Sempat Bebas, MA Menjatuhkan Vonis 15 Tahun Penjara pada Pemerkosa Anak Kandung
Kasus kekerasan terhadap anak di Aceh terus berulang. Laporan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh sepanjang 2017-2019, jumlah kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 2.692 kasus.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
JANTHO, KOMPAS — Majelis Hakim Mahkamah Agung menjatuhkan vonis penjara 15 tahun penjara terhadap Sur (45), terdakwa pemerkosa anak kandung di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Padahal, sebelumnya oleh hakim Mahkamah Syar’iyah (Pengadilan Agama) Provinsi Aceh membebaskan terdakwa.
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Shiqqi Noer Salsa, yang dihubungi, Kamis (13/1/2022), menuturkan, putusan hakim Mahkamah Agung sesuai dengan tuntutan yang mereka ajukan.
”Terdakwa telah kami tahan di rumah tahanan Jantho. Selain vonis penjara, terdakwa harus membayar restitusi kepada keluarga korban sebesar Rp 14,2 juta,” kata Shiqqi.
Terdakwa telah kami tahan di rumah tahanan Jantho. Selain vonis penjara, terdakwa harus membayar restitusi kepada keluarga korban sebesar Rp 14,2 juta. (Shiqqi Noer Salsa)
Sur diduga memerkosa anak kandungnya yang berusia lima tahun. Dalam sidang pengadilan tingkat pertama di Mahkamah Syar’iyah (MS) Kota Jantho, 16 Agustus 2021, Sur divonis penjara 16 tahun. Namun, Sur mengajukan banding ke Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh. Pada Oktober 2021, hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh menjatuhkan vonis bebas.
Dalam salinan putusan Nomor 22/JN/2021/MS-Aceh itu disebutkan keterangan saksi ibu korban, keterangan dokter, keterangan psikolog, dan bukti visum et repertum tidak cukup kuat untuk menyatakan terdakwa bersalah.
”Ada perbedaan pertimbangan oleh hakim MS Aceh dengan hakim MA,” kata Shiqqi.
Pada hakim MS Aceh, bukti visum dan keterangan saksi-saksi tidak dianggap sebagai bukti yang kuat untuk menyatakan terdakwa bersalah. Adapun di hadapan hakim MA, bukti visum dan keterangan saksi-saksi tetap menjadi pertimbangan menjatuhkan vonis penjara.
Dihubungi terpisah, Kepala Mahkamah Syar’iyah Aceh Rosmawardani menolak memberikan keterangan. ”Kasus itu sudah selesai tidak perlu lagi ditanggapi,” kata Rosmawardani.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Syahrul mengatakan, bukan kali pertama hakim MS Aceh membebaskan terdakwa pemerkosa anak. Di Aceh, kasus kekerasan seksual pada anak diproses menggunakan Qanun Jinayah dan disidang oleh Mahkamah Syar'iyah.
Menurut Syahrul, hukuman penjara dalam Qanun Jinayah sangat lemah dibandingkan dengan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Dalam qanun, hukuman penjara maksimal 200 bulan (16,6 tahun). Adapun dalam UU Perlindungan Anak, hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar dan memiliki hukuman pemberat.
Dalam UU Perlindungan Anak, jika pemerkosaan dilakukan oleh orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana.
”Kami mendesak Qanun Jinayah agar direvisi. Lebih baik kasus kekerasan seksual terhadap anak diproses menggunakan UU Perlindungan Anak,” kata Syahrul.