Ihktiar Mengembalikan Pamor Rempah Nusantara lewat Hilirisasi
Sejak lima abad lalu, ekspor perdana cengkeh dilakukan Kerajaan Tidore pada abad ke-16 ke Spanyol. Namun, produk ekspor rempah masih didominasi produk mentah. Riset dan pengembangan produk dibutuhkan untuk hilirisasi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Ekspor rempah Indonesia secara besar-besaran pertama kali tercatat pada 11 Desember 1521. Ekspor dilakukan Kesultanan Tidore yang mengirim cengkeh ke Spanyol. Lima abad berlalu, ekspor rempah masih didominasi bahan mentah. Hilirisasi produk perlu terus diupayakan agar rempah Nusantara kembali membumbui dunia.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengamati teh andaliman, rempah endemik asal Sumatera Utara, mulai dari bentuk mentah hingga menjadi produk hilir bubuk teh andaliman. Ia lantas memuji aroma teh andaliman yang dipamerkan di salah satu stan di acara pencanangan Hari Rempah Nasional yang ditetapkan pada 11 Desember, di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Jumat (10/12/2021).
”Ini bagus sekali diolah menjadi teh andaliman dalam kemasan. Nilai tambahnya pun bisa berkali lipat,” kata Wapres Amin kepada pengembang teh andaliman, Intan Damanik.
Amin lalu asyik mengobrol dengan Intan. Wakil Presiden menanyakan bagaimana Intan berinisiatif melakukan hilirisasi dan apa saja kendala yang ia hadapi.
Intan mengaku melakukan hilirisasi agar bisa mendapat nilai tambah yang lebih tinggi. Namun, ia masih menggunakan peralatan pengolahan yang sangat sederhana sehingga volume produksinya masih rendah.
Para pengunjung pameran pun langsung menyerbu stan milik Intan. Teh andaliman yang ia jajakan ludes dibeli pengunjung. Kemasan teh andaliman seberat 24 gram (12 sajian) dijual Rp 28.000 per kemasan. Sementara kemasan bubuk 50 gram dijual Rp 58.000.
Harga bubuk teh andaliman itu jauh lebih tinggi dari harga andaliman mentah, yakni Rp 35.000 sampai Rp 70.000 per kilogram. Harganya meningkat karena rasa teh yang pedas-getir itu memang bisa menghangatkan tubuh.
”Saya mengolahnya dengan peralatan sederhana dengan pembersihan bahan mentah, pengeringan, penggilingan, dan pengemasan. Namun, nilai tambahnya sangat tinggi. Saya sedang menggarap untuk pasar ekspor,” kata Intan.
Andaliman menjadi salah satu komoditas yang dipamerkan dalam acara yang juga dirangkaikan dengan Indonesian Spices Business Forum and Expo World 2021. Selain itu, ada beberapa komoditas lain, seperti kulit kayu manis, kemiri, tembakau, jahe merah, kunyit, dan cengkeh.
Komoditas kulit kayu manis pun menjadi salah satu primadona dalam pameran itu. Sebanyak sembilan ton kulit kayu manis dengan nilai Rp 1,6 miliar diekspor dalam acara.
Harry Barthan, eksportir kulit kayu manis dari PT Jasum Jaya, mengatakan, kulit kayu manis sangat diminati di pasar dunia, khususnya Eropa. Dirinya sudah 10 tahun mengekspor kayu manis ke Eropa. ”Saat ini kami menyerap sekitar 150 pekerja untuk pengolahan, termasuk untuk sortir,” ujar Harry.
Harry mengatakan, sebagian besar kayu manis yang mereka ekspor dalam bentuk batang. Mereka pun sedang merintis untuk mengolah menjadi bubuk kayu manis agar mendapat nilai tambah yang lebih tinggi.
Menurut Harry, salah satu kendala dalam hilirisasi adalah permintaan pasar. Untuk kulit kayu manis, sebagian besar pembeli memang mencari dalam bentuk batangan agar bisa mengolahnya sendiri sesuai dengan kebutuhan pasar di sana. Mereka pun kini mengekspor 100-200 ton kulit kayu manis per bulan.
Komoditas lain dari Sumut adalah kemiri. Warna br Bangun adalah salah satu pengusaha pengolah kemiri. Ia hanya memecah cangkang kemiri dan menjual ke eksportir sebanyak 150-200 ton per bulan. ”Saat ini harga kemiri kualitas terbaik Rp 28.000 per kilogram. Ini sedang turun dari harga normal yang biasanya Rp 35.000 per kilogram,” kata Warna.
Menurut Warna, dirinya hanya bisa mengolah kemiri untuk membuka cangkangnya saja. Ia bahkan tidak tahu kegunaan kemiri di luar negeri apakah untuk bumbu masakan juga atau untuk keperluan lain. ”Bagaimana kami mengolahnya. Kami juga tidak tahu pasti kemiri ini digunakan untuk keperluan apa di luar negeri,” kata Warna.
Ketua Dewan Rempah Indonesia Gamal Nasir mengatakan, sebagian besar rempah dari Indonesia masih diekspor dalam bentuk bahan mentah. Rempah Indonesia diekspor secara besar-besaran pertama kali pada 11 Desember 1521. Ketika itu, Kesultanan Tidore, yang sekarang Maluku Utara, mengekspor cengkeh ke Spanyol.
”Namun, setelah lima abad berjalan, sebagian besar rempah Nusantara masih diekspor dalam bentuk mentah,” kata Gamal.
Setelah lima abad berjalan, sebagian besar rempah Nusantara masih diekspor dalam bentuk mentah.
Jejak perdagangan rempah Nusantara diyakni lebih tua lagi. Penggalian arkeologi di Situs Bongal, Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, misalnya, menemukan ada biji pala, kemiri, pinang, dan jelai (jali) di kawasan itu. Ditemukan pula alat penyulingan yang diduga digunakan untuk menyuling kamper atau kemenyan.
Kawasan itu diindikasikan merupakan kawasan kosmopolitan pada abad ke-7 hingga ke-9 Masehi dan pusat perdagangan dunia yang lebih tua dibandingkan dengan Pelabuhan Barus di Lobu Tua, tak jauh dari Situs Bongal.
Temuan tersebut menunjukkan ada perdagangan rempah di kawasan itu, termasuk rempah dari kawasan timur Nusantara. Hal itu menunjukkan kawasan Bongal menjadi simpul jalur rempah Nusantara.
Gamal mengapresiasi, kini sudah ada Hari Rempah Nasional yang ditetapkan pada 11 Desember. Apalagi, pencanangannya langsung ditetapkan Wakil Presiden. Hal itu menandakan pemerintah memberi perhatian khusus untuk membangkitkan kembali kejayaan rempah Nusantara.
Gamal pun mengharapkan ada regulasi setingkat peraturan presiden atau instruksi presiden sebagai acuan untuk membangkitkan kembali industri rempah nasional. Salah satu yang perlu disusun adalah bagaimana mendukung industri rempah, mulai dari hulu sampai upaya hilirisasi.
Dengan riset yang lebih baik, Indonesia akan kembali membumbui dunia dengan rempah Nusantara.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Sumatera Utara Khairul Mahalli mengatakan, Sumut merupakan salah satu daerah penghasil rempah terbesar di Indonesia. ”Beberapa jenis rempah dari Sumut juga endemik atau hanya ada di Sumut, seperti andaliman, kemenyan, dan kapur barus,” kata Khairul.
Khairul menyebutkan, masalah hilirisasi menjadi persoalan yang masih belum bisa dilakukan hingga kini. Kemenyan yang sudah berabad-abad diekspor, misalnya, hanya dikirim dalam bentuk bongkahan-bongkahan getah kemenyan. Di Singapura, kemenyan diolah menjadi minyak kemenyan yang nilainya bisa meningkat puluhan kali lipat.
Khairul mengatakan, riset dan pengembangan produk rempah harus ditingkatkan untuk mendukung hilirisasi. Salah satu kunci dari hilirisasi adalah penerapan teknologi agar kualitas produk tetap bisa dijaga. ”Dengan riset yang lebih baik, Indonesia akan kembali membumbui dunia dengan rempah Nusantara,” kata Khairul.