Morfospesies baru atau yang belum pernah dicatatkan sebelumnya ditemukan di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Semut itu ditanamai Overbeckia jambii.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
Penelitian sepuluh tahun terakhir di hutan hujan dataran rendah Jambi mengungkap rekor baru keanekaragaman semut (Hymenoptera: Formicidae). Ada sebanyak 335 (morfo)-spesies semut yang telah diidentifikasi. Menjadi bahan berharga bagi upaya mitigasi perubahan iklim.
Proses identifikasi yang dimulai 2012 melibatkan 200.000 spesimen semut yang tersebar pada empat tipe penggunaan lahan, mulai dari hutan sekunder, hutan karet, kebun karet, dan kebun sawit. Hasilnya menunjukkan betapa kayanya keanekaragaman semut.
Bahkan, ditemukan pula morfospesies baru atau yang belum pernah dicatatkan sebelumnya. Morfospesies yang baru itu telah dinamai Overbeckia jambii. “Jenis semut ini ditemukan di Taman Nasional Bukit Duabelas,” ujar Rizky Nazarreta, Senin (25/1/2022), peneliti semut dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang tergabung dalam Proyek Kolaborasi Riset Jerman-Indonesia CRC990 - EFForTS. Riset kolaboratif itu melibatkan IPB, Universitas Jambi, Universitas Tadulako, dan Universitas Göttingen.
Secara keseluruhan penelitian ini ingin mengungkap bagaimana alih fungsi lahan berdampak pada biodiversitas hingga ekonomi sosial. Riset menghasilkan beragam temuan. Di tengah riset itulah, sejumlah rekor didapati, salah satunya mengenai biodiversitas dan temuan morfospesies baru semut.
Menurut Rizky, konversi hutan menjadi perkebunan monokultur berdampak besar pada menyusutnya keragaman spesies semut. Di Indonesia, lebih dari 40 persen hutan hujan dataran rendah telah hilang. Bahkan, Indonesia disebut-sebut memiliki laju deforestasi tertinggi di dunia pada 2012. Kondisi itu menyebabkan banyaknya kehilangan spesies. Kehilangan yang terjadi pada semut bisa dibilang senyap alias tak cukup terungkap.
Untuk itu, riset menginventarisir keragaman yang ada di dalam hutan hujan tropis di Taman Nasional Bukit Duabelas dan sekitarnya, serta Hutan Harapan dan sekitarnya. Kedua lanskap yang berlokasi di Jambi mewakili kondisi hutan hujan dataran rendah hingga monokultur.
Ia menjelaskan, riset dijalani dalam tiga fase itu. Tim mengumpulkan lebih dari satu juta semut di wilayah itu. Pengumpulan spesimen dilakukan melalui pengasapan pada sejumlah titik lokasi, mulai dari serasah, tanah, hingga di antara kanopi.
Hasil identifikasi di laboratorium menunjukkan terdapat 336 spesies dari 71 genera dan 10 subfamili.Komunitas semut kanopi baik di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas dan Hutan Harapan sebanyak 112 spesies. Namun, lanskap Bukit Duabelas memiliki 56 spesies eksklusif, sedangkan lanskap Harapan 10 spesies eksklusif.
Sebanyak 44 spesies ditemukan menyebar pada keempat sistem penggunaan lahan tadi. Selanjutnya, 39 spesies secara eksklusif ditemukan di hutan sekunder, sepuluh spesies di hutan karet.
Adapun, keragaman spesies semut di areal monokultur sangat sedikit. Hanya ada tiga spesies di kebun sawit dan dua spesies di kebun karet. Hasil ini menegaskan keragaman yang semakin melimpah dalam kondisi lingkungan yang mendukung.
Diabaikan
Ia pun mendapati minimnya keragaman semut disebabkan kehadiran semut invasif. Di Christmas Island misalnya, jenis semut invasif Anoplolepis gracilipes (Yellow cracy ant) yang masuk salah satu dari 5 spesies semut invasif telah sangat membahayakan lingkungan sekitarnya. Salah satu kasus yang jadi catatan penting temuan 3 juta kepiting merah yang mati di sana oleh semut-semut invasif ini dalam waktu hanya 18 bulan.
Dunia semut selama ini nyaris tak menjadi perhatian orang. Sampai-sampai peneliti semut Bert Hölldobler dan Edward O Wilson dalam buku the Ants, tahun 1991, menyebut “Semut ada di mana-mana, tetapi hanya sesekali diperhatikan.Mereka menjalani sebagian besar dunia terestrial sebagai pembalik tanah, penyalur energi, mendominasi fauna serangga, namun hanya disebutkan sepintas dalam buku teks tentang ekologi."
Pengabaian semut dalam ilmu pengetahuan dan sejarah alam adalah kekurangan yang seharusnya diperbaiki karena, lanjutnya, mereka mewakili puncak evolusi serangga. Seperti halnya manusia mewakili puncak evolusi vertebrata.
Hasil riset di Jambi, lanjut Rizky, memberikan banyak petunjuk penting bagi dunia menjaga kehidupan yang lebih baik. Itu sebabnya, hasil riset semut akhirnya dibukukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan judul A Guide to the Ants of Jambi, November 2021 lalu.
Pengabaian semut dalam ilmu pengetahuan dan sejarah alam adalah kekurangan yang seharusnya diperbaiki karena mereka mewakili puncak evolusi serangga . ( Rizky Nazarreta)
Koordinator Kantor CRC 990/EFForTS Jambi, Aiyen Tjoa, mengatakan selain semut, serangkaian riset masih berjalan. Hal itu untuk mengungkap dan mendata dampak dari kompleksitas perubahan hutan hujan tropis dataran rendah menjadi sistem perkebunan. Hasilnya akan menjadi informasi berharga bagi pengambil kebijakan ataupun pengguna lahan dalam menerapkan pengelolaan lahan yang berkelanjutan di tengah perubahan iklim.
Menurunnya keragaman spesies semut di areal monokultur, bisa jadi seiring pada berkurangnya tingkat kesuburan lahan. Menurut Aiyen, ketika komoditas industri perkebunan tak dapat dihindari, perlu dicari jalan keluar menerapkan praktik budidaya yang berkelanjutan. Caranya dengan memaksimalkan keragaman hayati.
Salah satu spot percobaan yang dilakukan di Muaro Jambi menunjukkan budidaya sawit dengan menerapkan agroforest dan menimalkan asupan pupuk dan pembasmi hama kimia ternyata malah berhasil menumbuhkan berbagai jenis mikroorganisme yang optimal menyuburkan lahan. Selain menghemat biaya produksi, volume hasil panen tetap stabil.
Di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), pemangku wilayah berkolaborasi dengan masyarakat adat Orang Rimba untuk mengelola kawasan itu. Zonasi pemanfaatan kawasan diatur berdasarkan hukum adat dan hukum negara yang telah dipadularas.
Lewat cara pengelolaan itulah, kata Kepala Balai TNBD, Haidir, ekosistem menjadi lebih terjaga. Bahkan, hingga kini masih banyak tanaman-tanaman buah-buahan endemik mulai dari durian daun (Durio oxleyanus), tampui (Baccaurea macrocarpa), kudukuya. Ada pula benton, buah yang berbentuk mirip kurma, tapi berwarna keunguan.
Lewat pengelolaan yang melibatkan hukum adat, pengrusakan hutan ditekan. Bahkan, adanya monokultur karet dan sawit yang sempat merambah pinggiran taman nasional itu kini mulai dihutankan kembali menjadi agroforest.