Pengolahan garam hasil panen petambak garam rakyat terbukti bisa mendongkrak nilai tambah dan harga jual. PT Garam (Persero) mengembangkan produk garam premium untuk kesehatan dengan bahan baku garam lokal.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan minimnya serapan hasil panen garam rakyat oleh industri dan harga yang anjlok mendorong pengembangan produk garam yang bernilai tambah. Pengolahan garam yang diproduksi oleh petambak garam rakyat menjadi produk garam premium dinilai menjadi solusi.
”Selama ini, garam lokal diidentikkan dengan kualitas rendah, tetapi kami jawab dengan bukti. Jika diolah, garam lokal sangat bisa menjadi produk premium. Tentu perlu dukungan semua pihak supaya garam lokal tidak dihantam terus,” kata Direktur Utama PT Garam (Persero) Achmad Didi Ardianto saat dihubungi, Selasa (28/9/2021).
Didi menambahkan, pihaknya tengah mengembangkan produk garam unggulan yang berbasis garam lokal. Produk yang sedang dipasarkan adalah garam lolosa. Garam lolosa merupakan produk garam kesehatan yang diperuntukkan bagi penderita hipertensi yang dibuat dengan mengurangi kadar natrium klorida (NaCl) dari 90-92 persen menjadi 60 persen serta menambah kadar kalium dan yodium. Bahan bakunya adalah garam dengan kadar NaCl 92 persen.
Menurut dia, perjanjian kerja sama dengan PT Kimia Farma (Persero) Tbk dilakukan awal pekan ini untuk penjualan dan distribusi produk garam lolosa melalui apotek-apotek Kimia Farma. Penjualan produk garam premium itu ditargetkan mencapai 250 ton per tahun secara bertahap dalam kurun 3 tahun. Harga jual garam itu mencapai Rp 160.000 per kilogram. Selain garam kesehatan, pihaknya juga sedang menyiapkan produksi garam kumur dan garam spa.
Akan tetapi, tidak semua industri dapat menyerap garam lokal. Kebutuhan garam untuk industri chlor alkali plant (CAP) meliputi industri petrokimia serta pulp dan kertas, tidak bisa dipenuhi dari garam lokal. Namun, kata Didi, sebagian industri lain seharusnya bisa menggunakan bahan baku garam lokal dan tidak perlu mengandalkan garam impor.
Ia mengakui, kemarau basah tahun ini diperkirakan berpengaruh terhadap penurunan produksi garam nasional. Hingga kini produksi garam oleh PT Garam baru sekitar 112.000 ton dari target 400.000 ton. Namun, kualitas dan nilai tambah produk garam harus terus ditingkatkan untuk bisa menyuplai kebutuhan industri.
Secara terpisah, Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Miftahul Huda mengemukakan, anjloknya harga garam rakyat perlu disikapi dengan mendorong produk olahan. Saat ini, pemerintah tengah menguji coba pengolahan garam rakyat dengan memanfaatkan pencucian dan pemurnian garam (washing plant) milik pemerintah di beberapa lokasi, seperti Karawang, Indramayu (Jawa Barat), Brebes, Pati (Jawa Tengah), dan Sampang (Jawa Timur).
Sebagian garam rakyat olahan itu dijual dalam bentuk garam konsumsi beryodium dan sebagian menjadi bahan baku garam industri aneka pangan. Sejauh ini, pasar produk olahan garam dinilai cukup baik, seperti garam merek Saltiku yang dari proses pencucian garam di Brebes dan dipasarkan ke pabrik pangan di Kalimantan.
Harga jual garam olahan mencapai Rp 1.800 per kg, sedangkan harga panen garam hanya berkisar Rp 350-Rp 500 per kg. ”Pengolahan garam memberi jaminan harga dan nilai jual lebih tinggi meski dampaknya terhadap kenaikan serapan garam tidak banyak,” kata Huda.
Revisi target
Sementara itu, situasi cuaca tahun ini dinilai menyebabkan produksi garam turun. Oleh karena hujan, panen garam yang berlangsung bulan Juli-November menjadi tidak optimal. Menurut Huda, produksi garam nasional tahun ini yang semula ditargetkan 2,1 juta ton telah direvisi menjadi 1,1 juta ton. Hingga kini produksi garam baru mencapai 400.000 ton dari revisi target 1,1 juta ton.
Secara terpisah, Ketua Himpunan Petani Garam (HMPG) Jawa Timur Mohammad Hasan mengemukakan, produksi garam rakyat tahun ini diperkirakan turun. Faktor cuaca yang kurang stabil sangat berpengaruh terhadap produksi garam rakyat.