Sedimentasi Sungai di Tegal Hambat Aktivitas Nelayan Tradisional
Nelayan tradisional Kota Tegal, Jateng yang menyandarkan kapalnya di muara sungai mengeluhkan pendangkalan Sungai Bacin di kawasan pelabuhan Kota Tegal. Selain menggerus pendapatan, sedimentasi memakan korban jiwa.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Sejumlah nelayan tradisional mengeluhkan sedimentasi muara Sungai Bacin di kawasan Pelabuhan Kota Tegal, Jawa Tegah, yang menghambat pergerakan masuk dan keluar kapalnya. Akibat hambatan itu, para nelayan kesulitan melaut dan harus mencari pekerjaan lain untuk bertahan hidup.
Sejak 12 tahun terakhir, nelayan tradisional yang memiliki kapal berukuran 5 gros ton (GT) terganggu dengan adanya pendangkalan muara Sungai Bacin. Sungai Bacin sering dijadikan tempat bersandar kapal-kapal kecil yang tak dapat tempat di pelabuhan.
Sebelumnya, akses masuk dan keluar kapal tergolong mudah karena permukaan sungai dan dasar sungai berjarak sekitar satu meter. Sejak 2010, jarak antara permukaan dan dasar sungai semakin menipis. Pada awal 2022 misalnya, jarak antara dasar dan permukaan sungai yang paling tinggi adalah 20 sentimeter. Hal itu hanya terjadi apabila air laut pasang. Padahal, agar kapal bisa melintas, kedalaman air setidaknya 50 sentimeter.
”Kalau sungainya dangkal, kapal enggak bisa lewat. Jadi (kami) tidak melaut. Potensi pendapatan yang hilang akibat tidak melaut sekitar Rp 250.000 per hari,” kata Warno (53), nelayan tradisional Kota Tegal, Jumat (7/1/2022).
Selain kehilangan potensi pendapatan akibat tidak melaut, Warno dan nelayan tradisional lainnya juga harus merugi karena tidak bisa membayar utang biaya perbekalan. Sebelum melaut, para nelayan tradisional menyiapkan perbekalan berupa makanan dan minuman untuk tiga hari. Biaya perbekalan untuk satu orang nelayan sekitar Rp 200.000.
Untuk bertahan hidup, para nelayan tradisonal terpaksa beralih mata pencarian sebagai buruh angkut di pelabuhan. Dari bekerja sebagai buruh angkut, upah yang diterima Warno berkisar Rp 30.000 hingga Rp 50.000 per hari.
”Uang segitu hanya cukup untuk makan, itu saja kadang-kadang kurang. Padahal, kami ada kewajiban lain, misalnya biaya listrik, air, sekolah anak, dan lain-lain,” imbuhnya.
Selain merugikan dari segi ekonomi, sedimentasi sungai itu juga ”memakan korban”. Warto (55), salah satu nelayan tradisional, menyebutkan, sedikitnya lima nelayan dilarikan ke rumah sakit akibat terluka setelah nekat mendorong kapal. Nelayan-nelayan tersebut nekat mendorong kapalnya hingga di bibir pantai lantaran ingin bisa melaut.
Uang segitu hanya cukup untuk makan, itu saja kadang-kadang kurang. Padahal, kami ada kewajiban lain misalnya biaya listrik, air, sekolah anak, dan lain-lain.
”Sudah lima teman saya yang menjadi korban. Bahkan, salah satu di antaranya sampai meninggal karena kelelahan mendorong kapal. Mau sampai kapan harus seperti ini? Tolong perhatikan nasib kami,” ucap Warto.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jateng Riswanto mengatakan, di sepanjang muara Sungai Bacin, ada sekitar 30 kapal berukuran di bawah 5 GT yang bersandar. Sedikitnya 100 nelayan yang menggantungkan hidupnya dari operasional kapal-kapal tersebut.
Selain di Sungai Bacin, sedimentasi juga terjadi di sejumlah sungai yang menjadi tempat bersandar kapal-kapal kecil Kota Tegal, seperti Sungai Kemiri dan Sungai Sibelis. Menurut Riswanto, sejumlah pejabat pernah berjanji untuk menangani sedimentasi sungai tersebut. Namun, hingga kini, penanganan belum juga dilakukan.
”Dalam kunjungannya ke Kota Tegal, dua tahun lalu, Gubernur Jateng bersama Wali Kota Tegal pernah berjanji akan menormalisasi sungai-sungai tersebut. Kami juga sudah beberapa kali diundang rapat oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kota Tegal terkait rencana normalisasi, tetapi hingga kini belum ada realisasinya,” tutur Riswanto.
Menurut Riswanto, pihaknya sudah mendatangi DPUPR Kota Tegal untuk menanyakan rencana normalisasi sungai-sungai tersebut, terutama Sungai Bacin. Kepada Riswanto, DPUPR Kota Tegal mengatakan, penanganan sedimentasi Sungai Bacin membutuhkan biaya sebesar Rp 5,7 miliar. Hanya, anggaran itu belum diterima DPUPR Kota Tegal dari Pemerintah Provinsi Jateng. Sebab, normalisasi sungai merupakan kewenangan pemerintah provinsi.
Dikonfirmasi terpisah di rumah dinasnya di Kota Semarang, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menyatakan bahwa pengerukan sedimen di sejumlah sungai dan Pelabuhan Kota Tegal sudah masuk dalam perencanaan. Menurut rencana, normalisasi sungai dan perbaikan pelabuhan akan dimulai tahun ini.
”(Persoalan sedimentasi sungai) tidak hanya di Kota Tegal, tapi di banyak tempat di pantura, termasuk di Pati dan Jepara. Beberapa (akan) kami perbaiki, termasuk yang pelabuhan Tegal juga akan kami kerjakan tahun ini,” kata Ganjar.