Endapan lahar Semeru di daerah aliran sungai yang kontak dengan air hujan juga menjadi ancaman. Warga pun diminta untuk tidak beraktivitas di sekitar sungai demi keselamatan bersama.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Warga diminta tidak mendekati aliran sungai yang berhulu di puncak Semeru saat turun hujan. Hal itu dilakukan untuk menghindari bahaya letupan sekunder dan lahar hujan.
Hingga Sabtu (11/12/2021), dominasi gempa permukaan, guguran dan embusan masih terjadi di Semeru hingga Sabtu pukul 12.00. Namun, intensitas dan jarak luncur relatif lebih kecil dibandingkan dengan erupsi pada 4 Desember 2021.
Saat erupsi besar itu, awan panas mencapai 11 kilometer. Selain itu, aliran lahar hingga 16 km dari puncak Semeru. Landaan tersebut mengarah ke Selatan dan Tenggara, terutama Besuk Kobokan yang masuk wilayah Desa Sapiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang. Aliran ini meluber keluar dari jalur sungai.
Meskipun intensitasnya menurun, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Andiani meminta warga waspada, terutama mereka yang ada di dekat aliran sungai. Lahar dan letupan sekunder dari awan panas yang terendapkan di sungai berpotensi terjadi.
Letupan ini terjadi akibat perubahan fasa air menjadi uap karena kontak dengan air hujan. Fasa uap yang dihasilkan, ujar Andiani, bertekanan cukup tinggi sehingga memunculkan letupan. Potensi ini juga terjadi di lahar sungai-sungai kecil yang bersumber dari Besuk Kobokan dan berdekatan dengan permukiman warga.
”Potensi bahaya yang lebih mengancam adalah lahar karena saat ini masuk musim hujan yang diperkirakan terjadi selama tiga bulan ke depan,” ujarnya.
Karena itu, Andiani mengingatkan agar warga menaati larangan beraktivitas di sepanjang sungai yang dialiri lahar. Saat ini, Gunung Semeru masih berstatus Waspada dengan larangan aktivitas dalam radius 1 kilometer dari puncak.
Khusus di daerah Selatan dan Tenggara, terutama jalur sungai yang dialiri lahar, larangan beraktivitas memanjang hingga 5 kilometer. Andiani pun meminta warga untuk mematuhi arahan dari petugas demi keselamatan bersama.
”Waspadai awan panas guguran lava dan lahar yang berhulu di puncak,” katanya.
Sekretaris Badan Geologi Ediar Usman menuturkan, kewaspadaan terhadap bencana juga dibutuhkan saat menentukan relokasi desa-desa terdampak bencana. Pemetaan yang lebih lengkap tidak hanya dilihat dari dampak letusan, tetapi juga potensi bencana lainnya, kondisi air tanah, hingga kesesuaiannya dengan warga.
”Kami harus melakukan pemetaan penyelidikan yang lebih lengkap mengenai potensi di sana. Mungkin ada patahan kecil atau subsidence (penurunan tanah),” ujarnya.
Ediar menuturkan, untuk pemetaan tersebut, tim dari Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan akan memberikan arahan dan relokasi kepada pemerintah daerah. Selain itu, tim tersebut akan mendorong pemanfaatan tata ruang pascaerupsi.