Mengadu ke Komnas HAM, Keluarga Curiga Narapidana di Lapas Lubuk Basung Tewas Tak Wajar
Keluarga curiga almarhum Poron meninggal tak wajar karena mengalami banyak luka di tubuh, bukan bunuh diri seperti yang disimpulkan petugas.
Oleh
YOLA SASTRA
·6 menit baca
PADANG, KOMPAS — Keluarga almarhum Syafrial alias Poron (34), narapidana yang tewas di Lapas Kelas II B Lubuk Basung, Agam, Sumatera Barat, mengadu ke Komnas HAM Perwakilan Sumbar. Mereka curiga Poron meninggal tak wajar karena ditemukan banyak luka di tubuh, bukan bunuh diri seperti yang disimpulkan petugas. Polisi kembali melakukan penyelidikan atas kasus ini.
Keluarga almarhum Poron mendatangi kantor Komnas HAM Sumbar di Padang, Sumbar, Selasa (18/1/2022) siang. Mereka didampingi oleh anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Wilayah Sumbar.
Herman (41), kakak ipar Poron, mengatakan, keluarga curiga korban meninggal tidak wajar karena ditemukan banyak luka di tubuh. ”Kami datang ke Komnas HAM agar penyebab kematian anggota keluarga kami diselidiki. Ada luka memar di wajah, tangan, kepala, pinggang, berdarah di telinga, dan lainnya. Kami duga ini akibat benda tumpul. Kami tidak terima dengan kejadian ini,” kata Herman.
Herman menjelaskan, kondisi jenazah yang sudah babak belur diketahui saat jenazah tiba di rumah orangtua korban. Sebelumnya, saat di lapas, keluarga tidak diperlihatkan bagaimana kondisi Poron dan hanya diterangkan bahwa terpidana kasus penyalahgunaan narkoba itu ditemukan bunuh diri, Senin (10/1/2022) pagi.
Karena beranggapan Poron meninggal wajar, keluarga bersedia menandatangani surat pernyataan tidak bersedia melakukan visum yang disodorkan pihak lapas dan berbagai surat lainnya, di samping faktor panik dan tidak paham hukum. ”Pikiran kami waktu itu bagaimana jenazah cepat diselenggarakan. Namun, pas dilihat, ternyata jenazah sudah banyak luka-luka,” ujarnya.
Poron adalah warga binaan di Lapas Kelas II Lubuk Basung. Ia divonis 5,4 tahun kurungan penjaran. Namun, setelah enam bulan masa tahanan, Poron kabur dari lapas pada 28 Agustus 2021. Menurut Kepala Lapas Kelas II B Lubuk Basung Suroto, Poron kemudian ditangkap oleh kepolisian di Tiku, Agam, Jumat (7/1/2022). Betis kirinya ditembak karena ia berupaya melawan dan melarikan diri.
Keluarga Poron yang tidak tahu soal penangkapan itu mengaku hanya mendapat kabar bahwa ayah dua anak itu meninggal pada Senin pagi. Kata Herman, informasi didapat pada Senin menjelang siang dari warga sekitar, bukan dari lapas. Untuk memastikannya, keluarga mendatangi lapas dan ternyata benar, Poron sudah tewas.
Herman melanjutkan, atas kejanggalan kematian Poron, keluarga sudah membuat laporan ke Polres Agam pada 15 Januari 2022. Mereka meminta polisi menyelidiki penyebab kematian Poron yang sesungguhnya. Keluarga bersedia bila kuburan Poron dibongkar kembali untuk keperluan otopsi.
Juga ada goresan tali di leher, bukan bekas tergantung.
Adapun kepada Komnas HAM, Herman meminta komisi agar mendesak polisi menyelidiki kasus ini. Selain itu, juga mendesak agar Kementerian Hukum dan HAM menginvestigasi kasus kematian Poron.
Suharyati, anggota PBHI Sumbar, mengatakan, salah satu kejanggalan kasus kematian Poron adalah penggunaan tali rafia untuk bunuh diri. Ia mempertanyakan, dari mana korban mendapatkan, tali sedangkan ia ditempatkan di sel pengasingan. ”Juga ada goresan tali di leher, bukan bekas tergantung,” katanya.
Selanjutnya, kebijakan lapas menyodorkan surat keterangan tidak bersedia divisum ke pihak keluarga juga dinilai janggal. Sebab, melakukan visum melalui kepolisian adalah kewajiban lapas. Beda halnya bila keluarga sendiri yang meminta agar jenazah tidak usah divisum karena sudah ikhlas dan sebagainya.
Sementara itu, Adrizal, penanggung jawab isu peradilan yang adil LBH Padang, mengatakan akan mengkaji lebih jauh dugaan penyiksaan terhadap Poron. ”Kami upayakan pelaporan ke instansi terkait untuk advokasi lebih jauh,” ujarnya.
Kepala Komnas HAM Sumbar Sultanul Arifin meminta keluarga korban dan pendamping agar melengkapi laporan secara tertulis dan dilampirkan dengan dokumen pendukung. Dalam laporan, keluarga mesti menjelaskan kronologi kejadian serta tuntutan yang bisa dilakukan Komnas HAM.
”Berdasarkan laporan tertulis itu kami akan tindak lanjuti ke instansi terkait. Tadi baru berupa curah pendapat dan menyampaikan kejadian yang mereka alami, belum ada lampiran dokumen yang mesti dilengkapi,” kata Sultanul.
Jika sudah ada surat pengaduan, kata Sultanul, komisi akan membuat surat klarifikasi ke instansi terkait, antara lain kepolisian, lapas, dan Kemenkumham. Jika tidak dijawab, akan dikirimkan surat klarifikasi kedua. ”Jika tidak dijawab juga, kami bakal turun ke lapangan,” ujarnya.
Bunuh diri
Kepala Lapas Kelas II B Lubuk Basung Suroto mengatakan, keluarga korban berhak melapor ke Komnas HAM. ”Yang jelas kami sudah serahkan jenazah ke keluarga, ada bukti serah terima dan surat keterangan kematian bahwa yang bersangkutan murni bunuh diri. Jika diminta konfirmasi, nanti kami beri laporan,” katanya.
Menurut Suroto, polisi meminta lapas menjemput Poron di RSUD Lubuk Basung pada Minggu (9/1/2022) pukul 03.00. Poron diserahkan dalam kondisi luka tembak dan babak belur akibat dikeroyok massa. Narapidana tersebut ditempatkan di sel pengasingan agar aman dari narapidana lainnya.
Selanjutnya, pada Senin pagi Poron ditemukan meninggal bunuh diri. ”Kami periksa, pagi pukul 06.00, sudah kedapatan bunuh diri. Ia duduk di dekat terali, leher dicekikkan sendiri dengan tali rafia. Tali ini untuk ikat tangan dia sebelumnya. Diterima dari polisi dalam kondisi tangan terikat seperti itu,” ujarnya.
Diterangkan Suroto, Poron kabur pada 28 Agustus tahun lalu dengan memanjat, dibantu kawannya dari luar dengan tali. Polisi kembali menangkapnya pada Jumat (8/1/2022). Sebelum itu, ia diamuk massa karena ketahuan mencuri di daerah Tiku, kemudian diserahkan ke polisi.
Suroto kembali menegaskan, Poron meninggal murni karena bunuh diri. Saat ditemukan meninggal, lapas langsung menghubungi polisi untuk memeriksa penyebab kematian narapidana itu dan disimpulkan bunuh diri. Lapas juga menghubungi puskesmas setempat.
Setelah itu, lapas juga menghubungi keluarga korban untuk serah terima. ”Kalau keluarga keberatan soal surat pernyataan tidak diotopsi itu, mereka bisa lapor ke polisi,” ujar Suroto.
Tidak dikeroyok
Kepala Polres Agam Ajun Komisaris Besar Dwi Nur Setiawan mengatakan, polisi sudah menerima laporan adanya kejanggalan kematian pada Poron. ”Perkara kami disposisikan ke unit yang menangani dan sudah kami mulai tindak lanjuti dengan penyelidikan,” kata Dwi.
Dwi membantah jika Poron diserahkan ke lapas dalam kondisi babak belur. Saat diserahkan ke lapas, narapidana itu cuma mengalami luka tembak di kaki dan luka di kepala ketika berupaya kabur dan melawan petugas.
”Ia langsung kami beri pertolongan medis ke RS. Setelah itu, boleh dibawa kembali ke lapas. Saat diserahkan, narapidana bahkan berjalan sendiri ke mobil orang lapas. Berita acara ada semua,” ujarnya.
Keterangan Dwi berbeda dengan Suroto. Menurut Dwi, Poron tidak dikeroyok massa. Ia ditangkap pada acara organ tunggal. Warga saat itu justru ikut membantu petugas mencarikan tali pengikat Poron karena borgol yang dikenakan petugas dol karena ditarik-tarik. Petugas di lapangan waktu itu juga terbatas. ”Tidak ada dikeroyok warga,” ujarnya.
Ditambahkan Dwi, saat pertama kali mendapatkan laporan kematian Poron dari lapas, petugas menyimpulkan ia bunuh diri. Dari pemeriksaan luar, semua ciri-ciri orang bunuh diri ada pada almarhum. Namun, karena ada laporan dari keluarga, polisi kembali menyelidikinya. ”Tindak lanjut ke depan, akan kami otopsi lagi untuk mengungkap penyebab kematian korban,” katanya.