Keprihatinan sejumlah pihak menghidupkan lagi denyut nadi bangunan kuno sarat sejarah yang sempat terhenti. Ancaman tergerusnya ingatan warga atas riwayat kotanya pun memudar seiring bergeliatnya wisata berbasis sejarah.
Oleh
Nino Citra Anugrahanto
·7 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pesepeda melintas di depan bangunan cagar budaya De Tjolomadoe di Kecamatan Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (6/1/2022). Bangunan bekas Pabrik Gula Colomadu yang berdiri tahun 1861 pada masa kepemimpinan KGPAA Mangkunegara IV itu saat ini dimanfaatkan sebagai destinasi wisata dan tempat menggelar bermacam acara.
Surakarta Raya kaya akan jejak sejarah. Dibuktikan dari peninggalan bangunan-bangunan tua. Sebagian bangunan tua sempat tidak terawat. Atas keprihatinan sejumlah pihak, warisan sejarah itu direvitalisasi hingga berdaya tarik wisata. Aktivitas wisata yang ada justru menjadi napas dan denyut dari bangunan kuno sekarang ini.
Satya Widasanti (52), wisatawan asal Yogyakarta, tampak serius membaca perjalanan Pabrik Gula (PG) Colomadu yang dituliskan pada tembok salah satu sudut di Museum De Tjolomadoe, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (30/12/2021). Putrinya, Abriel (7), menyimak informasi yang dibacakan itu dengan saksama. Kepalanya mengangguk-angguk seolah mengerti penjelasan yang dibacakan sang ibu.
Di tembok itu tertulis masa kejayaan industri gula terjadi pada era 1920-an. Kala itu, ekspor gula dari Hindia Belanda, yang saat ini menjadi Indonesia, selalu meningkat setiap tahunnya. Bahkan, pada 1930-an, Hindia Belanda pernah menjadi yang eksportir terbesar kedua di dunia. PG Colomadu disebut turut berkontribusi atas besarnya ekspor gula tersebut pada masa itu.
”Informasi-informasi seperti ini kalau dibiarkan mengendap, sangat disayangkan. Bagus sekali ada museum yang informatif dan tidak membosankan begini,” kata Satya.
Narasi soal museum itu tidak disampaikan hanya dengan untaian kata, tetapi juga memanfaatkan infografis. Menurut Satya, cara penyampaian tersebut memudahkan pengunjung mencerna informasi. Lebih-lebih, muatan gambar yang disajikan memperhatikan segi artistik dan estetika. Pengerjaannya tidak asal-asalan.
”Luar biasa sih ini. Saya cukup terkejut ternyata sebagus ini museumnya. Museum tidak kuno. Cara menampilkannya menarik. Modern dan informatif. Ini juga menghibur mata,” kata Satya.
Museum De Tjolomadoe merupakan hasil revitalisasi bekas PG Colomadu. Pabrik itu telah berdiri sejak 1861. Pendirinya adalah Mangkunegara IV. Pada 1997, pabrik itu berhenti beroperasi.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Wisatawan mengunjungi bangunan cagar budaya De Tjolomadoe di Kecamatan Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (6/1/2022).
Sejak saat itu, tak ada lagi yang mengurus pabrik tersebut. Praktis kondisinya terbengkalai. Dibiarkan mangkrak puluhan tahun, pabrik yang dulunya sempat menjadi simbol kemajuan ekonomi justru tampak memprihatinkan. Atap-atapnya hilang. Sebagian mesin juga berkarat dan rapuh.
Pada 2017, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang saat itu dipimpin Rini Soemarno, berupaya merevitalisasi pabrik tersebut menjadi destinasi wisata. Kekayaan historis menjadi daya tarik utama dari tempat itu. Untuk itu, mesin-mesin lama yang masih ada dibiarkan berdiri tegak. Lalu, dipercantik dengan pengecatan ulang serta dibubuhi deskripsi. Mesin tua itu antara lain mesin gilingan dan mesin penguapan.
”Pabrik ini letaknya dekat bandara. Wisatawan setiap datang ke Kota Surakarta pasti melewati pabrik ini. Kami ingin menghapus kesan mengerikan setelah mangkrak lama. Jadi, direvitalisasi supaya punya daya tarik wisata dan bisa dikunjungi,” kata Marketing Communication Officer De Tjolomadoe Clara Adviana Puspitawati.
Museum dibuka untuk umum mulai 2018. Dalam perjalanannya, dilakukan berbagai penambahan di antaranya situs berupa konten digital museum. Salah satunya berupa video mapping dan animasi berjudul Confectionery karya Studio Batu asal Yogyakarta. Dalam video tersebut, pabrik itu digambar kembali dengan bentuk yang lebih imajinatif. Tampak pula ada hujan gula kristal warna-warni sepanjang video diputar.
Kerja sama dengan seniman, ungkap Clara, menjadi salah satu upaya menghadirkan aspek kekinian dari museum. Terlebih lagi, apabila yang diajak berkolaborasi kelompok seniman muda seperti kolektif Studio Batu. Penafsiran ulang seniman atas PG Colomadu dapat memberikan nilai tambahan bagi warisan sejarah itu.
”Kami ingin merelevansikan warisan sejarah. Stigma orang luar bahwa museum itu kuno dan tidak relatable dengan anak zaman sekarang ingin kita hapus. Kami ingin membuat museum jadi miliknya berbagai generasi,” kata Clara.
Ditilik dari tingkat kunjungannya, Museum De Tjolomadoe bisa dikunjungi sekitar 200 orang per hari pada hari biasa, sedangkan 500 orang per hari pada akhir pekan. Sebelum pandemi, tingkat kunjungan bisa mencapai 1.000-2.000 orang per hari.
Masih di Surakarta Raya, PT Rumah Atsiri Indonesia juga mengelola pabrik terbengkalai menjadi destinasi wisata berbasis edukasi. Upaya revitalisasi itu dilakukan pada bekas pabrik Citronella yang dibangun 1963 di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar.
Pabrik itu dibangun semasa kepemimpinan Presiden Soekarno. Pembangunannya bekerja sama dengan Bulgaria. Nama awal pabrik tersebut ialah Citronella. Namun, proyek itu terpaksa berhenti akibat situasi ekonomi dan politik yang tak stabil. Kurangnya pembiayaan proyek juga menjadi kendala lain.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Wisatawan melihat tanaman asiri yang dijual di Rumah Atsiri Indonesia di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Selasa (28/12/2021). Destinasi wisata tersebut sebelumnya berupa pabrik Citronella yang tak terurus. Sejak 2015, PT Rumah Atsiri Indonesia mengambil alih dan menjadikannya destinasi wisata berbasis edukasi. Pada 2018, destinasi wisata tersebut mulai dibuka untuk masyarakat umum.
Pada 1986, proyek Citronella dilikuidasi dan diambil alih PT Intan Purnama Sejati. Pabrik itu sama sekali berhenti beroperasi pada 2010. Sepanjang perjalanannya dari 1986 hingga 2010, beberapa kali pabrik itu sempat bergonta-ganti lini usaha. ”Pernah jadi pabrik lidi, jadi pabrik saus, hanya untuk bertahan sampai akhirnya benar-benar mangkrak. Sebagian barang juga dijual pemiliknya,” kata Paramita Widarini, Customer Relation Supervisor Rumah Atsiri Indonesia.
Tahun 2015, lanjut Paramita, PT Rumah Atsiri Indonesia mengambil alih kepemilikan pabrik tersebut. Paulus Mintarga, arsitek asal Surakarta, merupakan sosok di balik pengambilalihan itu. Sejak awal, pabrik itu akan dijadikan destinasi wisata yang menonjolkan aspek edukasi tentang minyak asiri. Secara resmi, destinasi tersebut beroperasi buat publik pada 2018.
”Semua tentang asiri dari hulu sampai hilir dibahas di sini. Kami ingin mengangkat kekayaan atsiri lewat edukasi,” ujar Paramita.
Revitalisasi dilakukan juga tanpa mengubah bentuk dasar bangunan. Justru titik-titik bekas mesin pabrik dioptimalkan agar punya daya tarik lebih. Misalnya, mesin perebus dibuat menjadi instalasi yang dapat dipasangi tanaman-tanaman bahan minyak asiri.
Di destinasi wisata tersebut, pengunjung diajak mengenal tanaman asiri dalam berbagai aspek, mulai dari masih menjadi tanaman hingga disuling menjadi minyak. Untuk itu, koleksi yang dipamerkan tidak hanya seputar sejarah pabrik Citronella di sana, tetapi juga beragam pengetahuan soal tanaman asiri dari berbagai penjuru dunia.
Bahkan, ada instalasi seni berwujud video animasi yang memperlihatkan berbagai jenis tanaman asiri. Musik ambience yang menenangkan, karya musisi Iga Masardi, menjadi latar suara pada video tersebut. Keduanya berpadu apik dengan wewangian asiri yang semerbak di ruangan.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Lantai atas Pasar Gede sisi barat di Surakarta, Jawa Tengah, terus dikembangkan menjadi tempat kuliner dengan bermacam hidangan, Kamis (6/1/2022). Peningkatan fungsi Pasar Gede tersebut merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kelestarian bangunan cagar budaya itu.
Seolah hampir semua indra pengunjung seperti penciuman, penglihatan, hingga pendengaran diajak tenggelam di sana. Memukaunya aspek visual ruangan memicu pengunjung mengeluarkan ponselnya untuk berfoto ria.
”Tidak menyangka tempatnya sangat mengasyikkan. Saya tidak terpikir lagi kalau ini dulunya pabrik terbengkalai,” kata Gratia Wisung (29), pelancong asal Kupang, NTT, usai berswafoto di ruangan itu.
Saat ini, rata-rata kunjungan mencapai 100 orang per hari pada hari-hari biasa. Di akhir pekan, peningkatan kunjungan bisa mencapai 500 orang per hari.
Di Kota Surakarta, Gedung Djoeang 45 menjadi kisah lain bangunan bersejarah yang direvitalisasi supaya berdaya tarik wisata lebih. Gedung itu didirikan pemerintah Hindia Belanda pada 1880. Dahulu, gedung itu dimanfaatkan sebagai bangunan sekolah dan asrama pelengkap kompleks militer Benteng Vastenburg, yang masih berada satu kawasan.
Kondisinya sempat tak terawat. Penerangannya juga minimum. Oleh karena itu, kesan angker muncul dalam benak sejumlah orang terkait bangunan itu. ”Sangat disayangkan jika gedung ini tidak dioptimalkan. Apalagi tidak semua kota punya. Ini jadi keprihatinan kami sehingga bersedia mengelola bangunan ini,” kata General Manager Kawasan Gedung Djoeang 45 Wening Damayanti.
Pada 2017, revitalisasi dimulai. Gedung yang semula terkesan angker disulap menjadi bangunan yang menonjolkan kemegahan arsitektur Eropa. Unsur lampu-lampu pada taman menambah keindahan bangunan kuno tersebut. Pada 2019, gedung itu beroperasi untuk kunjungan publik.
”Justru sekarang jadi tempat favorit buat nongkrong anak-anak muda. Kami ingin menghilangkan kesan angker di sini. Tempatnya juga terawat karena terus dijaga kebersihannya,” kata Wening.
Pengunjung hanya diwajibkan membeli es krim gelato agar bisa masuk ke gedung tersebut. Setelah itu, mereka bisa berfoto ria dengan latar gedung tua. Ke depan, pengelola akan mengembangkan wisata sepeda ke situs-situs bersejarah dengan titik awal dari gedung itu.
Kompas/Priyombodo
Gambar raja-raja Keraton Kasunanan Surakarta.
Dihubungi terpisah, Susanto, sejarawan dari UNS Surakarta, menyatakan, pemanfaatan bangunan sejarah menjadi destinasi wisata sebagai suatu hal positif. Pasalnya, peninggalan fisik tersebut menjadi cara bagi masyarakat suatu kota merawat ingatan sejarahnya. Namun, perlu disertai narasi sejarah yang benar dari setiap bangunan.
”Bangunan kuno itu sebenarnya paling mempunyai nilai sejarah. Pertumbuhan kota bisa dilacak dari bangunan kunonya. Kalau itu dipakai sebagai pariwisata, tentu sangat bagus,” kata Susanto.
Keprihatinan sejumlah pihak telah menghidupkan lagi denyut nadi bangunan kuno sarat sejarah yang sempat terhenti. Ancaman tergerusnya ingatan masyarakat atas riwayat daerahnya pun memudar seiring bergeliatnya pengelolaan wisata gedung-gedung bersejarah.