33 Orang Jadi Tersangka Korupsi di Papua Sepanjang 2021
Kasus korupsi di Provinsi Papua marak terjadi meskipun tengah dilanda pandemi Covid-19. Kerugian negara sebesar Rp 16,8 miliar berhasil diselamatkan dari tangan 33 tersangka.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Aparat penegak hukum menetapkan 33 orang sebagai tersangka kasus korupsi di Provinsi Papua sepanjang tahun 2021. Total kerugian negara akibat perbuatan para tersangka ini mencapai Rp 16,8 miliar.
Hal ini disampaikan Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Papua Alexander Sinuraya saat dihubungi di Jayapura, Senin (27/12/2021). Dia mengatakan, 15 dari 33 tersangka ini telah disidangkan. Sementara 18 tersangka lainnya masih dalam tahapan penuntutan dan tahapan penyidikan.
Sebanyak 33 perkara korupsi ini tidak hanya disidik pihak kejaksaan, tetapi juga pihak kepolisian. Temuan kasus ini di sejumlah wilayah kerja kejaksaan, antara lain di Jayapura, Biak Numfor, Kepulauan Yapen, Merauke, Mimika, dan Nabire.
”Modus dalam kasus korupsi yang dilakukan 33 orang ini ialah penyalahgunaan anggaran BUMN untuk kepentingan pribadi, penyalahgunaan anggaran dalam pengadaan barang dan jasa, serta penggunaan dana hibah pemda yang tidak sesuai peruntukan,” ujar Alexander.
Alexander mengatakan, sumber dana yang dikorupsi oleh 33 orang ini tidak hanya dari APBN dan APBD, tetapi juga dari anggaran otonomi khusus. Total kerugian negara sebesar Rp 16,8 miliar telah diselamatkan aparat penegak hukum.
Ia menambahkan, terdapat sejumlah tantangan dalam penanganan kasus korupsi di Papua, antara lain kondisi geografis yang luas, jumlah kasus yang banyak, dan jumlah penyidik yang sangat minim untuk menuntaskan seluruh kasus.
”Anggaran operasional untuk penanganan kasus korupsi di Papua hanya Rp 250 juta per tahun. Setiap penetapan tersangka kasus korupsi juga selalu mendapatkan perlawanan dari kerabat dan simpatisannya,” ucapnya.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Papua Sabar Iwanggin mengatakan, salah satu penyebab maraknya kasus korupsi di Papua adalah perbuatan mala-administrasi di instansi pemerintahan yang memberikan pelayanan publik. Selain itu, tidak ada transparansi sesuai dengan standar pelayanan publik bagi masyarakat.
”Dari hasil pemetaan kami pada tahun ini, sebanyak 20 kabupaten dengan instansi pada status zona merah. Status ini berarti tingkat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik masih rendah,” kata Sabar.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, skor upaya pencegahan korupsi di Provinsi Papua selama tiga tahun terakhir dinilai sangat rendah. Penilaian skor berdasarkan monitoring KPK di delapan area yang rawan korupsi.
Sementara pada tahun 2021 ini, skor rata-rata upaya pencegahan korupsi masih di angka 9 persen dibandingkan dengan skor rata-rata nasional 46 persen.
Delapan area rawan korupsi itu meliputi perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, perizinan, pengawasan aparatur intern pengawasan pemerintah, manajemen aparatur sipil negara, optimalisasi pajak daerah, manajemen aset daerah, dan tata kelola keuangan desa.
Dia mengungkapkan, skor rata-rata upaya pencegahan korupsi di wilayah Papua berdasarkan delapan area yang terangkum dalam Monitoring Center for Prevention (MCP) masih rendah. Dengan skala skor 0 hingga 100 persen, tercatat skor rata-rata wilayah Papua 25 persen pada 2018, 34 persen pada 2019, dan 25 persen pada 2020.
”Sementara pada tahun 2021 ini, skor rata-rata upaya pencegahan korupsi masih di angka 9 persen dibandingkan skor rata-rata nasional 46 persen,” ucap Alexander.
Sebelumnya, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Dorince Mehue, dalam diskusi daring yang diadakan Forum Merdeka Barat di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 9 Agustus 2021, mengatakan, selama 20 tahun otonomi khusus (otsus) Papua berjalan, MRP ibarat singa yang tidak bergigi lantaran tidak memiliki kewenangan mengawal dan mengawasi implementasi otsus, termasuk penggunaan anggaran otsus.
”Kami berharap pada pelaksanaan otsus dalam 20 tahun ke depan ini, MRP didudukkan dengan kewenangan yang lebih kuat, termasuk untuk mengawasi implementasi otsus Papua. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bagaimana peningkatan kapasitas dan kewenangan lembaga ini sehingga kami betul-betul menjadi jembatan untuk menghubungkan antara pemerintah pusat, provinsi, dan mengawal hak-hak dasar orang asli Papua,” kata Dorince.