Natal Panjang di Perbatasan
Masyarakat Dayak Lundayeh di perbatasan Kaltara-Malaysia merayakan Natal sebulan penuh. Doa, kebersamaan, dan kehangatan mewarnai Desember sampai pergantian tahun.
Puji hosana, puji hosana, puji hosana, mulia nama-Nya....
Sekitar 20 orang mengangkat tangan sambil melantunkan lagu ”Mari Kita Sambut Sang Raja” tersebut. Yunus Gur (58) berdiri di antara mereka, mengiringi nyanyian dengan ukulele merah. Di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu, lantunan lagu rohani kristiani menghangatkan suasana.
Malam itu, Kamis (2/12/2021), Yunus bersama kerabat dan sejawatnya menyambut Desember dengan piknik ke puncak Gunung Buduk Udan di Kecamatan Krayan Barat. Puncak ini bisa ditempuh sekitar 1,5 jam perjalanan dari Tang Payeh, Kecamatan Krayan Barat, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Waktu tempuh yang singkat itu dikarenakan Krayan memang dataran tinggi berkisar 700-1.700 mdpl.
”Mari kita menyambut Natal dengan gembira. Semoga pandemi ini segera berakhir,” ujar Yunus setelah doa bersama seraya memainkan ukulele.
Setiap orang kemudian mengestafet api lilin dan meletakkannya di setiap sudut. Acara terus berlanjut. Sambil menghangatkan badan di depan perapian, beberapa orang kemudian memasak dengan bahan bakar kayu. Tak lupa mereka merebus air untuk menyeduh kopi dan teh.
Baca juga: Sekolah di Nunukan Mulai Jaring Siswa Baru secara Daring
Beberapa orang lainnya menyalakan genset, menata sound system, dan bersiap untuk karaoke. Orang-orang bergantian menyanyi dengan musik pengiring dari video karaoke yang ada di gawai masing-masing.
Sambil menunggu giliran berdendang, beberapa orang mengobrol sambil duduk di kursi kayu dan menyeruput kopi. Mengenakan jaket tebal, beberapa di antaranya mengenakan topi Santa Claus, mereka menikmati malam itu dengan sukacita.
”Di Krayan ini, Natal kami sebulan penuh,” kata Dawat Udan, Camat Krayan Barat, yang ikut dalam piknik itu.
Mereka menginap di puncak Gunung Buduk Udan. Pagi hari, awan dan kabut terlihat menutupi kampung-kampung di Krayan dari puncak Buduk Udan. Rombongan itu berjejer melihat kabut putih yang bergerak perlahan. Tak lama berselang, sinar jingga matahari terbit memberikan aksen warna segar.
Memasuki bulan Desember, nuansa kegembiraan Natal di Dataran Tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, memang sangat terasa. Selain di puncak gunung tadi, lagu ”Ave Maria” dan lagu rohani lain terdengar dari pengeras suara bengkel motor. Hiasan pohon cemara mulai ditata di ruang tamu rumah-rumah warga. Di gereja, pemuda yang sebagian besar siswa SMA sibuk menyiapkan rangkaian kegiatan Natal.
”Setiap Natal, apa pun gerejanya, berkumpul bersama. Warga agama lain juga ikut menikmati. Kami buat kegiatan lomba band, tari, karaoke, malam pemuda, sampai doa bersama,” ujar Gift (28), salah satu warga.
Bertemu kerabat
Sudah dua tahun ini warga Krayan merayakan Natal tak seramai sebelumnya. Pandemi membuat warga di sana harus bersabar bertemu kerabat yang tinggal di Kampung Ba’kelalan, Malaysia. Krayan adalah dataran tinggi yang berbatasan darat dengan Sarawak, Malaysia. Masyarakat Dayak Lundayeh di sana sudah ratusan tahun saling berhubungan.
Baca juga: Rindu Krayan Tersambung Seutuhnya ke Indonesia
Batas wilayah adalah kebijakan politik negara yang kadang imbasnya begitu rumit, dua di antaranya konflik dan perang. Masyarakat lokal di Dataran Tinggi Krayan melampaui kepentingan itu. Wilayah Krayan dihuni oleh Dayak Lundayeh. Adapun Kampung Ba’kelalan yang masuk wilayah Malaysia dihuni oleh Dayak Lun Bawang.
”Kami satu rumpun. Bahasa dan budaya kami sama,” ujar Kepala Pos Imigrasi Long Bawan, Krayan, Efta Daud.
Sebelum pandemi, ia mencatat setidaknya ada 1.000 warga negara Malaysia yang masuk dan keluar ke Krayan selama perayaan Natal. Hubungan kultural sudah terjalin sejak nenek moyang mereka. Oleh karena itu, setiap ada perayaan, mereka saling mengundang.
Bahkan, sejumlah warga di Krayan juga menikah dengan warga Kampung Ba’kelalan, Malaysia. Saat Natal, mereka berkunjung ke rumah kerabat yang ada di Krayan. Itu berlangsung selama sebulan penuh. Masyarakat Lun Bawang berkunjung untuk ikut memeriahkan lomba-lomba yang diadakan oleh pemuda gereja.
Harmonis
Hubungan harmonis di perbatasan ini juga membuat ekonomi bergeliat. ”Kerajinan-kerajinan yang ada di toko-toko di Krayan juga dibeli oleh keluarga dari Ba’kelalan,” kata Efta.
Praktis, kehangatan itu tak bisa dirasakan selama pandemi Covid-19. Namun, perayaan Natal panjang di Krayan tetap berlangsung meski hanya diikuti oleh masyarakat Krayan. Setelah berkumpul dan doa bersama dengan keluarga inti pada 25 Desember, para pemuda sibuk menyiapkan rangkaian kegiatan Natal sampai malam pergantian tahun.
Saat dihubungi pada Minggu (26/12/2021), Efta bercerita dua anaknya, yakni Onel (15) dan Dini (17), seusai sekolah langsung ke gedung serbaguna di Desa Long Bawan. Mereka menyiapkan rangkaian kegiatan pemuda. Para pemuda dari semua desa di Krayan diberi ruang untuk unjuk gigi dalam kesenian.
Sejumlah pemuda bahkan rela melewati jalan berlumpur dan menempuh perjalanan berjam-jam. Juan Vicki Ada’ Komman (28), misalnya. Ia dan lima pemuda dari Desa Pa’padi harus berkendara selama tiga jam menuju Long Bawan, pusat Kecamatan Krayan. Sebenarnya, jarak dua desa itu hanya sekitar 25 kilometer. Namun, jalan berlumpur dan terjal membuat mereka harus berhenti berkali-kali untuk mendorong motor yang terjerembap di tanah lembek yang dalam.
Mereka membawa bekal beras adan dan umbut kinangan, sejenis pucuk pohon sagu. Itu menjadi makanan selama menginap di Long Bawan untuk bertemu dan berkegiatan dengan pemuda gereja lainnya.
”Momen ini setahun sekali untuk bertemu pemuda dari desa lain sekaligus untuk mempererat hubungan,” kata Vicki.
Di beranda negeri itu, di daerah yang belum tersambung akses darat dengan wilayah Indonesia lain, masyarakat Lundayeh merayakan damai Natal dengan sukacita. Di wilayah yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat perintis tersebut, mereka merayakan perbedaan dengan persaudaraan.
Di tengah Natal pula mereka menyelipkan doa agar pemimpin di negeri ini bisa menyelesaikan sekelumit persoalan di perbatasan. Selama pandemi, barang dari Malaysia tak bisa masuk ke Krayan. Akibatnya, harga sejumlah barang pokok tinggi, semen Rp 300.000 per zak, bensin eceran Rp 20.000 per liter, hingga gula pasir Rp 35.000 per kilogram.
”Memang belum ada jalur darat ke sini, tetapi namanya pemimpin pasti pintar. Solusinya pasti bisa dicari, bagaimana distribusi barang ini bisa dinikmati juga oleh kami dengan harga murah,” ujar Yunus.