Musadat, Peringatan Kepunahan dalam Senyap
Segelintir orang menaruh perhatian pada spesies non karismatik. Jika tanpa perhatian khusus, akan mempercepat kepunahan senyap di alam. Musadat berjuang menyuarakan ancaman itu untuk capung, kupu-kupu, katak, dan ikan.
Kala perhatian dunia tertuju pada penyelamatan satwa karismatik, Musadat tetap setia pada yang spesies kecil yang nyaris terlupakan di alam. Ia dapati kepunahan tengah membayangi ragam spesies itu. Dalam senyap.
Malam-malam ia panjati puncak pohon-pohon bertajuk luas. Suatu ketika, rasa penasarannya terjawab. Katak pohon terbang (Rhachophorus pardalis) ada di salah satu puncak dahan pohon. Ia kaget bukan kepalang. Ternyata jenis katak itu bukan hanya dalam cerita. Bukan pula berada di belahan dunia lain, melainkan di Hutan Harapan tempatnya berada. Lokasinya di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan.
Ia pun menceritakan kisah penemuan itu kepada Andre Jankowski, peneliti amfibi dari Universitas Hamburg, Jerman, yang tengah menjajaki riset di Hutan Harapan. Andre sangat gembira mendapatkan kabar dari Musadat. Dari situ mereka bersama menjelajahi hutan. Setelah berbulan-bulan lamanya, mereka dapati setidaknya ada 55 jenis amfibi dalam hutan itu. Semuanya berperan penting sebagai indikator perubahan lingkungan.
Hutan Harapan merupakan dataran rendah tersisa di jantung Sumatera. Kondisinya terbilang baik meski di tengah kuatnya desakan pembalakan dan perambahan liar. Hingga kini, hutan itu masih menjadi surga bagi kehidupan liar sekaligus aset penting bagi para peneliti.
Ia dapati silih berganti kalangan periset memperoleh temuan-temuan baru di hutan itu. Selain katak pohon terbang, ada pula temuan katak terkecil bernama Mycryletta sumatrana yang panjangnya hanya 1,74 sentimeter. Kepalanya berwarna coklat, dengan bintik-bintik kecoklatan pada mulut, telinga, dan perut. Musadat turut kagum dengan berbagai temuan baru belakangan ini.
Dua dasawarsa silam, sewaktu ia menjadi petugas keamanan di sana. Kala itu, hutan masih berstatus hak pengusahaan hutan (HPH). Setelah HPH beralih konsesi untuk restorasi ekosistem selua 98.000 hektar, tahun 2008, ia pun masih bekerja di sana.
Baca Juga: Ari Hidayat dulu Pemburu Kini Pelindung Satwa
Berubahnya peruntukan hutan turut membawanya pada satu kesadaran baru. Kala itu, manajer riset setempat, David Lee, kerap mengajaknya menjelajah hutan. ”Saya diajak membantunya melakukan survei biodiversitas. Dari situ, saya mulai menyurvei burung, ungko, serangga, hingga mamalia,” kenangnya.
Musadat belum pernah mengenyam bangku akademik. Ia bahkan tak lulus SMA. Namun, dengan cepat ia belajar mengidentifikasi ragam spesies, lengkap dengan nama-nama ilmiahnya, serta perilaku hingga ancaman yang menyertai.
Kepada sang manajer, ia pun menyatakan keinginan untuk mendokumentasikan tiap-tiap spesies. Rencana itu mendapatkan dukungan. ”Awalnya saya coba memotret burung. Setelah melihat hasilnya, David akhirnya meminjamkan kameranya untuk saya bawa ke mana-mana,” katanya lagi.
Data awal survei selama 15 bulan itu menunjukkan ratusan jenis satwa dan tumbuhan penting sekaligus terancam punah di kawasan ini. Di antaranya 293 spesies burung, 154 mamalia, 27 amfibi, 42 reptilia, dan 444 spesies tumbuhan. Jumlah itu terus berkembang seiring makin banyaknya riset berjalan di sana.
Setahun kemudian, David tak lagi bekerja di Hutan Harapan. Namun, Musadat bertemu dengan beberapa peneliti lainnya, termasuk peneliti katak Andre dan peneliti ikan dari Universitas Jambi Tedjo Sukmono. Dari merekalah ia semakin mendalami riset biodiversitas. Untuk melengkapinya, ia pun memperdalam fotografi satwa. Beberapa kali fotografer bertandang ke hutan itu. Kedatangan mereka dimanfaatkannya menggali ilmu. Salah satu yang sangat menariknya adalah fotografi makro.
Lewat fotografi makro pula, perhatiannya semakin tersedot pada ikan, serangga, dan amphibi. Setiap kali didapatkan spesies baru yang menarik perhatian, ia pun berdiam di sana untuk waktu yang lama. Ia amati capung, kupu-kupu, hingga ngengat. Ada kalanya ia berjam-jam waktu mengamati dan memotret ragam perilaku capung. Sampai-sampai, kawan yang mendampinginya mengira ia sudah gila.
Setelah berbulan-bulan lamanya, Musadat telah menginventaris setidaknya 72 spesies capung, lengkap dengan dokumentasi makronya. Dokumentasi itu menjadi bahan penting bagi riset-riset belanjutnya.
Di tengah besarnya ancaman perubahan iklim, kepunahan satwa menjadi perhatian banyak pihak. Namun, harus diakui perhatian itu lebih banyak tertuju pada satwa-satwa karismatik, seperti harimau sumatera, gajah sumatera, ataupun badak dan orangutan.
Segelintir saja yang menaruh perhatian pada spesies nonkarismatik. Jika tanpa perhatian, lanjutnya, hal itu mempercepat terjadinya kepunahan-kepunahan senyap di alam.
Keberadaan capung merupakan indikator penting bagi lingkungan. Capung-capung jenis jarum, misalnya hanya bisa didapati dalam kondisi vegetasi yang rimbun dengan danau dan sungai berair jernih. Dengan tingkat kelembaban dan suhu tertentu. Jika deforestasi terus berlanjut, keragaman hayati akan semakin tertekan.
Begitu pula katak menjadi indikator perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Masih adanya jenis-jenis katak tertentu, termasuk katak pohon terbang, menandakan kondisi lingkungannya yang masih baik. Katak masih memiliki sarang yang nyaman dengan kelembaban, naungan, dan suhu yang cocok bagi mereka untuk bertahan hidup. ”Kalau tidak ada lagi pohon-pohon besar, akan punahlah jenis katak ini,” lanjutnya.
Selain memburu katak, ia pun menjelajahi danau, rawa, dan sungai untuk menyurvei ikan-ikan pedalaman mendampingi Iktiolog Tedjo Sukmono. Hasilnya, ditemukan 20 spesies baru ikan yang belum pernah tercatat sebelumnya. Di antaranya jenis seluang (Crossocheilus oblongus), tali-tali (Nemacheilus spiniferus), dan terpayang (Labiobarbus festivus).
Baca Juga: Ikan-ikan di Pulau Emas
Ada pula ikan yang kemudian dinamakan Puntius sp ”Harapan” karena ditemukan pertama kali di Hutan Harapan. Warga lokal biasa menyebut ikan tersebut dengan nama seluang kuring. Temuan (spesies) ini menjadi catatan baru bagi Jambi dan juga data baru untuk Sumatera. Uniknya lagi, sejumlah spesies yang telah berstatus terancam dan genting masih didapati menyebar di perairan itu. Menikmati kenyamanan dalam habitat aslinya.
Satu hal yang mulai mengkhawatirkan adalah mulai terjadi mutasi titik pada lima spesies ikan air tawar, yakni kepyur (Puntius lateristriga), sebarau (Hampala macrolepidota), aropadi (Osteochilus microchepalus), dan gabus (Channa striata). Satu jenis lainnya, seluang (Striuntius sp Harapan), bahkan diduga sudah mengalami mutasi gen, meski dugaan ini masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Temuan ikan-ikan bermutasi ini sungguh tak terduga di tengah proses penelitian mereka sepanjang 2012-2014, saat tim bermaksud mendata dan menginventarisasi keragaman satwa air di kawasan restorasi itu. Lokasinya antara lain di Sungai Kapas, Sungai Kandang, dan Sungai Lalan, serta Danau Tiung Luput, Danau Kamp, Danau 41, Danau Rohani, dan Danau Klompang.
Salah satu perubahan mencolok yang terjadi adalah pada gabus-gabus dewasa di Danau 41 ditemukan dalam kondisi insang busuk, tetapi masih bisa hidup atas bantuan alat pernapasan lain berupa labirin. Perubahan ini sebagai bentuk adaptasi atas lingkungan yang berubah.
Potensi perairan di Hutan Harapan, lanjut Musadat, sangat besar. Jumlahnya ada 32 danau dan sungai. Temuan perubahan pada satwa menjadi petunjuk agar upaya pemulihan lingkungan segera dilakukan.
Setelah para peneliti kembali ke kampusnya, tinggallah Musadat di hutan itu. Ia bertekad meneruskan riset mandiri pada-spesies kecil lainnya. Ia meyakini peranan penting mereka dalam kehidupan di alam perlu terus diungkap. Menjadi bahan pengetahuan bagi semua orang agar turut peduli menjaga alam.
Baca Juga: Harimau Sumatera di Titik Nadir
Musadat
Lahir: Palembang, 15 Mei 1977
Pendidikan: SMP
Istri: Rohati (44)
Anak: Aldi Saputra (17) dan Naysila (12)