Tim Pengawasan Izin Konsesi Kalteng Perlu Hidupkan Kembali Regulasi yang Mati Suri
Usai pencabutan ratusan izin oleh pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah membentuk tim pengawasan perizinan. Harapannya pengawasan dan evaluasi bisa dijalankan maksimal.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Gubernur Kalimantan Tengah membentuk Tim Pengawasan Perizinan Terintegrasi untuk evaluasi perizinan usaha sumber daya alam di Kalteng. Tim tersebut diharapkan bisa mengimplementasikan regulasi pengawasan perizinan yang selama ini dinilai mati suri.
Sugianto Sabran menjelaskan, tim tersebut diisi 20 perangkat daerah. Mereka bertugas memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan dan kewajiban yang harus dipenuhi pelaku usaha.
”Saya pastikan akan mengambil tindakan tegas dengan membuat rekomendasi pencabutan jika masih ditemukan praktik usaha yang tidak mengikuti aturan, apalagi (aturan) yang sifatnya final dan mengikat,” kata Sugianto di Palangkaraya, Rabu (26/1/2022).
Dalam implementasinya, lanjut Sugianto, tim pengawasan tersebut akan berkoordinasi dengan kementerian terkait dan aparat penegak hukum sehingga jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang bisa diambil tindakan hukum juga.
Pembentukan tim itu dilakukan setelah Presiden Joko Widodo mencabut ratusan izin di Indonesia. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor Sk.01/Menlhk/Setjen/Kum.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan.
Di Kalteng, menurut Sugianto, pada 2015-2021 terdapat sembilan perusahaan sektor kehutanan yang dicabut izin konsesi kawasan hutannya dengan total mencapai 137.805 hektar.
Tahun ini, terdapat 50 perusahaan yang terdiri dari 2 perusahaan sektor kehutanan, 39 sektor perkebunan, dan 9 sektor pertambangan dengan luas mencapai 404.380,73 hektar yang dicabut juga izinnya. Selain perusahaan yang dicabut izin konsesi kehutanannya, terdapat pula 20 perusahaan sektor perkebunan, pertambangan, dan pemanfaatan hutan yang dievaluasi terhadap izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Hutan Tanaman (PBPH-HT), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), Pelepasan Kawasan Hutan (PKH), dan Izin Prinsip. Semua itu telah dikompilasikan dengan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kalimantan Tengah
”Kami akan terus melakukan pembenahan dengan memberikan kemudahan perizinan berusaha yang transparan dan akuntabel, tetapi apabila tidak sesuai, akan direkomendasikan untuk dicabut,” ucap Sugianto.
Pengawasan dan evaluasi tersebut, lanjut Sugianto, merupakan langkah perbaikan tata kelola pemberian izin pertambangan dan kehutanan serta izin lainnya di Kalteng.
Menanggapi hal itu, Manajer Advokasi Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi menjelaskan, upaya pengawasan dan evaluasi merupakan kewajiban yang dilakukan pemerintah karena merupakan perintah UU. Sayangnya, pelaksanaannya masih nihil.
”Kami harap dengan adanya tim itu betul-betul bisa menertibkan perizinan yang bermasalah, bukan hanya yang tidak aktif beroperasi,” kata Habibi.
Menurut Habibi, di Kalteng banyak pemegang izin konsesi yang bekerja melebihi luas izin yang diberikan. Hal itu kemudian menimbulkan konflik dengan masyarakat yang sudah hidup bertahun-tahun di sekitar lokasi konsesi.
“Selama ini kasus yang diungkap itu berdasarkan kasus-kasus yang viral dulu di media sosial atau berdasarkan laporan, harusnya pengawasan sudah sejak dulu,” kata Habibi.
Pengakuan dan hak yang hilang ini harus dikembalikan ke masyarakat. Jaminan atas hak pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar menjadi langkah utama yang bisa dilakukan pemerintah daerah ataupun pusat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah mencatat, di Kalimantan Tengah saat ini masih terdapat 344 kasus konflik agraria di lahan konsesi yang belum selesai dengan total luas lahan berkonflik 151.524 hektar. Sekitar 80 persen dari total konflik itu berasal dari wilayah konsesi perkebunan.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono menjelaskan, pencabutan izin dan evaluasi perizinan yang dilakukan pemerintah merupakan momentum untuk menyelesaikan konflik agraria yang masih tinggi di Indonesia, khususnya di Kalteng. Momen itu juga harus digunakan sebagai bentuk pengakuan dan pemberian hak masyarakat adat yang selama ini hilang.
”Pengakuan dan hak yang hilang ini harus dikembalikan ke masyarakat. Jaminan atas hak pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar menjadi langkah utama yang bisa dilakukan pemerintah daerah maupun pusat,” kata Dimas.
Dimas menambahkan, dengan banyaknya pencabutan izin itu, perbaikan atas kerusakan ekosistem yang terjadi selama izin dikelola perusahaan juga harus dilakukan. Artinya, setelah izin dicabut kerusakan ekosistem karena adanya investasi itu akan menjadi beban pemerintah sehingga tanggung jawab itu harus diambil pihak korporasi.
”Kewajiban pemegang izin di antaranya menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air sesuai ketentuan undang-undang,” kata Dimas.