19, termasuk KIPI vaksinasi,” ujarnya.
Didi pun mengimbau orangtua agar mengizinkan anaknya untuk ikut vaksinasi Covid-19. Sebab, anak-anak riskan terpapar Covid-19, apalagi varian Omicron yang penyebarannya sangat cepat. Selain berisiko pada kesehatan anak-anak, anak-anak terinfeksi Covid-19 tanpa gejala (OTG) juga dapat membahayakan orang-orang di rumahnya, seperti warga lansia dan orang dengan komorbid.
”Orang tanpa gejala tetap bisa menularkan Covid-19 ke orang lain. Apalagi jika yang tertular orang usia lanjut, akibatnya sangat fatal. Jika anak-anak sudah divaksinasi Covid-19, risiko tertular dan menularkan kecil,” ujar Didi.
Epidemiolog Universitas Andalas, Defriman Djafri, mengatakan, dari sisi epidemiologi, kebijakan Pemkot Padang itu merupakan upaya meminimalkan risiko penularan Covid-19 pada anak-anak. Apalagi, saat ini kenaikan kasus varian Omicron juga signifikan di Indonesia, termasuk di Padang.
Menurut Defriman, keraguan orangtua untuk memvaksinkan anaknya bisa dipicu dua hal, yaitu sosialisasi yang belum cukup dan ketakutan akibat misinformasi dan disinformasi yang beredar di masyarakat. Sosialisasi dan upaya melawan misinformasi dan disinformasi itu mesti ditingkatkan. Sekolah ataupun puskesmas mesti bisa membuat inovasi dalam implementasi vaksinasi ini.
Terkait surat edaran itu, menurut Defriman, orangtua yang cerdas sebenarnya dapat memahami bahwa murid yang belum divaksinasi bisa belajar di rumah, seperti saat masa sekolah daring. Sayangnya, pemerintah juga tidak bisa menjawab bentuk pembelajaran di rumah ini. Padahal, semestinya sama dengan saat sekolah daring.
Defriman menilai, surat edaran itu semestinya menyasar sekolah, bukan ke individu murid atau orangtua. Misalnya, sekolah yang capaian vaksinasinya mencapai target, misalnya 50, 60, atau 70 persen, boleh menggelar pembelajaran tatap muka.
”Jadi, mestinya pemerintah mendorong sekolah berinovasi agar target minimal vaksinasi tercapai. Sekolah yang sudah berhasil diekspose agar yang lainnya juga termotivasi, sembari tetap diedukasi,” kata Defriman.