Darurat Jalan Provinsi di Simalungun, Urat Nadi Perekonomian Nyaris Putus
Jalan Saribu Dolok, urat nadi perekonomian Simalungun, Karo, Dairi dan Pematang Siantar, rusak parah. Jalan berlubang, longsor, dan beberapa hampir tidak menyisakan aspal. Sejumlah jembatan rusak berbulan-bulan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
SIMALUNGUN, KOMPAS — Jalan Saribu Dolok yang menjadi urat nadi perekonomian terutama bagi warga empat daerah, yakni Kabupaten Simalungun, Karo, Dairi dan Kota Pematang Siantar, rusak parah. Di beberapa tempat, jalan berlubang, longsor, dan hampir tidak menyisakan aspal. Beberapa jembatan rusak dan dibiarkan hanya jembatan darurat selama berbulan-bulan.
Padahal, jalan itu merupakan jalan penghubung sentra pertanian di Simalungun, Karo, dan Dairi dengan Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Asahan, Batubara, Tanjung Balai, dan daerah lainnya. Pemerintah Provinsi Sumut menyebut jalan yang diurus terlalu banyak, sebagian harus dialihkan menjadi jalan nasional.
Jalan Saribu Dolok secara langsung menghubungkan Kota Pematang Siantar dengan Saribu Dolok di Simalungun dan Merek di Kabupaten Karo yang merupakan kawasan sentra pertanian. Jalan sepanjang 90 kilometer itu berada persis di sisi utara Danau Toba. Penelusuran Kompas, Rabu-Kamis (8-9/12/2021), sebanyak 40 kilometer di antaranya, yakni dari Pematang Siantar hingga Pematang Raya, rusak parah.
Kerusakan jalan berlebar sekitar 6 meter itu mulai parah setelah tiba di Kecamatan Panei, sekitar 10 kilometer dari Kota Pematang Siantar. Lubang berdiameter 30-100 sentimeter dengan kedalaman hingga 10-20 sentimeter hampir selalu ditemui setiap 50 meter perjalanan. Di beberapa tempat, kendaraan harus berpindah lajur dari arah lain untuk menghindari lubang yang terlalu besar.
Kerusakan paling parah pun ditemui di Kelurahan Panei Tonga. Kendaraan mengantre untuk melewati jalan sepanjang sekitar 200 meter yang rusak parah. Hampir tidak ada aspal yang tersisa. Hanya ada batu-batu padas yang ditimbun warga untuk menutupi lubang-lubang yang semakin menganga.
Kendaraan yang membawa hasil pertanian, seperti sawit, sayur-sayuran, jeruk, dan jagung, tampak harus melaju sangat pelan agar tidak oleng. Beberapa kali kernet harus turun mengambil sawit yang jatuh dari bak truk.
”Sudah sangat sering truk pengangkut hasil bumi oleng dan terjatuh di jalan ini. Kalau sepeda motor bahkan setiap hari pasti ada yang jatuh,” kata Marudut Damanik (45), warga Panei.
Kalau sepeda motor bahkan setiap hari pasti ada yang jatuh. (Marudut Damanik)
Menurut Marudut, paling tidak sudah tiga tahun jalan itu tidak pernah diaspal. Sebelumnya, jalan itu relatif lebih baik dan masih layak untuk dilalui. Ia yang juga merupakan petani mengatakan, para petani harus menambah sekitar Rp 100.000 agar sopir truk mau masuk dan mengangkut hasil pertanian dari daerah mereka.
Bornok Parhusip (30), tauke jagung di Kota Pematang Siantar, mengatakan, dirinya lebih memilih memutar lewat Jalan Sidamanik untuk menghindari Jalan Saribu Dolok. Jalan Sidamanik yang berstatus jalan kabupaten itu sebenarnya lebih sempit dan banyak mengalami kerusakan juga. Namun, di malam hari, kendaraan bermuatan sayur-sayuran harus mengantre melewati jalan rusak di Saribu Dolok.
”Kami juga harus menambah biaya dan waktu untuk mengangkut jagung dari Karo, Dairi, dan Simalungun, ke pabrik pengeringan di Pematang Siantar,” kata Bornok.
Andreas Purba (35), sopir angkot CV Gok Prima jurusan Pematang Siantar-Panei, mengatakan, sewaktu kondisi jalan masih lebih baik sekitar tiga tahun lalu, mereka hanya butuh waktu sekitar 40 menit untuk sekali jalan. ”Saat ini paling tidak 1,5 jam baru bisa sampai. Biaya bahan bakar kami pun dua kali lipat,” katanya.
Warga Simalungun pun berharap jalan itu bisa segera diperbaiki atau dinaikkan statusnya menjadi jalan nasional. Apalagi, jalan itu juga merupakan akses utama ke Pelabuhan Tigaras untuk menyeberang ke Pulau Samosir.
”Kawasan Danau Toba sudah ditetapkan pemerintah pusat menjadi destinasi super prioritas. Namun, jalannya masih seperti ini,” kata Marudut. Saat jalan masih bagus, wisatawan masih sangat sering berkunjung ke Samosir lewat jalan itu.
Saat rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pekan lalu, Wakil Gubernur Sumatera Utara Musa Rajekshah menyampaikan kondisi infrastruktur jalan di Sumut yang mengalami kerusakan parah karena beban jalan yang harus ditanggung cukup besar.
Musa pun meminta pemerintah pusat mengambil alih sebagian jalan provinsi menjadi jalan nasional. ”Beban jalan provinsi ada 3.000 kilometer lebih, kalau boleh sebagian dialihkan menjadi jalan nasional,” kata Musa kepada Luhut.
Berdasarkan data Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi Pemprov Sumut, panjang jalan provinsi di Sumut 3.005 kilometer dengan 880 jembatan. Pada tahun 2020, kondisi jalan 19,92 persen rusak berat dan 5,07 persen rusak ringan. Kemantapan jalan provinsi mencapai 74,67 persen. Sejak 2016, kemantapan jalan terus menurun.
Selain Jalan Saribu Dolok, beberapa jalan provinsi di Sumut juga mengalami kerusakan parah. Kerusakan lainnya berada di Jalan Panyabungan-Natal di Kabupaten Mandailing Natal, Jalan Siborongborong-Pangaribuan-Garoga di Tapanuli Utara, dan Jalan Gunungsitoli-Nias Utara di Kepulauan Nias.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut Baskami Ginting mengatakan, pihaknya terus mendorong agar pemeliharaan jalan provinsi terus ditingkatkan. ”Sebagian besar jalan provinsi merupakan urat nadi perekonomian Sumut, termasuk Jalan Saribu Dolok. Ini harus disegerakan,” kata Baskami.
Baskami mengatakan, anggaran pemeliharaan selalu menjadi kendala dalam APBD Sumut. Ruang fiskal APBD Sumut tidak cukup untuk pemeliharaan 3.005 kilometer jalan. Sumut disebut mempunyai jalan provinsi terpanjang di Indonesia. Ia pun meminta agar sebagian dinaikkan statusnya menjadi jalan nasional.