Puluhan Penyalah Guna Narkoba di Rumah Bupati Langkat Dipulangkan, Satwa Dilindungi Ditemukan
Sebanyak 48 penyalah guna narkoba yang ditemukan di ruangan mirip penjara di rumah Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin telah dipulangkan. Dalam penggeledahan berikutnya, petugas menemukan satwa dilindungi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
STABAT, KOMPAS — Sebanyak 48 penyalah guna narkoba yang ditemukan di ruangan mirip penjara di rumah Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin dipulangkan kepada keluarganya. Polisi masih mendalami apakah ada tindakan penganiayaan atau kerja paksa terhadap residen panti rehabilitasi narkoba tidak berizin itu.
”Residen panti rehabilitasi sebanyak 48 orang dan semuanya sudah dipulangkan ke keluarga. Kami baru bisa melakukan asesmen terhadap tujuh orang dan dua di antaranya kami minta melanjutkan rehabilitasi di tempat resmi,” kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rusmiati, Selasa (25/1/2022).
Rusmiati mengatakan, pihaknya sudah meminta semua residen dari panti rehabilitasi di rumah pribadi Terbit itu menjalani asesmen untuk menentukan apakah harus melanjutkan rehabilitasi lagi atau tidak. Asesmen dilakukan dengan wawancara, observasi, serta pemeriksaan fisik dan psikis. Namun, baru tujuh yang hadir untuk asesmen.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya menemukan dua ruangan mirip penjara saat menggeledah rumah pribadi Terbit dalam operasi tangkap tangan kasus korupsi, Selasa sampai Rabu (18-19/1/2022). Ruangan dengan jerjak besi berukuran masing-masing 6 meter x 6 meter itu berisi 48 orang yang sedang menjalani rehabilitasi narkoba.
Migrant Care pun melaporkan dugaan penganiayaan, penyiksaan, dan kerja paksa ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Polda Sumut pun menyelidiki dugaan itu.
Hasil pemeriksaan BNN Langkat, kata Rusmiati, panti rehabilitasi itu tidak memiliki izin dari Kementerian Sosial atau dinas sosial setempat. Namun, sudah 10 tahun panti rehabilitasi itu beraktivitas. Mereka tidak memungut biaya apa pun dari residen. Pada 2017, BNN sudah melakukan survei dan meminta agar izin diurus.
Kepada Kompas, para residen pantai rehabilitasi itu mengaku sangat terkejut mendengar berita tentang penyiksaan, kerja paksa, dan penganiayaan di panti rehabilitasi mereka. ”Kami memang tinggal di ruangan berjeruji besi, tetapi kami keluar dari pagi hingga sore. Saya juga tidak pernah mengalami atau melihat ada penyiksaan dan kerja paksa,” kata Eka Ferdinan Bangun (27), warga Desa Raja Tengah, Langkat, yang sudah tujuh bulan menjalani rehabilitasi.
Eka mengatakan, aktivitas mereka sehari-hari adalah bangun sekitar pukul 05.00, shalat atau ibadah, makan, olahraga, mencuci pakaian sendiri, dan bersih-bersih di kompleks rumah pribadi Terbit. Mereka juga dikunjungi dokter dari puskesmas setempat dua kali sepekan.
Setelah menjalani rehabilitasi, kata Eka, ia mulai dipekerjakan sebagai sopir truk pengangkut sawit dari kebun rakyat ke pabrik kelapa sawit milik Terbit.
Setelah menjalani rehabilitasi, kata Eka, ia mulai dipekerjakan sebagai sopir truk pengangkut sawit dari kebun rakyat ke pabrik kelapa sawit milik Terbit. Ia pun mendapat gaji seperti sopir pada umumnya.
Hal serupa disampaikan residen lain, seperti Jefri Sembiring (27) dan Andre Tarigan (29). Warga di sekitar rumah Terbit pun menyebut, sebelum panti rehabilitasi itu ada, hampir semua anak muda di sana terjerat narkoba.
Suparman Perangin-Angin, pengawas panti rehabilitasi, menyatakan, sudah lebih dari 500 orang yang menjalani rehabilitasi di tempat mereka selama 10 tahun ini. Sebagian dipekerjakan di pabrik, kebun, hingga bengkel las setelah bisa sembuh dari kecanduan narkoba.
Saat ditanya tentang izin, Suparman menyebut tidak mengetahui hal tersebut. ”Kalau soal izin saya tidak tahu. Saya hanya mengawasi semua kegiatan anak-anak,” katanya.
Ia pun menyangkal tentang adanya penganiayaan. Residen yang mengalami luka lebam sebagaimana ditunjukkan dalam foto yang dilaporkan Migrant Care, menurut Suparman, adalah residen baru yang mengalami pemukulan saat dipaksa keluarganya masuk ke panti rehabilitasi. Ada juga yang berkelahi sesama residen.
”Kami memang tidak memberikan alat komunikasi. Itu biasa dalam rehabilitasi. Namun, kami ada jam berkunjung setiap akhir pekan,” katanya.
Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Hadi Wahyudi mengatakan, dugaan penyiksaan atau kerja paksa itu masih dalam proses penyelidikan. Belum ada tersangka dalam kasus itu. ”Kami masih menyelidiki kasus itu,” kata Hadi.
Hewan dilindungi
Dugaan tindak pidana yang dilakukan Terbit pun terus berkembang. Setelah ditemukan dugaan penyiksaan dan kerja paksa, penggeledahan KPK pada Selasa pun menemukan dugaan kejahatan baru. Mereka menemukan sejumlah hewan dilindungi di rumah itu, seperti orangutan sumatera, kera sulawesi, dan sejumlah jenis burung.
”Kami menyita hewan dilindungi ini setelah mendapat informasi dari KPK,” kata Kepala Seksi Wilayah II Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumut Herbert Aritonang.
Orangutan itu pun langsung dievakuasi untuk menjalani pemeriksaan dan rehabilitasi.