Reklamasi Ilegal di Danau Singkarak Berlanjut, Potensi Kerugian Negara Rp 3,3 Miliar
Reklamasi tanpa izin di Danau Singkarak, Kabupaten Solok, Sumbar, kembali dilanjutkan, bahkan mulai didirikan bangunan untuk obyek wisata sejak akhir 2021.
Oleh
YOLA SASTRA
·6 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kegiatan reklamasi tanpa izin di Danau Singkarak, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, berlanjut. Bahkan, sejak akhir 2021 di lokasi reklamasi mulai berdiri bangunan obyek wisata. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Sumatera Barat menghitung, potensi kerugian negara akibat kegiatan ilegal itu mencapai Rp 3,3 miliar. Komisi Pemberantasan Korupsi dan sejumlah kementerian terkait mendorong kegiatan tersebut dihentikan.
Persoalan itu mengemuka dalam diskusi ”Pemulihan Danau Singkarak sebagai Kekayaan Negara” yang diadakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara luring di Jakarta dan daring, Jumat (21/1/2022). Diskusi menghadirkan pembicara dari KPK, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasipnal (ATR/BPN), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Pemerintah Provinsi Sumbar, serta Walhi Sumbar.
Kepala Departemen Kajian, Advokasi, dan Kampanye Walhi Sumbar Tommy Adam mengatakan, kegiatan reklamasi dimulai sejak Juli 2016 di dermaga Jorong Kaluku, Nagari Singkarak, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok, oleh PT KIP. Namun, karena melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten setempat, kegiatan tersebut dihentikan. Luas danau yang ditimbun waktu itu selebar 30-50 meter dan panjang 70-100 meter.
Namun, belakangan aktivitas reklamasi kembali berlanjut. ”Warga kembali melaporkan pembangunan obyek wisata ini diteruskan lagi. Hasil foto kamera drone kami pada 16 November 2021 (menunjukkan) sedang dibangun sebuah wahana obyek wisata di lahan reklamasi,” kata Tommy dalam diskusi.
Menurut Tommy, semestinya, setelah dihentikan pada 2016, kondisi danau mesti diperbaiki dan dipulihkan. Namun, nyatanya itu tidak terjadi dan kegiatan justru dilanjutkan. Kunjungan Walhi di lapangan menemukan puluhan truk mengangkut pasir lalu lalang di sekitar lokasi. Sebagian dari mereka melakukan kegiatan penimbunan untuk pembangunan obyek wisata.
Tommy menjelaskan, kegiatan di lahan hasil reklamasi itu dikerjakan oleh CV AD. Berdasarkan analisis citra satelit, telah terjadi reklamasi secara ilegal seluas 2.976 meter2 di lokasi tersebut. Bahkan, dari pemantauan Walhi dua hari lalu, pembangunan di sekitar dermaga yang direklamasi itu sudah hampir selesai.
Dari perhitungan Walhi, potensi kerugian negara di sektor lingkungan di lahan seluas 2.976 m2 itu mencapai Rp 3,83 miliar. Rinciannya, biaya kerugian ekologis Rp 1,215 miliar, biaya ekonomi Rp 952 juta, dan biaya lingkungan Rp 1,215 miliar.
”Ini biaya bawah, jumlahnya bisa lebih banyak lagi. Total kerugiannya Rp 3,3 miliar dari reklamasi dan pembangunan obyek wisata yang dibangun tanpa ada izin dan berdampak terhadap lingkungan hidup,” ujar Tommy.
Kegiatan reklamasi Danau Singkarak itu, lanjut Tommy, melanggar sejumlah aturan, antara lain Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang Cipta Kerja. Selanjutnya, melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021, PP Nomor 22 Tahun 2021, Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/PRT/M/2015 Tahun 2015, dan Perda Kabupaten Solok Nomor 1 Tahun 2013.
Walhi Sumbar pun merekomendasikan KPK mengusut dugaan potensi kerugian negara serta melakukan kajian lebih detail potensi kerugian negara atas pemanfaatan ilegal di Danau Singkarak. Kementerian ATR/BPN juga diminta melakukan tindakan tegas (pidana dan perdata) terhadap aktivitas ilegal tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diminta pula memberikan sanksi tegas atas kegiatan yang berdampak terhadap kelestarian dan ekosistem danau.
”Kami juga merekomendasikan agar fungsi Danau Singkarak dikembalikan seperti sebelumnya dan memprioritaskan agenda penyusunan zonasi sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2021,” ujar Tommy.
Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah IV KPK Jarot Faizal mengatakan, komisi mendapatkan pengaduan dari masyarakat terkait reklamasi Danau Singkarak ini beberapa waktu lalu. KPK kemudian berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN dan Kementerian PUPR. KPK berupaya terlibat langsung dalam upaya penyelamatan danau prioritas nasional itu sebagaimana termuat dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2021.
”Kami rencananya akan melakukan koordinasi dengan Pemprov Sumbar yang akan dilakukan minggu depan di Padang. Kami juga akan mengunjungi lokasi di Danau Singkarak,” kata Jarot Faizal.
Menurut Jarot Faizal, jika nanti memang ditemukan pelanggaran, KPK mengutamakan pencegahan dan pemulihan aset negara dalam hal ini Danau Singkarak. Komisi mengusulkan kepada Kementerian ATR/BPN agar memberlakukan keadaan status quo atau penghentian sementara kegiatan, diikuti dengan koordinasi secepatanya. ”Penindakan adalah upaya paling akhir. Kalau tidak bisa dibina, kami akan lakukan upaya yang lebih memaksa,” ujarnya.
Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kementerian ATR/BPN Agus Sutanto mengatakan, pihaknya sepakat ada indikasi pelanggaran RTRW dalam kegiatan reklamasi Danau Singkarak. Atas pelanggaran itu, dimungkinkan dikenai sanksi terhadap pelaku. ”Namun, sekali lagi, sanksi itu kami kedepankan sanksi administrasi. Kami sepakat dengan KPK untuk menerapkan status quo,” ucapnya.
Kalau tidak bisa dibina, kami akan lakukan upaya yang lebih memaksa. (Jarot Faizal)
Agus melanjutkan, penerapan status quo akan memberikan kesempatan kepada Pemprov Sumbar untuk mengambil langkah-langkah pengendalian pemanfaatan ruang. Sebab, saat ini kewenangan ada pada pemprov. Apabila persoalan tidak selesai di tingkat pemprov, baru akan diambil alih oleh kementerian.
”Status quo memudahkan gubernur ambil langkah pengendalian, termasuk dalam penentuan sanksi apa yang akan dikenakan. Sanksi administrasi cukup banyak jenisnya, antara lain teguran tertulis, penutupan lokasi, penghentian kegiatan sementara, dan denda administratif, serta pemulihan fungsi ruang seperti sediakala. Sanksi juga bisa dikenakan secara akumulatif,” tutur Agus.
Sementara itu, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Jarot Widyoko mengatakan, adanya pemanfaatan fungsi sempadan danau pada kegiatan reklamasi itu tidak sesuai dengan Permen PUPR No 28 Tahun 2015. Ia pun sepakat dengan KPK dan Kementerian ATR/BPN agar kegiatan di lokasi reklamasi dihentikan dulu, sembari pihaknya mencari kronologinya.
”Dari sisi konservasi, (kegiatan reklamasi) itu mengurangi volume kekayaan alam kita, mengurangi volume air dan kontinuitas volume air dari Danau Singkarak karena ini merupakan kekayaan negara,” katanya.
Menurut Jarot Widyoko, Kementerian PUPR sedang membuat masterplan sehingga langkah penyelamatan danau tersebut lebih jelas lagi. Kementerian akan berkomunikasi dengan pemprov dan pemkab dan memotret apa yang ada sekarang serta bagaimana upaya penyelamatan Danau Singkarak ke depan. ”Sekali lagi, saya yakin, kegiatan reklamasi ini belum ada izin penggunaan dan pengusahaan dari PUPR,” ujarnya.
Sekretaris Daerah Sumbar Hansastri mengatakan, kegiatan reklamasi itu memang muncul kembali akhir 2021. Ia juga menegaskan, sampai saat ini pemprov tidak memberikan izin apa pun terkait penggunaan badan air untuk kegiatan yang tidak sesuai peruntukannya itu.
Menurut Hansastri, gubernur sudah mengirimkan surat kepada Bupati Solok pada 13 Desember 2021. Isinya, memberikan arahan kepada bupati untuk menghentikan segala aktivitas dari pihak mana pun di lokasi itu, sampai semua proses perizinan dan peraturan perundang-undangan dapat dipenuhi. Kemudian, pada 17 Januari 2022, gubernur kembali mengirimkan surat perihal penghentian kegiatan dan pengenaan sanksi.
”Inti surat itu agar bupati menghentikan kegiatan yang sedang dilakukan dan mengenakan sanksi administratif paling lambat tujuh hari kerja sejak surat ini diterima. Jika tidak terlaksana, gubernur akan melakukan tindakan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku,” lanjutnya.
Saat dikonfirmasi terkait surat yang dikirimkan Pemprov Sumbar, Bupati Solok Epyardi Asda berkata singkat, ”Ha-ha, tidak ada itu berita itu. Sudah, saya no comment.” Dari catatan Kompas (23/9/2016), reklamasi pada 2016 adalah proyek milik Epyardi, yang saat itu menjabat anggota DPR asal Sumbar.