Dosen UGM: Skema Pembebasan Lahan Tambang di Wadas Bermasalah
Rencana tambang batu andesit di Desa Wadas, Purworejo, dinilai memiliki sejumlah masalah dari kajia hukum lingkungan. Salah satunya berkait pembebasan lahan yang menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI, HARIS FIRDAUS
·6 menit baca
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Tulisan berisi kalimat penolakan pembangunan penambangan banyak dituliskan warga di rumah-rumah mereka di Desa Wadas di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, seperti terlihat Rabu (9/2/2022)
YOGYAKARTA, KOMPAS — Rencana pertambangan batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dinilai memiliki sejumlah masalah. Salah satunya terkait pembebasan lahan yang menggunakan skema pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Padahal, pertambangan tidak termasuk proyek yang bisa menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
”Ada debat di ranah hukum berkaitan dengan apakah penambangan di Desa Wadas merupakan sebuah skema yang masuk dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Karena dalam aturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pertambangan sama sekali tidak ada,” kata dosen Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Agung Wardana, saat dihubungi dari Yogyakarta, Rabu (9/2/2022).
Agung mengatakan, permasalahan di Desa Wadas terkait dengan dua proyek. Proyek pertama adalah pembangunan Bendungan Bener di Kecamatan Bener, Purworejo. Berdasarkan informasi di situs Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), Bendungan Bener direncanakan bisa mengairi lahan seluas 15.069 hektar, mengurangi debit banjir sebesar 210 meter kubik per detik, menyediakan pasokan air baku sebesar 1,60 meter kubik per detik, dan menghasilkan listrik sebesar 6 Megawatt.
Sementara itu, proyek kedua adalah pertambangan batu andesit di Desa Wadas. Batu andesit yang ditambang dari Desa Wadas itu akan dipakai untuk pembangunan Bendungan Bener. Rencana pertambangan itulah yang ditolak sebagian warga Desa Wadas. Bahkan, kegiatan pengukuran lahan untuk bakal lokasi tambang di Desa Wadas pada Selasa (8/2/2022) lalu diwarnai kericuhan.
Sejumlah demonstran membawa poster dalam aksi demonstrasi Solidaritas untuk Wadas di depan Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Sleman, DIY, Rabu (9/2/2022) siang. Aksi itu digelar sebagai bentuk solidaritas untuk warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang sedang berjuang menolak rencana pertambangan batuan di desanya.
Agung menyatakan, pembangunan bendungan atau waduk memang termasuk proyek pembangunan yang bisa menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pasal 2 PP itu merinci jenis pembangunan apa saja yang bisa menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Pada poin c pasal itu disebutkan, waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air, sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya memang bisa menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Namun, di pasal tersebut tidak tercantum kegiatan pertambangan sebagai proyek pembangunan yang bisa menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Proyek pembangunan bendungan dan proyek pertambangan batuan untuk material pembangunan bendungan merupakan dua proyek yang berbeda. Pembebasan lahan untuk pembangunan bendungan memang bisa menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum. (Agung Wardana)
Agung memaparkan, proyek pembangunan bendungan dan pertambangan batuan untuk material pembangunan bendungan merupakan dua proyek berbeda. Pembebasan lahan pembangunan bendungan memang bisa menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Namun, proyek pertambangan batuan untuk material pembangunan bendungan seharusnya tidak menggunakan skema tersebut untuk pembebasan lahan.
Menurut Agung, proses perizinan dan pembebasan lahan proyek pertambangan untuk material pembangunan bendungan seharusnya mengacu pada regulasi mengenai pertambangan. Oleh karena itu, sebelum pertambangan dilakukan, harus ada izin usaha pertambangan (IUP) terlebih dulu. Selain itu, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek pertambangan juga harus dibuat terpisah dengan amdal pembangunan bendungan.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Jajaran anggota Polres Purworejo mengimbau warga Desa Wadas untuk membubarkan aksinya di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Jumat (24/4/2021). Warga menggelar aksi penolakan atas penambangan batu andesit di desanya.
”Kalau pembangunan waduk itu diatur rezim pengadaan tanah untuk kepentingan umum, tapi kalau tambang itu diatur rezim pertambangan. Jadi, mestinya harus ada izin usaha pertambangan dulu, harus ada amdal dulu yang terpisah dari pembangunan waduk, dan pembebasan lahannya tidak bisa menggunakan model pengadaan tanah untuk kepentingan umum karena tambangnya an sich bukan kepentingan umum,” ungkap Agung.
Agung juga mengingatkan, jika pertambangan batu andesit di Desa Wadas tetap menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum, hal itu akan menjadi preseden buruk ke depan. Ia mencontohkan, bisa saja pembebasan lahan pertambangan batubara menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan alasan batubara dari pertambangan itu akan digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik. Hal ini karena pembangunan pembangkit listrik termasuk yang bisa menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Tak partisipatif
Selain itu, Agung juga menilai skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebenarnya menyimpan masalah. Hal ini karena skema tersebut hanya melihat tanah milik masyarakat sebagai aset ekonomi sehingga bisa dengan mudah dikonversi ke dalam bentuk uang. Dengan cara pandang seperti ini, pemberian uang ganti rugi dinilai bakal menyelesaikan permasalahan warga yang tanahnya dipakai untuk pembangunan.
”Padahal, secara antropologis, tanah tidak sekadar merupakan aset ekonomi tapi juga ruang hidup dan menjadi penanda identitas masyarakat di situ. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang ada di perdesaan, tanah juga memiliki nilai sakral karena menjadi medium penghubung antara generasi hari ini dengan generasi sebelumnya dan generasi yang akan datang melalui sistem pewarisan,” papar Agung.
Jajaran anggota Polres Purworejo membersihkan batu yang digunakan warga Desa Wadas untuk memblokade jalan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Jumat (24/4/2021). Warga menggelar aksi penolakan atas penambangan batu andesit di desanya.
Menurut Agung, kompleksitas pemaknaan atas tanah itu tidak pernah terakomodasi dalam aturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kondisi itulah yang menyebabkan banyak muncul konflik terkait pembebasan tanah bagi proyek strategis nasional, termasuk yang terjadi di Desa Wadas.
”Konflik-konflik proyek strategis nasional yang terjadi di Indonesia, termasuk di Wadas hari ini, bukan konflik yang bisa direduksi menjadi sekadar konflik kepemilikan tanah di mana ada pemilik tanah yang tidak setuju tanahnya diambil oleh negara. Tapi jauh lebih dalam dari itu, ini adalah konflik bagaimana kita memaknai tanah,” tutur Agung.
Agung juga menyatakan, penyusunan rencana proyek strategis nasional seringkali tidak partisipatif karena tidak melibatkan masyarakat. Penyusunan rencana proyek itu seringkali hanya melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan badan usaha terkait. Kondisi itulah yang membuat masyarakat terkadang menolak proyek strategis nasional di wilayahnya.
”Permasalahan ini kan muncul dari proses penyusunan proyek strategis nasional yang tidak partisipatif. Inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi kaget ketika wilayah mereka atau ruang hidup mereka tiba-tiba sudah menjadi bagian dari desain proyek strategis nasional,” kata Agung.
DOK HUMAS PEMPROV JATENG
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo (kanan) dan Kapolda Jateng Inspektur Jendral Ahmad Luthfi memberikan keterangannya di Purworejo, Jateng, Rabu (9/2/2022).
Dalam kesempatan sebelumnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan, beberapa kali pihaknya membuka ruang untuk berdialog dan berdiskusi dengan warga terkait masalah di Desa Wadas. Dalam forum-forum itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga dilibatkan. Namun, mayoritas warga yang tidak setuju dengan proyek penambangan material pendukung pembangunan Bendungan Bener disebut Ganjar tidak hadir.
”Kami meminta mereka yang setuju dan belum setuju dihadirkan, tapi kemarin saat dilakukan dialog, pihak yang belum setuju tidak hadir. Sebenarnya, kami sangat menunggu-nunggu sehingga kami bisa memberi ruang, bisa mendengarkan, dan memberikan jawaban,” kata Ganjar.
Kepala Bidang Humas Polda Jateng Komisaris Besar M Iqbal Alqudusy menyatakan, 66 warga yang ditangkap di Wadas telah dibebaskan dan kembali ke rumahnya masing-masing pada Rabu siang. Mereka diantar ke kembali ke rumahnya menggunakan dua bus yang disiapkan polisi.
”Barang pribadi milik mereka kami kembalikan. Sejumlah personel Polres Purworejo juga menyerahkan bantuan sembako dan dana tali asih dari Kapolda Jateng Inspektur Jendral Ahmad Luthfi kepada para warga,” ujar Iqbal dalam keterangannya.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Perwakilan massa yang tergabung dalam Solidaritas untuk Wadas melakukan orasi dalam aksi demonstrasi di depan Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Sleman, DIY, Rabu (9/2/2022) siang. Aksi itu digelar sebagai bentuk solidaritas untuk warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang sedang berjuang menolak rencana pertambangan batuan di desanya.
Iqbal menyebut, seluruh warga yang sempat ditahan itu dalam kondisi sehat. Di Polres Purworejo, mereka didata dan diperiksa terkait peristiwa saat pengukuran tanah pada Selasa lalu.
Terkait pengukuran tanah warga di Wadas, menurut Iqbal, akan tetap dilakukan sesuai dengan yang dijadwalkan. Pengukuran itu ditargetkan selesai Kamis (10/2/2022). Iqbal meminta masyarakat bekerja sama mendukung proses tersebut.