Parade Kreativitas Kuliner Borobudur
Kreativitas dalam kuliner terus berjalan melintasi zaman. Jika generasi masa kini membuat variasi baru dengan mengadaptasi menu dari lain negara, di masa lalu, kreativitas diciptakan dengan merombak menu tradisional.
Aneka ragam olahan kuliner di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, membuktikan bahwa kreativitas adalah sesuatu yang tidak dibatasi waktu. Tidak hanya menjadi milik generasi milenial, Y, dan Z di masa kini saja, daya kreasi dan kemampuan mengolah bahan makanan bahkan sudah dimiliki sebagian warga desa sejak puluhan tahun silam.
Kreativitas masyarakat di masa lalu diwujudkan dengan mengubah sedikit pakem, tatanan, atau racikan bumbu-bumbu pada sejumlah menu tradisional. Hal ini, antara lain, diwujudkan dengan adanya pilihan kuliner pepes bluluk.
Dikenal sebagai masakan khas Sunda yang juga populer di seluruh Jawa, pepes biasanya merupakan hidangan dari ikan yang dibalur dengan aneka bumbu, seperti bawang merah, bawang putih, cabai, jahe, dan kunyit. Namun, racikan pepes bluluk tidak cukup berhenti di situ.
Sekalipun masih mengandalkan ikan sebagai bahan utama dan tetap memakai bumbu halus serupa, sesuai namanya, pepes bluluk tentu saja juga memakai campuran bluluk atau bakal buah kelapa.
Bluluk yang akan digunakan biasanya hanya akan diparut hingga bagian pangkalnya. Hasil parutan yang terlihat mirip parutan kelapa dan berwarna coklat tua ini biasanya akan dibalurkan, menjadi lapisan terluar dari ikan yang telah dibalur dengan berbagai bumbu halus. Di antara balutan aneka bumbu dan bluluk tersebut juga disisipkan sejumlah sayuran, seperti kacang panjang, daun kemangi, dan daun kelor.
Baca juga : Kebangkitan Makanan Tradisional
Dibungkus dengan daun pisang, pepes bluluk ini kemudian dikukus, dan setelah itu dipanggang di atas lempeng bundar, pipih, yang dipanaskan di atas tungku kayu. Tambahan bluluk ini memberi sedikit cita rasa berbeda, berupa rasa sepet dan sedikit asam. Dibandingkan tampilan pepes biasanya, ikan dalam pepes bluluk ini bertekstur lebih segar dan tidak hancur.
Suparmi (44) adalah salah satu warga yang kini intens membuat pepes bluluk berdasarkan pesanan. Berawal ingin membuat makanan khas di Desa Kembanglimus, tahun 2019, Suparmi yang memang sedari kecil menyukai masakan pepes berinisiatif untuk membuat pepes bluluk. Desakan untuk membuat penganan unik ini muncul dari Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Kembanglimus yang mengharapkan adanya penganan yang bisa dibeli pengunjung sebagai oleh-oleh.
Selain karena sebelumnya sudah mengetahui adanya pepes bluluk sebagai resep leluhur yang kini sudah jarang dibuat warga, inisiatif ini pun muncul karena dia sering melihat, di tengah banyaknya pohon kelapa di desa, bluluk sering kali dibiarkan jatuh begitu saja. Di tanah, bakal buah yang tidak terpakai ini sering kali disapu dan dibuang sebagai sampah.
Namun, kreativitas warga, termasuk Suparmi, akhirnya membuktikan, ”sampah” bisa berubah menjadi kuliner yang dinikmati. Ikan yang dipakai bervariasi, tergantung permintaan pelanggan, antara lain gurami, nila, atau tongkol. Pepes ini dijual dengan harga Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per bungkus.
Penggemar pepes ini adalah wisatawan yang berdatangan dari sejumlah kota, seperti Jakarta, Surabaya, dan Lampung. Sebagian dari mereka bahkan memesan dan membeli dengan datang langsung ke rumah Suparmi.
Di Desa Kembanglimus, kreativitas lain diciptakan Mardiyah (59) dalam membuat krasikan, jajanan bercita rasa manis berbahan beras ketan. Melakukan semua proses pembuatan secara manual, termasuk menggunakan mesin penggiling yang sudah berusia sekitar 30 tahun, hal berbeda yang dilakukan untuk membuat krasikan adalah memulainya dengan menyangrai bahan baku beras ketan yang akan dipakai.
”Dengan menyangrai beras ketan di atas tungku kayu atau batu, krasikan yang dihasilkan akan memiliki keunggulan, memiliki aroma yang lebih harum dan sedap,” ujarnya.
Membuat krasikan lebih harum dengan metode sangrai inilah menjadi resep baru dari apa yang sudah dijalankannya sejak 38 tahun lalu. Proses membuat krasikan tersebut membutuhkan waktu sekitar enam jam.
Krasikan ini pun ramai diminati. Saat liburan panjang atau bulan Ramadhan, permintaan krasikan bisa mencapai 30 kemasan per hari.
Kreasi dan inovasi juga dilakukan dalam meracik minuman. Itur Yuliastik Lestari (47), warga Desa Sumberrejo, Kecamatan Mertoyudan, melakukannya dengan membuat wedang bledeg. Tahun 2019, berawal dari keinginan untuk mengembangkan minuman tradisional wedang uwuh, dia pun kemudian berkeinginan untuk membuat aneka wedang yang bisa menambah stamina menghadapi berbagai macam penyakit, termasuk Covid-19.
Wedang bledeg adalah minuman berbahan rempah atau empon-empon dengan tambahan unik berupa cabai dan potongan jeruk kering. Inspirasi menambahkan cabai muncul setelah mengetahui saat itu cabai menjadi komoditas yang tidak diperhitungkan karena, di tengah panen raya, harganya anjlok.
Maka, Itur pun tergerak untuk kembali membangkitkan ”harga diri” cabai. Memilih memakai cabai juga semakin mantap dilakukan karena komoditas ini diketahui memiliki kandungan vitamin C tinggi sehingga berkhasiat mencegah penularan sakit flu.
Namun, demi keinginan menciptakan minuman yang berkualitas unggul, dia pun berkomitmen memakai cabai yang ditanam sendiri secara organik. Pilihan pupuk organik sengaja dipakai, karena berdasarkan hasil pencarian informasi yang dilakukannya, rasa pedas cabai yang sering kali diasumsikan membuat sakit perut berasal dari penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia secara berlebihan. Adapun penggunaan pupuk organik hanya memberikan cita rasa pedas yang sekedar memberi sensasi hangat di tenggorokan, tetapi tetap aman bagi lambung.
Inovasi ini pun diminati banyak orang. Setiap hari, 10 karyawannya memproduksi 2.000-3.000 saset racikan wedang bledeg, yang biasanya akan langsung dikirimkan ke 35 distributor di seluruh penjuru Nusantara. Di luar itu, Itur juga menerima permintaan khusus dalam jumlah besar. Salah satunya adalah permintaan wedang bledeg yang dikemas menjadi 2.250 hamper atau parsel bagi salah satu pelanggan di Jakarta.
Baca juga : Para Penjaga Resep Tradisi Kuliner di Medan
Wisata
Sejak lama, leluhur atau pendahulu di Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, memang memiliki kreativitas sedikit merombak menu-menu tradisional menjadi menu baru yang unik.
Selain pepes bluluk dan krasikan, masih terdapat pula beragam menu lain, seperti buntil ulek, jenang bekatul, dan sagon lempit. Sama seperti buntil biasanya yang terbuat dari parutan kelapa dicampur daun singkong atau talas beserta bumbu-bumbu, buntil ulek memiliki keunikan pada proses memasaknya. Saat semua bahan ditumis bersama bumbu, saat itu pula bumbu yang ada wajan diulek hingga hancur.
Sementara keunikan jenang bekatul adalah bahan bakunya, yaitu bekatul atau kulit beras, yang dimasak hingga halus menjadi bubur. Adapun kebanyakan jenang di Jawa biasanya sebatas dibuat dari bahan baku tepung beras atau tapioka.
Keunikan tersendiri juga terdapat pada sagon lempit. Jika sagon biasanya berupa makanan basah, sagon lempit merupakan makanan kering yang sengaja dibentuk menarik, berlipat-lipat.
Menyadari ragam kekayaan kuliner itulah, di tahun 2018, Pemerintah Desa Kembanglimus berinisiatif membuka program kelas memasaksebagai salah satu daya tarik wisata.
Rohadi, salah seorang perangkat Desa Kembanglimus, mengatakan, paket wisata berupa kelas memasak ini sangat diminati. Selama tahun 2018, jumlah peserta kelas memasak berkisar 12-30 orang per bulan dan bahkan pernah mencapai 50 orang per bulan.
Di tengah kondisi perkembangan kasus Covid-19 yang cenderung landai, Rohadi mengatakan, pihaknya berencana untuk kembali membuka kelas memasak. Tidak sekadar mengandalkan menu-menu lama, kali ini pilihan menu direncanakan ditambah dengan menu tradisional unik lain, seperti jenang bekatul dan sagon lempit.
Kekayaan ragam kuliner tersebut, menurut Rohadi, penting untuk dibagikan, dipublikasikan, secara luas kepada generasi muda masa kini. ”Anak-anak muda harus tahu bahwa nenek moyang mereka, dengan peralatan seadanya, bisa sangat kreatif mengolah bahan-bahan sederhana di alam menjadi aneka makanan yang demikian kaya rasa, kaya variasi, dan enak disantap,” ujarnya.
Kerumitan dalam proses memasak dan pemanfaatan bahan-bahan alam tersebut, lanjutnya, adalah suatu bentuk kearifan lokal yang sepatutnya dipahami generasi muda zaman sekarang yang lebih terbiasa dengan makanan siap saji.
Keinginan untuk mengubah kekayaan kuliner menjadi daya tarik wisata saat ini juga tebersit di benak Itur. Melihat minat masyarakat konsumen yang cukup tinggi terhadap produk wedang buatannya, dia pun berencana untuk menanam aneka rempah dan membuka lahan beserta rumah produksinya menjadi agrowisata herbal.
Hal ini dinilainya penting sebagai upaya untuk menyebarluaskan kekayaan rempah Indonesia serta memberikan informasi dan pembelajaran tentang betapa banyak khasiat yang ada dalam setiap tanaman.
Dan, berbagai kuliner pun tidak berhenti menebar inspirasi....