Garam Rakyat Beryodium ”Menggarami” sebagian Timor Barat
Secara geografis, NTT memiliki wilayah pesisir yang kaya hasil laut, termasuk garam rakyat yang siap diolah lebih baik dan modern.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
Jane Ndun (54) menyeka keringat di wajahnya dengan handuk merah muda, saat berada di dalam gubuk berukuran 2 meter x 3 meter tempat pemrosesan garam di RT 001 RW 002 Desa Tanah Merah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Garam beryodium itu dititipkan ke pasar dan sebagian dijual di sisi jalan Timor Raya, Kabupaten Kupang. Usaha garam tradisional oleh 100 perajin ini mulai ramai dinikmati sebagian warga di daratan Timor Barat.
Jane menjajarkan garam halus beryodium yang baru saja diproses dari dalam tungku di gubuk itu, setelah disendok dari dalam wadah tungku api. Belahan drum dari pelat besi itu diisi lagi dengan air garam hasil endapan garam kasar semalam. Bara api, kepulan asap, disertai lidah api menjilati bagian bawah belahan drum besi itu. Air garam dalam proses mendidih.
Garam olahan warga lokal Kupang ini mulai masuk ke pasar-pasar tradisional di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang sejak 2018.
”Air berubah menjadi garam halus tergantung api dari bawah. Jika kayu bakarnya bagus bisa sampai delapan jam saja, tetapi kalau kayu api kurang berkualitas, agak lama, sekitar 12 jam untuk menghasilkan garam putih halus. Begitu garam menjelang matang, langsung ditabur yodium sesuai takaran untuk menghasilkan garam beryodium,” kata Jane, Kamis (18/11/2021).
Ia membeli garam kasar di Desa Bipolo sekitar 40 km dari Desa Tanah Merah. Sebanyak 200 kg garam kasar terisi di dalam empat karung, masing-masing seharga Rp 80.000. ”Setiap kali ke Bipolo saya belanjakan uang Rp 320.000 untuk beli garam. Ongkos pikap satu karung Rp 5.000 dan tarif angkut saya Rp 5.000 sehingga biaya keseluruhan Rp 345.000,” kata Ndun.
Setiap dua pekan ia berbelanja, setelah garam hasil olahan laku dijual. Garam olahan dijual di sisi jalan Timor Raya, tepatnya Desa Tanah Merah dan Oebelo Kabupaten Kupang. Para konsumen adalah pengendara yang melintas di Jalan Timor Raya, dari lima kabupaten/kota di Timor Barat, dan pelintas atau pengendara dari Timor Leste. Sebagian dititipkan di pasar tradisional di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.
Hingga tahun 2012, hanya 10 penjual garam beryodium. Namun, setelah ada pelatihan memproses garam tradisional menjadi garam beryodium dari Dinas Perindustrian NTT, jumlah peminat bertambah sampai 100 perajin. ”Kami saling belajar. Mungkin ke depan bertambah lagi,” katanya.
Kini, ruas jalan Timor Raya meliputi Desa Tanah Merah dan Desa Oebelo Kabupaten Kupang sepanjang hampir 1 km, berjajar penjual garam tradisional beryodium, garam kasar, ikan segar, kerang laut, kepiting, dan kayu bakar. Mereka warga lokal, dan warga eks Timor Timur yang mendiami lokasi itu.
Ia mengatakan, proses mengolah garam kasar menjadi halus butuh waktu dan kesabaran. Garam tambak dicuci dengan cara direndam dengan air bersih sebanyak 50 liter untuk 25 kg garam kasar selama 24 jam. Air garam disaring, kotoran dipisahkan, dibuang, sedangkan air garam jernih direbus 8-12 jam.
Dari setiap 25 kg garam kasar menghasilkan 17-20 kg garam halus. Garam ini diisi di dalam ”sokal”, wadah yang dianyam dari daun lontar berbentuk lonjong, dengan ketinggian sekitar 35 cm. Dari setiap 50 kg garam kasar dihasilkan 34-40 kg garam halus.
Dari 200 kg garam kasar, dihasilkan 136 kg hingga 160 kg garam halus. Garam halus beryodium ini lalui dikemas di dalam sokal yang dijual Rp 10.000 per sokal. ”Kalau laku dijual, bisa dapat Rp 1.360.000 sampai Rp 1.600.000,” katanya.
Jika rata-rata setiap perajin menghasilkan 200 kg garam halus, 100 perajin menghasilkan sekitar 20 ton setiap dua pekannya. Harga garam Rp 10.000 per kg dinilai terlalu murah, karena kemasan garam lokal tidak mencemari lingkungan.
Para perajin garam tradisional Tanah Merah dan Oebelo pada tahun 2019 sepakat menaikkan harga dari Rp 10.000 per kg menjadi Rp 12.000 per kg, tetapi kurang disambut pasar. Juga beberapa pedagang masih menjual dengan harga Rp 10.000 per sokal sehingga garam tradisional sulit naik.
Meski demikian, perempuan empat anak ini bersama suaminya, Maksi Ndun (58), bisa membangun rumah, menyekolahkan dua anak sampai perguruan tinggi, satu sampai SMA, dan satu anak lagi menjadi polisi. ”Kalau suami tidak melaut karena cuaca buruk, ia membantu mencari kayu bakar di hutan dan membantu memasak garam. Garam 50 kilogram membutuhkan sekitar setengah kubik kayu,” kata Jane.
”Konsumen beli untuk mandi setelah dicampur air, tabur di depan halaman dan keliling rumah yang diyakini sebagai pengusir roh jahat, sebagai perangsang makanan ternak, dan garam kasar lebih tahan lama. Hanya garam jenis ini tampilannya masih kotor karena diambil langsung dari tambak,” kata Saba’at.
Para penjual garam tradisional itu hampir semuanya kaum perempuan. ”Suami saya malu. Ia memilih mencari kayu bakar atau menjadi tukang bangunan,” kata ibu tiga anak dan empat cucu ini.
Maria Nogo (34), warga Liliba Kupang, mengatakan, soal kualitas garam lokal cukup baik, hanya perlu sedikit ditingkatkan. ”Saya sering pakai garam lokal juga garam industri. Garam industri cepat terasa asin dibanding garam lokal, meski takaran garam sama untuk jenis campuran yang sama pula,” katanya.
Penjual garam kasar, Marta Saba’at (51), menuturkan, garam tambak pun banyak peminat. Harga 2 kg garam kasar Rp 10.000. Biasanya garam ini tidak disimpan di dalam kemasan sokal, anyaman dari daun lontar. Garam kasar dijual di dalam kantong plastik kresek.
Ketua RT 001 RW 002 Desa Tanah Merah Hendrik Messakh, Kabupaten Kupang, mengatakan, jumlah perajin garam tradisional di Tanah Merah dan Oebelo membeli garam kasar di sejumlah tempat di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang. Usaha garam tradisional ini cukup menjanjikan. NTT sebagai daerah ternak, garam juga menjadi salah satu andalan untuk pakan ternak.
Garam olahan warga lokal Kupang ini mulai masuk ke pasar-pasar tradisional di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang sejak 2018. Bahkan, ada yang menjual sampai ke Soe, Kefamenanu, Atambua, dan Malaka, tetapi jumlahnya terbatas.
Supaya garam lokal lebih banyak diminati konsumen lokal, garam bisa dikemas dengan beberapa jenis ukuran (kemasan). Misalnya 250 gram, 300 gram, sampai 2 kg. Saat ini, garam hanya dikemas dalam ukuran 500 gram, 1 kg, dan 2 kg untuk garam kasar, yang dijual Rp 5.000 per setengah kilogramnya. Sementara garam industri tersedia dalam kemasan 250 gram seharga Rp 3.500 dan Rp 5.000 per kemasan 500 gram.
Garam olahan ini tidak hanya dinikmati warga Kota Kupang dan Kabupaten Kupang. Garam ini telah memasuki pasar-pasar tradisional di Soe, Kefamenanu, Atambua, dan Betun. ”Seluruh wilayah Timor Barat sudah menjual garam dari sini,” timpalnya.
Ia juga telah mengusulkan ke sejumlah perajin garam tradisional untuk membentuk wadah perajin garam Tanah Merah–Oebelo, tetapi belum terealisasi. Organisasi itu untuk memperjuangkan hak-hak pengusaha garam lokal dan menampung aspirasi perajin garam tradisional untuk disampaikan kepada pemerintah.
Pemerintah daerah diminta mendukung dan melindungi usaha garam tradisional ini. Secara geografis, NTT memiliki 1.192 pulau dengan panjang garis pantai lebih dari 5.000 km. Sepanjang garis pantai inilah potensi untuk usaha tambak garam tradisional.
”Kalau ada aturan daerah melindungi garam lokal ini, lebih bagus lagi. Garam lokal semakin menggarami warga Kota Kupang dan Kabupaten Kupang,” kata Messakh.