Penguatan dan edukasi mengenai antikorupsi di Bali perlu dimulai dari kalangan masyarakat desa dan desa adat. Pegiat Sakti Bali mengindikasikan korupsi juga terjadi di tingkat desa dan desa adat di Bali.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·2 menit baca
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Pegiat muda antikorupsi di Bali, Sakti Bali, Kamis (9/12/2021), menggelar konferensi pers bertajuk ”Peluncuran Data Tren Penindakan Korupsi di Bali Periode 2016-2020” di Denpasar, Bali. Acara diisi diskusi serangkaian peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021 dengan menghadirkan pegiat Aliansi Rakyat Antikorupsi (Arak) Bali Nyoman Mardika (tengah) dan praktisi hukum, yang juga pengamat Lembaga Perkreditan Desa (LPD), I Nengah Yasa Adi Susanto (kanan).
DENPASAR, KOMPAS — Penguatan edukasi mengenai antikorupsi di Bali idealnya dimulai sejak dari desa dan desa adat. Hal itu berkaca dari munculnya banyak kasus korupsi di dua lembaga itu.
Hal itu menjadi benang merah diskusi bertajuk ”Peluncuran Data Tren Penindakan Korupsi di Bali Periode 2016-2020” yang digelar Sekolah Antikorupsi (Sakti) Bali di Denpasar, Kamis (9/12/2021). Acara ini dirangkai dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia.
Data Sakti Bali menyebutkan, ada 50 kasus korupsi periode 2016-2020 yang sudah ditangani aparat penegak hukum di Bali. Tersangkanya tercatat 98 orang dengan nilai kerugian mencapai Rp 63,649 miliar.
Koordinator pengumpulan data tren korupsi di Sakti Bali Teja Wijaya menyebutkan, korupsi paling banyak ditemukan di sektor lembaga perkreditan desa (LPD) dengan 11 kasus dan delapan kasus di sektor anggaran desa. Korupsi juga ditemukan di sektor keagamaan, pertanahan, pendidikan, pengairan, perizinan, dan sosial kemasyarakatan.
Pegiat muda antikorupsi di Bali, Sakti Bali, Kamis (9/12/2021), menggelar konferensi pers bertajuk ”Peluncuran Data Tren Penindakan Korupsi di Bali Periode 2016-2020” di Denpasar, Bali. Suasana konferensi pers yang diisi diskusi serangkaian peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021.
Adapun modus korupsi yang teridentifikasi paling banyak dilakukan dengan penggelapan, disusul laporan fiktif, penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, dan penyalahgunaan anggaran serta pungutan liar. Pada sektor LPD, ditemukan pula modus kasbon, atau pinjaman, dan anggaran ganda, serta pemotongan dana.
Sementara itu, aktor korupsi yang paling banyak diproses aparat penegak hukum di Bali dalam rentang 2016 sampai 2020 adalah pengurus LPD, disusul aparatur sipil negara dan aparatur desa. Di antaranya terdapat pula kepala desa adat dan ketua atau anggota organisasi di desa.
Pegiat Aliansi Rakyat Antikorupsi (Arak) Bali Nyoman Mardika mengatakan, aparatur atau perangkat desa rentan terseret korupsi karena kurang pemahaman terhadap peraturan yang ada. Sumber daya manusia di desa juga dinilai masih minim mengenal tata kelola anggaran.
Pegiat muda antikorupsi di Bali, Sakti Bali, Kamis (9/12/2021), menggelar konferensi pers bertajuk ”Peluncuran Data Tren Penindakan Korupsi di Bali Periode 2016-2020” di Denpasar, Bali. Suasana konferensi pers yang diisi diskusi serangkaian peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021.
Pengamat LPD, I Nengah Yasa Adi Susanto, mengatakan, LPD berfungsi sebagai lembaga keuangan dan ekonomi di desa adat. Tujuannya, mengelola potensi keuangan desa untuk meningkatkan kesejahteraan krama (warga) desa adat.
Yasa Adi menerangkan, LPD diawasi dan diaudit panureksa atau pengawas internal yang dipimpin bandesa (kepala desa adat) sebagai pamucuk (ketua). Lembaga itu juga diawasi Lembaga Pengawas LPD. Yasa Adi menambahkan, penyimpangan dialami LPD karena pengaruh oknum, selain karena kurang berfungsinya mekanisme pengawasan tersebut.
Ke depan, Teja mengatakan, pelibatan masyarakat perlu ditingkatkan. keterbukaan informasi dan transparansi dalam manajemen dana desa di desa dan desa adat juga dibutuhkan. Mardika menambahkan, pemanfaatan teknologi informasi dan digital juga penting dan perlu diperkuat di desa.