Warga Korban Semeru Berharap Rehabilitasi Sosial Segera Dilakukan
Warga berharap bisa kembali hidup dan beraktivitas sosial. Pemerintah pun sudah merencanakan ada relokasi dan hunian sementara.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/RUNIK SRIASTUTI
·3 menit baca
LUMAJANG, KOMPAS — Warga terdampak erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, berharap aparatur terpadu segera mewujudkan rehabilitasi kehidupan sosial. Pemerintah pun mempersiapkan hunian sementara atau huntara bagi pengungsi.
Erupsi pada Sabtu (4/12/2021) berdampak terutama di dua kecamatan, yakni Pronojiwo dan Candipuro, Lumajang, yang menderita kerusakan berat. Delapan kecamatan lain di Lumajang dan Kabupaten Malang turut terkena dampaknya.
Bencana mengakibatkan 34 jiwa tewas, 22 jiwa dinyatakan hilang, dan 22 jiwa luka berat. Sebanyak 5.024 rumah dan bangunan rusak. Sekitar 4.250 jiwa mengungsi di 19 pengungsian dan rumah-rumah penduduk yang dianggap aman.
Sampai dengan hari kelima atau Rabu (8/12/2021), kalangan warga terdampak, misalnya dari Dusun Kajarkuning di Desa Sumberwuluh (Candipuro) dan Dusun Curah Kobokan di Desa Supiturang (Pronojiwo), sibuk mengangkuti harta benda dari rumah mereka yang rusak dipenuhi lapisan tebal abu vulkanik.
Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Candipuro pada Selasa (7/12/2021) telah menyatakan perlu segera diadakan program relokasi bagi warga dan rehabilitasi kawasan terdampak.
Di kalangan warga, mereka menyadari bahwa setelah bencana akan ada tawaran untuk pemindahan. ”Saya sepakat dan mau (pindah). Trauma saya tinggal di sini, takut. Tapi, belum ada pemberitahuan dari pemerintah,” ujar Muhaimin, warga Kajarkuning.
Hal senada diutarakan oleh Nuraida, warga Curah Kobokan, di sela-sela aktivitas mengangkut perabotan tersisa dari kediaman yang rata dengan tanah. ”Semoga cepat diadakan biar ada kepastian,” katanya.
Warga terdampak hidup di pengungsian di balai desa, lapangan, sekolah, rumah tetangga, atau kediaman kerabat yang dirasa aman dari ancaman susulan erupsi Semeru. Nurhayati, warga Kajarkuning, di tenda pengungsian laesapangan Desa Penanggal mengatakan, kebutuhan pokok berupa makanan, pakaian, obat-obatan, bahkan vitamin tercukupi.
Nurhayati telah mengambil kendaraan dan perabotan tersisa dari rumah untuk dititipkan di kediaman kerabat di Desa Sumbermujur. Ternak kambing laku terjual meski dengan harga amat murah. ”Saya punya sawah, apa boleh saya kembali untuk memanen yang tidak rusak?” katanya.
Sidik, suami Nurhayati, menambahkan, warga menunggu pemberitahuan dari aparatur pemerintah untuk pembangunan hunian sementara, bahkan hunian tetap, atau relokasi. Mereka khawatir tinggal di pengungsian terlalu lama akan membuat bosan dan menimbulkan masalah sosial. Aparatur diharapkan segera menentukan lokasi untuk hunian sementara sebelum menawarkan relokasi.
Saya punya sawah, apa boleh saya kembali untuk memanen yang tidak rusak?
Kepala Desa Penanggal Cik Ono dan Kepala Desa Sumberwuluh Abdul Aziz sama-sama mengatakan, belum ada pemberitahuan dari aparatur Lumajang dan Jatim tentang lokasi hunian sementara, apalagi hunian tetap.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, relokasi sudah disetujui oleh Presiden Jokowi. Lokasi yang dimungkinkan digunakan adalah lahan milik Perhutani. Oleh karena itu, ia berkirim surat ke pusat untuk membahasnya lebih lanjut.
Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak di sela-sela meninjau pengungsian di Lapangan Penanggal mengatakan, aparatur di Lumajang, Jatim, dan pusat masih membahas penetapan lokasi dimaksud.
”Kami akan percepat pencarian lokasi, terutama aset daerah, yang harus atau jaminan aman dari ancaman bencana Semeru di masa depan,” kata Emil.
Penentuan lokasi tidak mudah karena amat kompleks dan harus melibatkan warga. Ada potensi sebagian warga menolak tawaran karena sudah telanjur tidak bisa terpisah dengan ”tanah air” mereka. Yang menerima bisa diyakini adalah mereka yang merasa trauma dengan potensi bencana serupa di masa depan.
Selain menentukan lokasi hunian, aparatur juga perlu mempertimbangkan latar belakang sosial ekonomi warga. Mayoritas warga terdampak di Sumberwuluh adalah petambang pasir di Besuk Semut, yang merupakan jalur aliran lahar, dan atau petani. Warga keberatan jika harus meninggalkan sumber penghidupan. ”Misalnya di lokasi baru nanti ternyata tidak diberi sawah, apa saya harus kembali ke sini, daerah bahaya, untuk menggarap sawah?” kata Muhammad Hasan, warga Kajarkuning.