Transformasi digital membawa berbagai dampak pada hampir semua sektor, termasuk media massa. Berbagai strategi harus dilakukan media massa untuk bersaing dan tetap bertahan.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Di tengah era digitalisasi dan gempuran media termasuk media sosia, konten berkualitas menjadi syarat mutlak agar media massa bisa berkelanjutan. Pengelola media juga harus membangun ekosistem dan pandai melihat pasar terutama pasar milenial untuk bisa bertahan.
Hal ini mengemuka dalam Konvensi Nasional Media Massa bertema ”Membangun Kemandirian Relatif Media di Tengah Platform Digital” yang digelar di Kendari, Selasa (8/2/2022). Konvensi yang digelar secara hibrida ini adalah rangkaian acara Hari Pers Nasional 2022.
Menko Polhukam Mahfud MD menjadi pembicara kunci yang juga membuka konvensi hari kedua ini. Selain Mahfud, tampil sebagai pembicara adalah Andy Budiman, CEO Group of Media PT Kompas Gramedia; Uni Zulfiani Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times; dan Chairul Tanjung, CEO CT Corp. Selain itu Arifin Arsyad, Pimpinan Redaksi Kumparan; Wakil Direktur Utama PT Emtek, Sutanto Haryono; dan anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo.
Di hadapan peserta yang mengikuti secara langsung dan virtual, Mahfud berbicara tentang fungsi media hingga tingkat kepercayaan publik terhadap media dan juga kecemasan terkait berita bohong. Mahfud mengutip survei Edelman Trust 2022 yang dirilis pada Januari 2022.
”Kabar baiknya dalam survei ini Indonesia menempati peringkat kedua di dunia dalam hal kepercayaan kepada media. Pertama China dan posisi ketiga Thailand. Survei itu menunjukkan tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap media mencapai 73 persen. Angka ini naik 1 persen dibanding tahun sebelumnya,” katanya.
Namun, dalam survei yang lain Indonesia menduduki peringkat kedua terkait tingkat kecemasan publik terhadap berita bohong
”Kecemasan publik di negara kita mencapai 83 persen. Ini angka yang seakan memberikan pengakuan atas keprihatinan kita selama ini terhadap fenomena merebaknya hoaks di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini harus diatasi bersama baik oleh pemerintah maupun insan pers,” katanya.
Menurut Mahfud, hal ini mempunyai dua arti. Di satu sisi pers bisa menjadi sumber dukungan untuk menyampaikan pesan terutama terkait program pemerintah atau ada hal krusial yang harus diketahui publik. Bahkan, pemanfaatan pers untuk menyampaikan pesan juga ditekankan oleh Presiden Joko Widodo.
”Media massa adalah entitas yang bekerja secara berjenjang dan memiliki standar etika dan kualitas yang terjaga. Selain itu, melalui proses verifikasi dalam bekerja hingga bisa dipertanggungjawabkan. Di sisi lain media sosial yang diharapkan bisa menjadi ruang interaksi sosial secara positif, kenyataannya sering menjadi ruang besar warga yang kerap mengabaikan etika publik bahkan tidak jarang menjadi wadah penyebaran secara luas berita bohong,” katanya.
Kecemasan publik di negara kita mencapai 83 persen. Ini angka yang seakan memberikan pengakuan atas keprihatinan kita selama ini terhadap fenomena merebaknya hoaks di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini.
Ini adalah buah transformasi digital secara luas dan global yang tidak hanya membuka ruang lebih luas untuk membangun kesetaraan dan partisipasi publik tetapi juga menjadi wadah menyebarnya berita bohong.
Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers mengatakan, kajian yang dilakukan Dewan Pers menunjukkan transformasi digital juga menyebabkan disrupsi pada media massa terutama terkait pencarian dan iklan. Saat ini, platform digital seperti Google dan Facebook mengambil peran dalam pencarian termasuk pencarian untuk media massa.
”Ini bisa berdampak baik terhadap trafik media massa, tetapi juga berdampak buruk jika platform mengganti algoritma. Saat algoritma berubah, dalam sekejap trafik media bisa anjlok. Dalam soal iklan juga berdampak buruk karena dalam lima tahun terakhir iklan untuk media konvensional kian tergerus.
”Yang tumbuh adalah belanja iklan digital. Iklan banner di mana media siber bermain, komposisinya hanya 18 persen. Iklan video dikuasai oleh YouTube. Iklan banner dan iklan baris di Indonesia sekitar 75 persen melalui platform teknologi yang menjadi anak perusahaan platform digital. Artinya transformasi digital juga menjauhkan media dari pengiklan karena pengiklan lebih banyak melalui platform teknologi yang menjadi broker,” kata Agus.
Terkait berbagai problematika ini, pimpinan media sepakat bahwa konten dan membangun ekosistem media menjadi hal penting untuk menjaga keberlangsungan.
Andy Budiman, CEO Media Kompas Gramedia, mengatakan, masa depan media adalah konten. Ini terutama dalam soal bagaimana membuat konten yang relevan dengan dinamika masyarakat. Selain itu, meningkatkan hubungan langsung dengan pembaca ataupun pengiklan. Strategi lain adalah diversifikasi pendapatan ke sumber-sumber non-iklan.
Sementara itu, Chairul Tanjung melihat selain soal konten, meraih pasar terutama milenial adalah hal yang tak kalah penting. Dari sisi demografi, generasi milenial jumlahnya jauh lebih besar.
”Ini adalah pasar yang luar biasa besar. Pasar ini belum punya pendapatan yang cukup untuk berbelanja besar-besaran. Tapi 5-10 tahun kemudian mereka adalah pengontrol pasar. Kalau mau bertahan, kita harus membeli masa depan dengan harga sekarang. Siapa yang bisa menarik minat milenial sekarang, mereka yang akan punya masa depan,” katanya.