Perayaan Natal di Daerah Istimewa Yogyakarta ikut dimeriahkan pentas kesenian wayang wahyu. Selain menunjukkan akulturasi budaya, wayang wahyu juga menjadi simbol toleransi karena melibatkan umat lintas agama.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
”Yesus Sayang Ku/Kau begitu lucu/Mungil tubuhmu/Inilah ibumu”.
Lagu itu menggema dalam pentas wayang di Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (15/12/2021) sore. Diiringi lantunan gamelan, sejumlah perempuan dan laki-laki menyanyikan tembang tersebut untuk menggambarkan kebahagiaan Maria yang baru saja melahirkan Yesus. Suasana sukacita pun merebak karena Sang Juru Selamat telah lahir ke dunia.
Setelah adegan kelahiran Yesus itu, kisah dilanjutkan dengan turunnya malaikat ke bumi. Sang malaikat dikisahkan berbicara kepada sejumlah penggembala ternak untuk menyampaikan kabar gembira mengenai kelahiran Yesus. ”Jangan takut sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa,” kata malaikat itu.
Seperti pergelaran wayang kulit umumnya, seluruh adegan dalam pentas di Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit itu dikisahkan oleh dalang yang memainkan figur-figur wayang. Namun, berbeda dengan pentas wayang kulit purwa yang biasanya mengangkat kisah Mahabharata dan Ramayana, pergelaran wayang itu bercerita tentang lahirnya Yesus. Pergelaran itu pun tak disebut sebagai wayang purwa, tetapi dikenal dengan nama wayang wahyu.
”Ini tadi kami mementaskan wayang wahyu dengan cerita tentang kelahiran Yesus Kristus,” kata pendiri Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit, Indra Suroinggeno (35), saat ditemui di sanggar yang berlokasi di Dusun Kanutan, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul.
Wayang wahyu adalah pentas wayang kulit yang lakon atau ceritanya bersumber dari Alkitab atau kitab suci umat kristiani. Seperti namanya, pergelaran wayang wahyu tak hanya menjadi pentas kesenian, tetapi juga merupakan sarana untuk menyampaikan wahyu atau firman Tuhan. Selain itu, keberadaan wayang wahyu menandai adanya akulturasi ajaran kristiani dengan budaya Jawa.
Berdasarkan sejumlah referensi, wayang wahyu digagas oleh seorang biarawan Katolik bernama Bruder Timotheus L Wignjosoebroto FIC pada 1960. Pentas perdana wayang wahyu digelar di Surakarta, Jawa Tengah, 2 Februari 1960. Hingga kini, wayang wahyu kerap dipentaskan di sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Indra menjelaskan, dirinya mulai mementaskan wayang wahyu sejak tahun 2013. Mulanya, Indra melihat koleksi wayang wahyu yang disimpan di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Setelah itu, Indra mulai membuat sendiri wayang kulit untuk pentas wayang wahyu. Bentuk wayang itu mirip dengan wayang kulit biasa, tetapi menggambarkan tokoh-tokoh yang ada dalam Alkitab.
”Wayang wahyu ini bisa dibuat dari kulit kerbau, kulit sapi, kulit kambing, dan bahkan dari kertas juga bisa. Saat ini, kami punya koleksi sekitar 80 wayang wahyu,” ujar Indra yang juga merupakan pendiri Museum Wayang Beber Sekartaji.
Menurut Indra, pentas wayang wahyu biasanya digelar menjelang Natal. Selain pentas di gereja, Indra juga kadang diminta menggelar pergelaran wayang wahyu oleh masyarakat. Namun, sejak adanya pandemi Covid-19, frekuensi pentas wayang wahyu menurun karena ada pembatasan kegiatan masyarakat.
Modifikasi
Dalam pentas wayang wahyu sore itu, Indra melakukan sejumlah modifikasi sehingga jalannya pergelaran tak mengikuti pakem wayang purwa. Salah satu modifikasi yang paling mencolok adalah penggunaan bahasa Indonesia dalam pentas berdurasi sekitar 30 menit tersebut. Selain itu, Indra melibatkan dua orang anak, masing-masing berusia 10 tahun dan 7 tahun, sebagai dalang.
Untuk memudahkan kedua anak itu, Indra membuat teks tertulis yang berisi cerita dan dialog sehingga mereka tinggal membaca teks tersebut saat mendalang. Sepanjang pergelaran, Indra juga duduk di belakang dua anak itu untuk memberi bimbingan dan terkadang ikut memainkan wayang.
Meski hanya disaksikan beberapa warga sekitar dan sejumlah mahasiswa, pentas wayang wahyu di Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit berlangsung khidmat. Nuansa toleransi dan persaudaraan juga terlihat karena beberapa mahasiswi yang datang merupakan Muslim. Bahkan, beberapa anggota Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit yang bermain gamelan dalam pentas itu juga Muslim.
”Pentas wayang wahyu ini, kan, bercerita tentang kasih sayang dan kasih sayang itu, kan, universal untuk semua manusia,” ungkap Indra.
Salah seorang anggota Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit, Sugeng Nugroho (17), mengaku tidak keberatan terlibat dalam pentas wayang wahyu meski dirinya seorang Muslim. Bagi Sugeng, ikut terlibat dalam pentas wayang wahyu tak akan mengurangi keimanannya dan justru bisa menumbuhkan rasa toleransi.
”Bagi saya, enggak ada masalah ikut pentas wayang wahyu ini. Kita juga tidak perlu membeda-bedakan orang berdasar agamanya,” ujar Sugeng yang biasa bermain kendang dalam pentas wayang wahyu.
Guru SMP
Tradisi wayang wahyu juga coba dihidupkan oleh guru seni budaya SMP BOPKRI 3 Yogyakarta, Hendro Hatmoko (31). Pada Desember 2020, Hendra mementaskan wayang wahyu sebagai bagian dari perayaan Natal di sekolahnya. Pentas wayang wahyu itu mengangkat lakon ”Lahirnya Sang Juru Selamat” yang bercerita tentang kelahiran Yesus.
Menurut Hendro, pentas wayang wahyu itu berawal dari keinginan pihak sekolah untuk menggelar pertunjukan kesenian dalam perayaan Natal. Hendro lalu mengusulkan pentas wayang kulit karena dia memiliki keahlian mendalang. ”Tapi Ibu Kepala Sekolah minta pentas itu tetap harus ada kaitannya dengan Natal. Akhirnya saya usulkan untuk pentas wayang wahyu,” tutur Hendro.
Setelah usulan itu disetujui, Hendro sempat berniat mencari pinjaman wayang untuk pentas wayang wahyu. Namun, dia kesulitan mendapat pinjaman. Akhirnya, Hendro dan seorang temannya memutuskan membuat sendiri wayang untuk pentas wayang wahyu itu. ”Akhirnya saya punya inisatif untuk membuat wayang sendiri dengan bahan dari karton,” tutur pria yang belajar mendalang di sekolah dalang di Keraton Yogyakarta itu.
Hendro memaparkan, bentuk dasar dari wayang wahyu yang dia buat bersama temannya itu mengacu pada bentuk wayang kulit purwa. Bahkan, saat menentukan bentuk tiap tokoh wayang wahyu, Hendro dan temannya juga mengacu pada tokoh-tokoh wayang purwa.
Saat membuat wayang Bunda Maria, misalnya, Hendro dan temannya mengacu pada bentuk wayang Dewi Kunti dalam wayang purwa. ”Beberapa tokoh wayang yang berhasil kami buat itu sebenarnya dasarnya semua dari wayang purwa. Kami hanya mengkreasikan sandangan, seperti pakaian dan perhiasannya yang dipakai,” ujar lelaki yang juga menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta itu.
Setelah proses pengerjaan selama sekitar satu minggu, Hendro dan temannya berhasil membuat sembilan tokoh wayang wahyu. Selain itu, Hendro juga menyusun lakon wayang wahyu dengan mengacu pada Alkitab sekaligus menjadi dalang pentas tersebut.
Hendro mengatakan, pentas wayang wahyu pada Desember 2020 itu merupakan kali pertama dirinya mementaskan wayang wahyu. Sejak saat itu, Hendro belum pernah lagi mementaskan wayang wahyu. Pada 2021, perayaan Natal di SMP BOPKRI 3 juga tak diisi dengan pentas wayang wahyu, tetapi dengan pertunjukan ketoprak.
Meski begitu, Hendro mengaku masih memiliki keinginan untuk mementaskan lagi wayang wahyu. ”Keinginan untuk pentas wayang wahyu masih ada. Mungkin juga ke depannya akan merangkul pencinta-pencinta wayang lain supaya pertunjukannya bisa lebih baik,” tuturnya.