Sungsang Sumbal Ukir Jepara Hadapi Perubahan Zaman
Ukir dan mebel telah lama menjadi napas kehidupan Jepara dalam rentang sejarah. Mulai dari kepemimpinan Ratu Kalinyamat, era RA Kartini, hingga jadi daerah ”jujugan” ukir. Kini, pelestariannya didera berbagai tantangan.
Sudah empat jam Joko Wiyono (53) duduk di atas bentangan kayu di salah satu sudut Desa Mulyoharjo, Jepara, Jawa Tengah, Selasa (23/11/2021) siang. Namun, belum jua ada tanda mebel ekspor hendak dimuat ke truk kontainer yang ia bawa dari Semarang. Seperti sudah biasa, ia maklum menunggu berjam-jam sebelum kembali ke Semarang.
”Barangnya belum siap. Paling sore atau malam kembali lagi ke (Pelabuhan) Tanjung Emas. Sekarang agak sepi. Cari kontainer katanya lagi susah, enggak tahu kenapa. Biasanya, dalam seminggu bisa hingga lima rit (perjalanan bolak-balik), tetapi sekarang hanya dua kali,” ujar Joko yang sudah 25 tahun jadi sopir truk kontainer mebel ekspor.
Pertumbuhan pesat Jepara sebagai kota ukir dengan produk-produk mebel, beberapa dekade silam, memang menghadirkan rantai rezeki, termasuk bagi para sopir truk yang membawa produk ekspor. Meski demikian, sempat juga muncul permasalahan akibat pengembangan infrastruktur (jalan) yang tidak sepadan dengan pertumbuhan industri.
Baca juga : Merawat Seni Ukir Jepara
Industri ukir atau mebel di Jepara pun tak lepas dari pasang surut, yang juga berdampak pada pendapatan sopir truk kontainer. ”Semakin banyak muatan, ya, semakin banyak dapatnya. Dari kantor, bayaran satu rit hanya Rp 60.000 dan uang saku Rp 85.000. Tapi tidak apa-apa, buat saya yang penting halal dan enggak merugikan orang,” kata Joko.
Sekitar 600 meter ke utara dari tempat Joko duduk, Sumarno (50), pengukir patung asal Mulyoharjo, sedang mengarahkan dua pekerjanya yang tengah membuat patung-patung khas China dengan beragam ukuran hingga lebih dari 1 meter. Setelah terdampak pandemi Covid-19, geliat pesanan kini mulai terasa.
”Yang dominan patung dewa-dewa, paling banyak dikirim ke Taiwan. Tahun ini alhamdulillah mulai ramai lagi. Sejak hampir dua tahun lalu terbilang down. Kali ini ramai pesanan untuk Imlek,” ujar Sumarno.
Sumarno, yang merupakan lulusan Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK) atau kini menjadi SMKN 2 Jepara, menuturkan, pandemi hanya satu dari sekian tantangan dalam industri ukir Jepara. Selain itu, masih banyak persoalan lain. Yang paling mengkhawatirkan adalah perihal regenerasi tenaga ukir yang mandek.
”Saya berpikir, lima tahun ke depan, ukir Jepara, khususnya patung, ini akan seperti apa? Kini, pengampelas, misalnya, dapat bayaran ibaratnya Rp 250.000, kalau pengukir yang masih belajar Rp 150.000. Kalau tidak sabar, ya, banyak yang jadi pengampelas. Namun, ini juga karena tuntutan industri atau pasar. Tenaga pengampelas juga sangat diperlukan,” katanya.
Sementara di Desa Gemiring Lor, Kecamatan Nalumsari, salah satu sentra gebyok ukir, Suharto (62) juga merasakan keresahan serupa. Selain permintaan yang sudah tidak sebanyak dekade silam, tenaga-tenaga pengukir juga semakin berkurang. Anak muda lebih senang bekerja di pabrik-pabrik yang banyak bermunculan lima tahun terakhir.
”Anak saya alhamdulillah masih meneruskan. Tapi, kalau berbicara umum, kebanyakan pemuda sekarang sudah lain. Generasi sekarang enggak sabaran. Padahal, kami berharap seni ukir Jepara ini tak pernah berhenti,” ujarnya.
Baik Joko, Sumarno, maupun Suharto memiliki jawaban sama ketika ditanya kapan periode keemasan industri ukir Jepara. ”(Tahun) 1998-an atau masa-masa krisis moneter,” kata mereka.
Periode itu, jika secara umum perekonomian Indonesia terpuruk akibat krisis moneter, industri ukir dan mebel Jepara malah terciprat untung. Naiknya nilai tukar dollar AS membuat harga produk tinggi. Padahal, bahan baku masih murah.
Kalau berbicara umum, kebanyakan pemuda sekarang sudah lain. Generasi sekarang enggak sabaran. Padahal, kami berharap seni ukir Jepara ini tak pernah berhenti.
”Dulu banyak kayu penjarahan. Itu, kan, murah. Paling dijual Rp 15.000-Rp 20.000, jadi patung bisa hingga Rp 750.000. Itu benar-benar periode kejayaan. Pesanan ramai sekali. Dengan lembur, seminggu bisa dapat 2-3 patung. Saya beli tanah rumah ini juga karena keuntungan di masa itu,” ucap Sumarno.
Akan tetapi, dalam arsip Kompas, sejumlah pengusaha mebel ukir, terutama yang mengandalkan pasar dalam negeri, mengalami kerugian besar pada masa itu. Pasalnya, sejurus kemudian, berbagai harga bahan baku dan penunjang mebel ukir mulai naik, berkisar 10-20 persen (Kompas, 5 Januari 1998).
Sejarah panjang
Ukir atau mebel telah lama menjadi napas kehidupan Jepara setelah melewati sejarah panjang. Juga berkaitan dengan kota pelabuhan Jepara, yang sempat berperan sebagai pelabuhan dagang Nusantara di pantai utara Jawa. Kala itu, Ratu Kalinyamat, pemimpin Jepara, dengan armada lautnya terkenal gigih hingga melawan Portugis di Malaka.
Hingga kini, di Masjid Mantingan, Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Jepara, terdapat deretan ornamen ukiran batu di dinding teras masjid. Berdasarkan cerita turun-temurun, ukiran batu itu merupakan karya Tjie Wie Gwan, empu ukir asal Campa (sekarang wilayahnya meliputi sebagian Vietnam dan Laos), yang juga ayah angkat Sultan Hadlirin asal Aceh serta bernama asli Toyib, yang kemudian menjadi suami Ratu Kalinyamat.
Baca juga: Masjid Mantingan, Potret Akultrasi dan Cikal Bakal Seni Ukir Jepara
Di kompleks itu juga terdapat Makam Mantingan dengan gapura paduraksa, yang letaknya di sebelah barat masjid. Sultan Hadlirin, Ratu Kalinyamat, dan Tjie Wie Gwan, berjuluk Sungging Badarduwung (ahli ukir batu), dimakamkan di sana. Sultan Hadlirin lebih dulu dimakamkan di sana setelah wafat pada 1549, sedangkan masjid dibangun pada 1559.
Mengutip buku Sejarah Perkembangan Seni Ukir di Jepara (1985) karya Agus Dono Karmadi dan M Soenjata Kartadarmadja, pembangunan masjid dengan ukiran bermotif hiasan dari Campa ialah permintaan Sultan Hadlirin kepada Tjie Wie Gwan yang juga diangkat sebagai patih. Sang ayah angkat lalu pulang ke Campa dan segera kembali ke Jepara dengan membawa motif dan peralatan ukir.
Di Mantingan, Tjie Wie Gwan mengerjakan ukir-ukiran dengan dibantu penduduk sekitar. Namun, karena batu-batu yang ada di Jepara tak cocok diukir dan batu yang didatangkan dari Campa, China, juga tak cukup, penduduk membuat ukiran di atas kayu. Konon, dari situlah tumbuh kepandaian seni ukir di kalangan masyarakat Jepara.
Pada akhir abad ke-19, putri bangsawan RA Kartini juga turut memberi pengaruh dalam kemajuan ukir Jepara, sebagaimana diceritakan Kardinah Reksonegoro, adik Kartini, dalam bukunya. Suatu saat, di Desa Belakang Gunung, Kartini melihat-lihat tukang kayu yang sedang bekerja. Salah satunya yang mengerjakan kursi. Ia lalu menanyakan berapa upah sehari dan berapa harganya jika kursi itu dijual.
Dari situlah Kartini menjadi lebih tahu keadaan sosial ekonomi masyarakat pengukir kayu. Ia menganggap hasil yang diperoleh tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Kartini kemudian memesan barang-barang kerajinan seperti tempat surat, peti mesin jahit, dan tempat buku untuk kemudian dikirim kepada sahabat-sahabatnya.
Setelah itu, Kartini semakin yakin, hasil seni ukir Jepara dapat berkembang dan meraih pasar luas, bahkan hingga ke luar negeri. Kartini pun mendirikan bengkel ukir yang dikepalai Singowirio, seorang perajin ukir andal asal Desa Belakang Gunung. Pekerjaan Singowirio kala itu amat diapresiasi Kartini.
Belanda dan Soekarno
Pemerintah Belanda juga menaruh perhatian pada ukir Jepara dengan mendirikan lembaga pendidikan, seperti sekolah pertukangan bernama Open bare Ambaschteschool pada 1 Juli 1929 dengan jurusan mebel dan ukir. Pada 1931, namanya berubah menjadi Ambachtsschool voor Inlanders dan setahun kemudian menjadi Ambachtsleergang hingga kedatangan Jepang.
Catatan Kompas, pada 1952, Presiden Soekarno sempat mengunjungi Sekolah Teknik Negeri (STN) Jepara dan terkesan dengan sekolah tersebut. Ia menilai sekolah itu memiliki potensi dan prospek cerah.
”Saya menyarankan agar STN ini ditingkatkan menjadi sekolah teknik menengah. Selain mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, para siswa juga bisa mendalami ilmunya, terutama teknik ukir,” ujar Bung Karno ketika itu, yang disambut semua pihak.
Pada 1 Agustus 1959, STM itu didirikan dengan SK No 063/B-3/Kerdj dan hanya membuka satu jurusan, dekorasi ukir, seperti diberitakan Kompas, 8 April 1992.
STM lalu menjadi Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK) dan SMKN 2 Jepara hingga kini, tetapi di lokasi berbeda. Adapun bangunan lama STM kini menjadi SMP Negeri 6 Jepara.
Dalam perkembangannya, SMIK Jepara sempat menjadi tujuan banyak siswa dari luar kota, bahkan Malaysia. Hal itu seiring dengan ukir Jepara yang pamornya terus menanjak. Jepara seakan tidak berhenti melahirkan talenta-talenta ukir dengan hasil karya berkualitas dan merambah pasar internasional.
Salah satu ikon ukir Jepara adalah ”macan kurung”, yang tergolong benda hiasan berukir. Wujudnya berupa seekor harimau yang terkurung dan salah satu kakinya terjerat rantai yang dibebani bola besi.
Salah satu ikon ukir Jepara adalah ”macan kurung”, yang tergolong benda hiasan berukir. Wujudnya berupa seekor harimau yang terkurung dan salah satu kakinya terjerat rantai yang dibebani bola besi. Dengan keterbatasan alat saat itu, pengerjaannya terkenal sulit.
Generasi pertama yang membuat ukiran macan kurung adalah Asmo Sawiran asal Desa Belakang Gunung, yang juga adik Singowirio, pengukir kepercayaan Kartini. Singowirio pun memasarkan karya adiknya tersebut. Sempat menjadi ikon khas Jepara, lambat laun pamor macan kurung meredup.
Di tengah pamor mendunia, ukir Jepara bukannya tanpa permasalahan. Sejumlah permasalahan yang mengemuka antara lain penyediaan bahan baku atau bahan mentah, permodalan, tenaga kerja, hingga pemasaran.
Juga sempat muncul gejolak terkait keberadaan orang asing di Jepara. Dilaporkan ada sejumlah orang asing yang sengaja kawin kontrak dengan wanita asal Surabaya, Solo, dan Jepara. Mereka bertempat tinggal dan membuka usaha mebel ukir di Jepara. Namun, izin perdagangan dan segala jenis perizinan lain atas nama istri atau anggota keluarganya yang seluruhnya pribumi.
Pada Juni 1997, dilaporkan sedikitnya 2.000 orang asing sejak setahun terakhir menetap dan masuk-keluar Jepara. Arifin Mubarroq, salah seorang pengusaha mebel, mengatakan, selain jadi produsen, mereka aktif turun ke pelosok desa, membeli hasil produksi dari perajin dan memasarkannya sendiri ke sejumlah negara. Akibatnya, pengusaha dan eksportir setempat terdesak (Kompas, 26 Juni 1997).
Keberadaan orang asing memberi pengaruh positif dan negatif terhadap perkembangan industri mebel Jepara. Maka, untuk menangkal dampak negatifnya, terutama dari aspek ekonomi, kala itu pemerintah menekankan bahwa pembinaan perlu terus dilakukan dalam berbagai aspek, termasuk bagaimana pengusaha mendapat importir secara langsung.
Kini, pada masa pandemi Covid-19, ekspor produk mebel Jepara terkendala masalah baru, yakni sulitnya mencari kontainer karena harganya yang melonjak, berkali- kali lipat. Hal tersebut membuat arus kas pelaku usaha tersendat. Pasalnya, barang sudah selesai diproduksi, tetapi tidak bisa dikirim.
CV Mandiri Abadi, misalnya, pada saat normal mengirim 60-65 kontainer per bulan, masing-masing ukuran 40 kaki, ke Eropa dan AS. Namun, kini jumlah pengiriman kontainer berkurang puluhan persen.
Marketing Manager CV Mandiri Abadi, Jepara, Hidayat Hendra Sasmita menuturkan, kenaikan harga kontainer, bahkan sempat hingga 500 persen, di luar batas kewajaran. ”Kondisinya masih sama dengan kemarin (bulan-bulan lalu). Belum ada solusi,” ujarnya, Rabu (15/12/2021).
Kini, Jepara masih dikenal sebagai kota ukir. Ruang pamer yang menampilkan produk-produk mebel ukir di sisi kanan dan kiri jalan masih amat mudah ditemukan. Namun, dengan sejumlah masalah yang masih mendera, sinergi semua pemangku kepentingan sudah semestinya diperkuat, demi kesejahteraan bersama.