Meliput Bencana Semeru, Membaca Pertanda di Lapangan
Jurnalis tak boleh melewatkan pertanda yang ada di hadapannya untuk mendapat gambaran menyeluruh dari sebuah kejadian. Dari fakta lapangan, kritik membangun bisa disampaikan.
Selama meliput di wilayah Lumajang, erupsi Gunung Semeru pada 4 Desember 2021 adalah masuk kategori terbesar. Setahun lalu, tepatnya 1 Desember 2020, erupsi Semeru hanya mengalirkan lahar dingin ke Curah Kobokan serta menebarkan debu ke sejumlah tempat. Tidak ada korban jiwa. Namun, tahun ini berbeda.
Kabar erupsi Semeru saya terima saat sedang ada acara resepsi pernikahan saudara. Pada acara tersebut, saya bertugas sebagai among tamu atau sebagai penyambut tamu. Sebagai bagian dari panitia, maka saya mengenakan kostum khas pernikahan, yaitu pakai kebaya, kain, dan mengenakan sanggul.
Di tengah acara, kabar erupsi Semeru semula tidak begitu merisaukan. Apalagi, saat itu saya sedang cuti. Namun, panggilan hati sebagai jurnalis tak bisa diabaikan.
Akhirnya, di sela-sela acara, saya pun mengontak beberapa narasumber, mengetiknya di ponsel, dan mengirimkannya melalui pesan Whatsapp ke editor. Meski tidak bisa liputan langsung, hal itu cukup melegakan hati karena setidaknya membantu tugas teman yang ditunjuk untuk menulis berita itu.
Hari itu, beberapa teman jurnalis Kompas lain ditugaskan untuk meliput. Fotografer Bahana Patria Gupta langsung berangkat malam itu juga ke Lumajang dengan naik motor menempuh jalur Malang-Lumajang.
Esok harinya, Minggu (5/12/2021), baru saya bergerak ke Lumajang menggunakan kendaraan roda dua. Sebagaimana pengalaman liputan melintasi jalur Malang-Lumajang, maka akan lebih efektif liputan menggunakan motor, sebab bisa lebih lincah bergerak dan tidak terjebak kemacetan akibat deretan truk-truk pasir yang biasanya selalu merajai jalur tersebut.
Oleh karena meliput di sisi barat, fokus liputan lebih sempit. Hanya meliput suasana desa terdampak erupsi Semeru, yaitu Desa Supit Urang. Di desa ini terdapat 5.700 keluarga yang tersebar di empat dusun (Dusun Curah Kobokan, Dusun Gumuk Mas, Dusun Sumbersari, Dusun Umbulan (Sumbersari 2)). Desa ini terbelah menjadi dua bagian karena dilintasi oleh aliran lahar Semeru, yaitu Besuk Kobokan.
Tiba di Desa Supit Urang, saya langsung meluncur menengok rumah-rumah warga di dekat Besuk Kobokan. Setahun lalu, saat Semeru juga erupsi, rumah-rumah di sana cenderung aman dan hanya kandang ternak dan tumbuhan di tepi besuk yang tersapu lahar hujan.
Namun kali ini, pemandangannya jauh berbeda. Debu vulkanik beterbangan bahkan sejak perbatasan Malang. Timbunan abu vulkanik membuat kelabu jalanan desa, halaman, dan rumah warga. Rumah-rumah warga di sekitar besuk rusak, bahkan hancur. Pintu, kaca rumah, dan jendela jebol. Bahkan ada atap rumah rata dengan timbunan abu vulkanik. Sapi-sapi tergolek mati mengenaskan.
Di satu rumah penduduk, saya menemukan tiga ekor kambing gibas (berbulu putih) diam mematung. Seekor di antaranya berdiri di dekat kamar mandi, seekor terikat di tiang, dan seekor lagi bersimpuh di halaman.
Ketiganya tak bergerak. Bahkan, tidak berjalan-jalan seperti layaknya kambing biasa. Tiga ekor kambing berbulu putih dengan debu di bulu-bulunya itu benar-benar seperti patung.
Untuk memastikan kondisinya, harus dilihat selama beberapa saat. Bahkan saat didekati, ketiganya tetap tak bergerak. Baru kemudian saat kita sudah benar-benar dekat, dan kepala mereka dielus, kambing itu melenguh. Masih hidup.
Napas ketiganya terasa berat, seperti mengorok. Kulitnya melepuh dan lecet di beberapa bagian. Warna merah di akibat kulit mengelupas, tampak di sana-sini. Si kambing yang diam bersimpuh, dengan terhuyung-huyung mencoba mengangkat kakinya dan mendekati orang yang datang.
Tak bisa berdiri, ia tetap memaksa bangkit dan akhirnya menyambut dengan berjalan menggunakan dua lututnya. Meski tampak gembira menyambut kedatangan orang, si kambing hanya mau dielus kepalanya. Bahkan air minum yang disodorkan sama sekali tak dijamahnya. Sebagian besar kulit kambing melepuh seperti terkena benda panas.
Tidak ada apa-apa di sekitar ketiga kambing itu, selain tanah berdebu. Si empunya rumah juga tidak ada. Rumahnya tertutup rapat. Mereka mungkin mengungsi, karena di Desa Supit Urang tersebut beberapa kali petugas berkeliling mengingatkan warga untuk mengungsi. Sebab, beberapa kali ada guguran abu vulkanik di mana dikhawatirkan akan kembali mengguyur permukiman warga.
Dengan melihat kondisi ketiga kambing itu, saya mendapat gambaran betapa hebatnya dampak guguran abu vulkanik Gunung Semeru pada Sabtu sore lalu.
Pengungsi
Selain mengamati kondisi fisik lokasi bencana, saya juga tertarik mengamati lokasi pengungsian. Kisah tentang manusianya adalah yang utama.
Posko pengungsian terletak di beberapa lokasi seperti SD Supit Urang, Masjid Nurul Jadid, SD Oro-Oro Ombo 2, dan di rumah-rumah warga. Selasa (7/12/2021), posko di Masjid Nurul Jadid dipindah ke SMPN 02 Pronojiwo yang dinilai lebih layak.
Tulisan soal kurangnya penerangan di posko pengungsian akhirnya direspons oleh yang berwenang dengan mengupayakan listri segera menyala. Pakai genset jika perlu.
Kisah pengungsian lain adalah soal lemahnya koordinasi dan perhatian perangkat pemerintahan serta karut-marut data yang membingungkan. Bagaimana bisa, posko pengungsian warga Lumajang semuanya ditangani oleh sukarelawan (bukan asli Lumajang)? Sementara, ada pemerintah desa di sana.
Ironisnya, bahkan kepala desa tidak hafal jumlah warganya. Saat ditemui di balai desa, ia lebih memilih memanggil anak buahnya untuk menjelaskan. Ia melanjutkan duduk bersama beberapa orang dengan suguhan satu kerat air mineral di depannya. Saat ada seorang warga mengeluh meminta tolong karena keluarganya yang lansia sakit, si kepala desa ini mulai tengok kanan-kiri mencari orang yang bisa membantu. Di sekitarnya, para sukarelawan kemanusiaan sibuk mengurus bantuan untuk pengungsi.
Di satu sisi, bantuan kemanusiaan terus berdatangan. Truk dan kendaraan datang dari lembaga dan daerah. Di sepanjang jalan menuju Desa Supit Urang (mulai dari Desa Sumber Urip) sudah tampak beberapa lembaga/yayasan, sukarelawan kemanusiaan seperti PMI dan Tagana, dan komunitas kemanusiaan lain mulai membangun posko kepedulian. Beberapa kali, donasi dengan mengatasnamakan partai politik berlalu lalang. Jalan raya menuju Desa Supit Urang bahkan sampai macet saking banyaknya orang datang.
Dengan keriuhan itu semua, saya seperti mendapatkan penegasan dari seorang pengungsi. ”Bantuan untuk pengungsi sedemikian banyaknya. Orang berebut mengambil bantuan tadi. Kami yang benar-benar warga terdampak malah belum dapat. Malulah kalau kami harus berebut. Terus bantuan sebanyak itu untuk siapa?” kata Muhammad Toha, pengungsi asal Dusun Sumbersari ,Desa Supit Urang.
Tidak ada pejabat mengatakan soal keruwetan penanganan pengungsian. Pejabat daerah mengatakan saat ini masih fokus mengurusi korban hilang. Pengungsi sudah ditangani. Jawaban formal. Namun dari lapangan, ditemukan sebaliknya. Akhirnya, itu bisa dibuat menjadi tulisan berisi kritik membangun. Bukankah mengurusi yang masih hidup juga penting dan tak bisa ditinggalkan?
Jangankan bicara soal data sapi, kambing, atau lahan pertanian warga yang rusak akibat erupsi Semeru. Soal data warga yang mengungsi saja simpang siur. Bagi saya, jurnalis tak boleh melewatkan pertanda yang ada di hadapannya seperti di atas, untuk mendapat gambaran menyeluruh dari sebuah kejadian.
Jelas sekali, kali ini pemerintah setempat gagap menghadapi bencana dampak erupsi Semeru. Dan gambaran tentang ketidaksiapan ini sudah menjadi bagian dari liputan live Kompas.id dan harian Kompas.