Masih Merasa Terintimidasi, Warga Penolak Tambang di Wadas Berhak Dilindungi
Warga yang menolak pembangunan tembang terbuka di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, harus dilindungi dan dijamin keselamatannya. Pemerintah diminta lebih mendengarkan warga.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sebagian warga yang menolak rencana penambangan di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, mengeluhkan masih terintimidasi. Warga menolak rencana pembangunan tambang wajib dilindungi dan dijamin kebebasan berpendapatnya.
Dalam konferensi pers virtual, Kamis (10/2/2022), sejumlah warga mengatakan, Wadas masih mencekam. Sebagian orang tidak berani keluar rumah untuk bekerja, bertani, ataupun bersekolah. Alasannya, polisi, TNI, dan satpol PP masih ada di sana.
S, warga, menuturkan, aparat berkeliling desa sambil mengimbau warga, khususnya yang menolak proyek tambang, menyerahkan surat pemberitahuan pajak terutang Pajak Bumi Bangunan (SPPT-PBB). Petugas juga meminta agar SPPT-PPB itu dikumpulkan di rumah warga yang setuju dengan pembangunan.
”Mereka menyampaikannya dengan pengeras suara pada Rabu (9/2/2022). Hal itu membuat warga yang menolak pembangunan semakin ketakutan sampai warga tidak bisa tidur,” kata S.
BC, warga lain, mengatakan, ada masyarakat yang tidak setuju tambang masih melarikan diri ke hutan. Saat lari ke hutan, mereka disebut sempat dikejar aparat yang membawa anjing pelacak.
”Karena takut, sebagian warga lari ke hutan untuk menyelamatkan diri. Padahal di hutan tidak ada makanan sehingga mereka belum makan,” ujar BC.
Heronimus Heron, perwakilan Solidaritas untuk Warga Wadas, mengecam intimidasi aparat kepada warga. Dia meminta Kepala Polda Jateng Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi menarik pasukannya dari Wadas.
”Warga yang merasa tidak aman tinggal sendirian memutuskan berkumpul di Dusun Randuparang. Pagi ini, ratusan aparat kepolisian-TNI justru merangsek masuk ke dusun itu. Perasaan takut dan khawatir kembali menghantui warga. Banyak warga hanya berani mengintip dari jendela rumah untuk melihat situasi yang sedang terjadi,” kata Heron.
Heron menambahkan, sejak Selasa, sejumlah warga mengalami kekerasan akibat tindakan aparat penegak hukum, khususnya pada saat penangkapan sekitar 66 warga di Wadas. Untuk itu, ia mendorong Polda Jateng mengusut tuntas tindakan kekerasan kepada sejumlah orang di Wadas.
Seruan agar ada jaminan keselamatan bagi warga penolak tambang juga datang dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Usman berharap polisi mengusut dan mengklarifikasi pemutusan jaringan internet di Desa Wadas.
”Tidak benar kalau persoalan Wadas dikatakan sebagai konflik horizontal. Yang benar, konflik vertikal antara warga dan negara. Benar, ada perbedaan pendapat secara horizontal di kalangan warga, tapi hal itu disebabkan kebijakan pemerintah yang buru-buru memaksakan proyek strategis nasional tanpa partisipasi dan konsultasi, apalagi persetujuan dari warga,” ucapnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta Yogi Zul Fadhli menyebut, warga yang ditangkap di Wadas pada Selasa menjalani proses penyelidikan. Sebanyak tiga orang di antaranya dinaikkan statusnya menjalani proses penyidikan.
”Mereka dinaikkan statusnya karena disebut melanggar Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 14 juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 terkait penyebaran berita bohong,” kata Yogi.
Kepala Bidang Humas Polda Jateng Komisaris Besar Iqbal Alqudusy membantah ada warga yang dinaikkan statusnya ke penyidikan. Menurut dia, semua warga masih berstatus penyelidikan dan seluruhnya sudah dipulangkan.
”Statusnya masih penyelidikan. Tapi memang ada laporan. Laporannya terkait penyebaran kabar bohong,” ujar Iqbal.
Pendekatan
Pengamat kebijakan publik Universitas Diponegoro, Teguh Yuwono, mengatakan perlu ada resolusi konflik sosial menggunakan pendekatan ekstralegal dalam menangani kasus di Wadas. Pendekatannya dilakukan dengan tidak hanya dari aspek hukum saja.
”Kondisi masyarakat saat ini merasa kalah, merasa tidak didengarkan, dan tidak diayomi. Walaupun pemerintah sudah menang dari aspek hukum, bukan berarti pemerintah menang atas rakyat. Pemerintah sebaiknya bersedia mendengarkan rakyat, terutama mereka yang merasa dirugikan sehingga bisa tercapai solusi yang sama-sama menguntungkan,” kata Teguh.
Sementara itu, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo berkomitmen akan membuka ruang dialog dengan warga, terutama yang menolak proyek pembangunan tambang. Dalam dialog tersebut akan dihadirkan pula pihak-pihak netral yang berkompeten untuk menjawab keresahan warga.
”Terhadap kawan-kawan yang belum setuju, kemarin ada isu soal potensi lingkungan yang akan rusak termasuk kondisi geologis yang ada di sana, saya kira itu perlu dijelaskan. Harapannya, para ahli yang dihadirkan nantinya bisa diberi ruang dan waktu untuk bisa menjelaskan kepada mereka,” katanya.