Kisah Keluarga Para Penyalah Guna Narkoba yang Direhab di Rumah Bupati Langkat
Para residen dan keluarga mendatangi panti rehabilitasi narkoba di rumah pribadi Bupati Langkat Terbit Rencana. Mereka meminta panti yang sudah ditutup itu dibuka lagi. Mereka menceritakan penderitaan keluarga.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Para penyalah guna narkoba yang tengah direhabilitasi atau residen dan keluargamya mendatangi panti rehabilitasi narkoba di rumah pribadi Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin, Rabu (26/1/2022). Mereka meminta agar panti yang sudah ditutup itu dibuka kembali. Mereka menceritakan penderitaan keluarga setelah anaknya terjerat narkoba.
”Kami sangat terkejut ketika disebut ada penyiksaan dan kerja paksa di panti rehabilitasi ini. Padahal, kami sangat terbantu dengan adanya panti ini untuk mengobati anak dari kecanduan,” kata Sikap beru Surbakti (59), orangtua residen.
Puluhan orangtua dan residen itu datang ke panti rehabilitasi narkoba yang berada di kompleks rumah pribadi Terbit di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Langkat, Sumatera Utara. Mereka duduk di panti itu dari pagi hingga sore. Sudah tiga hari panti rehabilitasi itu ditutup sejak dilaporkan Migrant Care ke Komnas HAM karena diduga ada penyiksaan, penganiayaan, dan kerja paksa terhadap residen.
Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya menemukan dua ruangan mirip penjara saat menggeledah rumah pribadi Terbit dalam operasi tangkap tangan kasus korupsi, Rabu (19/1/2022). Ruangan itu berisi 48 residen rehabilitasi narkoba.
Sikap mengatakan, anaknya, yakni Abadi Ginting (23), terjerat narkoba setelah tamat SMA. Ia yang hanya bekerja sebagai petani harus memberikan uang Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per hari agar anaknya tidak mengamuk karena tidak bisa membeli narkoba. Ia pun sering diancam dengan pisau dan dipukul. Sikap sering pingsan jika anaknya mengamuk.
Setelah terjerat narkoba, Abadi mulai menjual barang-barang di rumahnya, seperti penanak nasi, kompor masak, tabung gas, setrika, kaca jendela, dan kabel listrik di rumah yang masih dipakai. Ketika tidak ada lagi yang mau dijual di rumah, ia mulai mencuri di rumah tetangga.
”Saya hampir putus asa. Orang yang menyebut ada penyiksaan dan kerja paksa itu karena belum pernah merasakan anaknya terjerat narkoba. Menurut kami, wajar jika anak kami diberikan hukuman, seperti direndam di kolam ikan atau dijemur di panas matahari,” kata Sikap.
Sikap pun awalnya ingin memasukkan anaknya ke panti rehabilitasi resmi, tetapi tidak punya uang. Ia pun memasukkan anaknya ketika mendengar ada panti rehab gratis di rumah Terbit.
Awalnya, Abadi tidak mau masuk ke panti rehab. Petugas dari panti rehab memaksanya masuk ke mobil lalu mengurungnya selama sebulan di ruang rehabilitasi berjeruji besi yang mirip penjara.
Abadi mengatakan, ia tidak ingin mengulangi masa-masa kelam dalam hidupnya. Setelah menjalani rehabilitasi selama setahun, ia sembuh dari kecanduan. Sekarang ia sudah menikah dan punya dua anak. ”Saya sekarang bertani untuk menghidupi keluarga. Kalau tidak direhab, hidup saya hancur,” kata Abadi.
Jerat narkoba juga menghancurkan keluarga lain di Langkat. ”Anak saya hingga kini masih kecanduan narkoba. Ia ditinggalkan istrinya. Anaknya yang masih bayi kami ambil karena ditelantarkan,” kata Lamoh Sitepu (55), warga Kuala.
Lamoh mengatakan, ia sudah mendaftarkan anaknya, Dokta Sitepu (27), agar masuk ke panti rehab di rumah Terbit. Namun, sebelum anaknya masuk, panti itu pun ditutup.
Lamoh menuturkan, anaknya sering mengamuk jika tidak diberikan uang. Istri Lamoh pun tidak berani jika hanya sendiri di rumah karena takut pada anaknya. ”Saya pun sudah menyiapkan balok kayu untuk memukulnya jika melawan saya,” kata Lamoh.
Saya sekarang bertani untuk menghidupi keluarga. Kalau tidak direhab, hidup saya hancur. (Abadi Ginting)
Lamoh mengatakan, ia sering didatangi tetangga jika ada barang-barang yang hilang. Sudah dua kali Dokta dipenjara karena terbukti mencuri. Anak Dokta yang masih berusia empat tahun pun tidak dipedulikan sama sekali. ”Istri Dokta tidak tahan dengan sikapnya yang suka memukul sehingga mereka bercerai,” kata Lamoh.
”Saya hampir putus asa. Saya bahkan pernah merasa sangat bersyukur jika dia mati saja. Namun, saya bangkit lagi dan mencoba untuk mengobatinya lagi agar sembuh,” kata Lamoh.
Lamoh pun berharap agar panti di rumah Terbit bisa dibuka lagi agar anaknya bisa direhabilitasi secara gratis. Lamoh dan istrinya yang bekerja mengambil lidi dari pelepah sawit mengaku tidak punya biaya lagi untuk merehab anaknya.
Eka Surbakti (28), residen yang sedang menjalani rehab, mengatakan, ia sangat berharap bisa melanjutkan rehabilitasinya di rumah Terbit. Ketika dia baru masuk empat bulan lalu, ia sangat kurus, kelopak matanya sembab, dan bahunya tampak menonjol.
”Berat badan saya sebelumnya kurang dari 50 kilogram dan sekarang sudah lebih dari 70 kg,” kata Eka.
Eka pun terkejut mendengar berita yang menyebut mereka mengalami penyiksaan dan kerja paksa di panti rehab. Menurut dia, pembinaan yang dilakukan masih dalam batas wajar, seperti dijemur di bawah matahari, direndam di kolam, atau disuruh bekerja di kebun sawit.
Setelah beberapa bulan menjalani rehab, mereka dipekerjakan di kebun atau pabrik kelapa sawit. ”Kami juga diberikan makan tiga kali sehari,” kata Eka.
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Inspektur Jenderal RZ Panca Putra Simanjuntak pun menemui para residen itu. ”Kami masih mendalami adanya dugaan pelanggaran di panti rehab ini,” kata Panca.
Palaksana Tugas Kepala Badan Narkotika Nasional Kabupaten Langkat Rosmyati mengatakan, mereka kini berfokus melakukan asesmen terhadap 48 residen yang sudah dipulangkan ke rumah masing-masing. ”Apakah panti rehabilitasi di rumah bupati akan ditutup atau tidak masih menunggu keputusan pimpinan,” kata Rosmyati.
Rosmyati pun menyebut belum bisa memutuskan apakah tindakan yang dilakukan di panti rehabilitasi itu sesuai dengan standar rehabilitasi atau tidak.
Ia menyebut, panti rehabilitasi yang sudah beroperasi 10 tahun itu tidak memiliki izin dari Kementerian Sosial atau dinas sosial.