Kisah Duka CHA, Anak Pekerja Migran di Kotawaringin Timur yang Diperkosa Kakek Tiri
Kekerasan seksual terhadap anak di Kalteng masih terus terjadi. Ironisnya, sebagian besar pelaku adalah orang terdekat korban.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
CHA, anak perempuan ini baru berumur 12 tahun. Ia ditinggal ibunya, seorang pekerja migran, dan dititipkan di rumah neneknya karena ayahnya sudah tiada. Asa CHA untuk dilindungi dan bisa bersekolah dengan aman pupus setelah kakek tirinya memerkosanya berkali-kali.
CHA merupakan anak yatim yang saat ini duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Sudah lebih dari dua tahun CHA tinggal bersama nenek dan kakek tiri atau ayah tiri ibunya. Ini lantaran ibu CHA harus bekerja ke luar negeri sebagai asisten rumah tangga, tepatnya di Taiwan. Meski berstatus sebagai nenek dan kakek, pasangan tersebut masih berusia cukup muda. Kakek tiri CHA, Wahyudi, masih 37 tahun.
Peristiwa keji itu terjadi sejak setahun lalu di rumah nenek CHA di Desa Bandar Agung, Kecamatan Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Pada Kamis malam, 28 Oktober 2021, CHA masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam seperti biasa.
Pulas tidur CHA diganggu. Wahyudi masuk ke kamar, membuka pintu kamar dengan gergaji dan kawat. Setelah masuk ke kamar, Wahyudi mendekati korbannya yang sedang tertidur pulas, membuka bajunya dan mulai memerkosa cucu tirinya itu.
CHA berontak. Ia kemudian berteriak dan memanggil neneknya. Neneknya pun datang dan mengusir suaminya itu. Wahyudi pun gelagapan dan kabur.
Keesokkan harinya, nenek CHA, Sarah, melaporkan kejadian itu ke Polsek Parenggean. Wahyudi pun ditangkap. CHA kemudian ditangani Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Kotawaringin Timur.
Setelah ditangani UPPA Polres Kotawaringin Timur itulah terungkap mengapa CHA selalu mengunci kamar tidurnya. Rupanya, CHA bukan sekali saja diperkosa, melainkan tiga kali sebelum kejadian yang terakhir.
Hal itu sesuai dengan pernyataan Wahyudi saat ditanyai wartawan di sela-sela pelimpahan kasusnya dari Polres Kotawaringin Timur ke Kejaksaan Negeri Kotawaringin Timur pada Selasa (1/2/2022). Wahyudi mengaku empat kali memerkosa CHA tanpa paksaan, tetapi ia mengirim pesan singkat ke CHA dengan isi, ”Aku menyayangimu dan tidak akan membunuhmu karena ingat Tuhan”.
Kepala Kepolisian Resor Kotawaringin Timur Ajun Komisaris Besar Sarpani menjelaskan, dalam pemeriksaan, Wahyudi mengaku melakukan pencabulan terhadap cucunya pada Juli 2021 sebanyak satu kali, September 2021 sebanyak dua kali, dan terakhir pada 28 Oktober 2021 yang kemudian ketahuan nenek korban atau istri pelaku.
Sarpani menambahkan, pihaknya sudah mengumpulkan sejumlah barang bukti berupa pakaian korban dan pelaku. Polisi juga menyita gergaji dan kawat yang digunakan pelaku membuka paksa pintu kamar korban.
Pelaku dikenakan Pasal 82 Ayat (1) ,(2) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUH Pidana. Wahyudi diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun.
”Pelaku sudah di Kejaksaan dan dalam waktu dekat akan disidang karena berkasnya sudah lengkap,” kata Sarpani.
Sejak tahun 2020, Polda Kalteng menilai Provinsi Kalimantan Tengah masih dalam kondisi darurat kekerasan seksual karena tingginya angka kasus tersebut. Pelakunya sebagian besar bahkan merupakan orang terdekat para korban.
Tahun 2020, Polda Kalteng mencatat, setidaknya terdapat 38 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kalteng. Jumlah itu meningkat di tahun 2021. Sub-Direktorat IV Remaja, Anak, dan Wanita Polda Kalteng mencatat, tahun 2021, jumlah kasus kekerasan seksual yang ditangani mencapai 85 kasus dan 22 kasus kekerasan fisik. Kabupaten Katingan dan Kotawaringin Barat menjadi dua wilayah dengan dua kasus kekerasan seksual terbanyak sepanjang tahun ini dengan masing-masing 11 kasus dan 15 kasus.
Rumah aman itu penting sekali. Sayangnya, di Kalteng ini hanya ada di Palangkaraya.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Mamut Menteng Kalteng Margaretha Winda Febiana Karotina mengungkapkan, Kalteng belum lepas dari darurat kekerasan seksual perempuan dan anak. Kasusnya terus bertambah setiap saat dengan pelaku orang terdekat korban.
Menurut Winda, pelaku yang masih di bawah umur juga mencerminkan kurangnya pendidikan moral di sekolah dan lingkungannya. ”Pendidikan moral anak itu dipertanyakan,” ujarnya.
Korban, lanjut Winda, perlu ditangani lebih lanjut secara psikologi apalagi korban masih di bawah umur. Pendampingan bahkan diperlukan seumur hidupnya karena trauma yang dialami korban juga seumur hidup.
”Rumah aman itu penting sekali. Sayangnya, di Kalteng ini hanya ada di Palangkaraya. Kami khawatir korban menjadi sosok yang brutal di masa depannya jika tidak ditangani serius psikologinya,” ungkap Winda.