Penanganan Banjir Semarang Belum Sentuh Akar Persoalan
Semarang bisa jadi laboratorium untuk belajar sekaligus bagian dari proses pengendalian banjir. Sejumlah penyebab banjir di antaranya kiriman air dari hulu, hujan lokal, rob, kenaikan muka air laut, penurunan muka tanah.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Penanganan banjir di Kota Semarang, Jawa Tengah, dinilai belum menyentuh akar persoalan. Solusi yang diambil lebih kerap bersifat parsial. Padahal, seharusnya ada pemetaan dan penilaian di semua daerah aliran sungai di Semarang sehingga solusi yang diambil kontekstual dan menyeluruh.
Hal itu mengemuka pada diskusi daring terkait dengan buku Banjir Sudah Naik Seleher: Mengupas Fenomena Urbanisasi dan Banjir di Semarang dalam P2K Urban Lecture Series #11 yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Senin (20/12/2021).
Penulis buku Banjir Sudah Naik Seleher: Mengupas Fenomena Urbanisasi dan Banjir di Semarang, Bosman Batubara, mengungkapkan, saat banjir di Semarang pada awal dan akhir Februari 2021, pemerintah pusat dan daerah melokalisasi penyebab banjir. Respons awal, kerap kali banjir disebut akibat hujan deras, pompa tak berfungsi, dan kurangnya kapasitas pompa.
Kendati selanjutnya ada pula pembahasan terkait ekologi ataupun perubahan lahan oleh pemerintah, pendekatan yang dilakukan selama ini lebih pada satu solusi untuk semua. Padahal, kata Bosman, seperti yang disampaikan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), pencarian solusi harus kontekstual.
”Kalau mau memahami banjir perkotaan, baiknya dilakukan asesmen di semua DAS (daerah aliran sungai). Beda dengan (Kementerian) PUPR yang normalisasi di sana-sini. Jadi, perlu dipetakan, permasalahan struktural sosial apa yang mengendalikan peningkatan risiko banjir di satu DAS?” kata Bosman.
Ia pun mendorong Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan BRIN menjadikan Kota Semarang sebagai laboratorium untuk belajar sekaligus bagian dari proses pengendalian banjir. Penelitian juga bisa terkait sejumlah fenomena lain seperti amblesan air tanah, ekstraksi air tanah, dan abrasi pantai.
Buku Banjir Sudah Naik Seleher: Mengupas Fenomena Urbanisasi dan Banjir di Semarang membedah urbanisasi pada lima DAS di Semarang, yakni Silandak, Babon, Karanganyar, Garang, dan Beringin. Buku ini menggunakan pendekatan teori ekologi politis urbanisasi, dengan tiga aparatus teori, yakni sosiospasial, sosioalam, dan ketimpangan.
Riset didukung dana publik lewat Kitabisa.com, Rujak Centre for Urban Studies, UNDP Accelerator Lab, dan konsorsium Ground Up, yang berisi para peneliti serta mereka yang memberi perhatian pada kondisi Semarang. Sebelumnya, mereka menerbitkan buku Maleh Dadi Segoro, Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak.
Kementerian PUPR dan BRIN didorong menjadikan Kota Semarang sebagai laboratorium untuk belajar sekaligus bagian dari proses pengendalian banjir.
Penulis lain pada buku Banjir Sudah Naik Seleher: Mengupas Fenomena Urbanisasi dan Banjir di Semarang, Eka Handriana, menuturkan, solusi teknis yang selama ini didorong tidak menyasar pada akar struktural penyebab naiknya risiko banjir. Kondisi itu termasuk pada DAS Garang yang ditinggali serta diamatinya dalam riset itu.
Menurut dia, ada ketimpangan dalam urbanisasi di DAS Garang. ”Bagaimana keuntungan itu selalu mengalir kembali pada pemilik modal. Sebaliknya, krisis sosial ekologi terus diderita warga biasa, yang terseret-seret dalam sosiospasial dan sosioalam yang diubah-ubah oleh modal tersebut,” katanya.
Inovasi sosial
Henny Warsilah dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN mengatakan, urbanisasi memberikan pengaruh pada sejumlah masalah, antara lain kepadatan lalu lintas, permukiman kumuh (slum area), polusi udara, sampah, degradasi lingkungan, ketidaktersediaan air, dan buruknya sanitasi.
Di Semarang, sejumlah penyebab banjir di antaranya kiriman air dari hulu, hujan lokal, rob, serta kombinasi kenaikan muka air laut dan penurunan permukaan tanah. Namun, pengelolaan sebenarnya bisa dilakukan, seperti yang dilakukan di Kampung Pulo, Jakarta.
”Bisa dibangkitkan inovasi-inovasi sosial dan inisiatif-inisiatif lokal para penduduk di bantaran sungai agar tidak merusak daerah aliran sungai. Apalagi, Semarang selama ini terkenal dengan jasa dan kulinernya,” katanya.
Pelaksana Tugas Direktur Kebijakan Pembangunan Manusia, Kependudukan dan Kebudayaan BRIN Herry Yogaswara menuturkan, memang perlu ada penataan pada dapur riset dan dapur kebijakan. Diakuinya, terkadang hasil riset tak begitu bagus saat disampaikan kepada pembuat kebijakan. Sementara di dapur kebijakan sering kali tidak tahu siapa yang menjadipengambil kebijakan atau king maupun queen maker.
Ia mengajak tim dari Pusat Riset BRIN bersama tim penulis buku untuk mengawal kegiatan ini. ”Kami nanti backup dari sisi kebijakan. Jadi, jangan berhenti di webinar ini. Selain BRIN, nanti juga ada BRIDa (Badan Riset dan Inovasi Daerah). Sebab, tugas BRIN ini memfasilitasi pemerintah, masyarakat sipil dan lainnya,” ucap Herry.
Sementara itu, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menuturkan, sampah menjadi masalah utama banjir. ”Sebetulnya ancaman dari sistem pompa kita adalah sampah. Kami terus berkoordinasi dengan warga sekitar untuk membersihkan sampah yang menyumbat saluran air. Semoga masyarakat jadi lebih peduli,” ujarnya, seperti dikutip dari situs Pemkot Semarang, Senin (20/12/2021).
Menurut data Pemkot Semarang, ada 52 rumah pompa dengan 119 unit pompa yang terbagi ke dalam empat wilayah. Khusus yang berada di rumah pompa Muktiharjo Kidul, ada dua unit pompa dengan kapasitas masing-masing 1.500 liter per detik sehingga total kapasitas 3.000 liter per detik.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah Kota Semarang Iswar Aminuddin menyadari pentingnya penanganan di hulu dalam persoalan banjir di Kota Semarang. ”Sekarang kami masih bekerja di hilir. Mudah-mudahan tahun-tahun mendatang setelah Harbour Toll Road (Semarang-Kendal) dan (normalisasi) Kali Beringin selesai, kami galakkan reboisasi dan perawatan sungai,” ujarnya. (Kompas.id, 24 Februari 2021)