Mensos Berharap Anak Indramayu Tidak Putus Sekolah
Menteri Sosial Tri Rismaharini memotivasi dan memberikan uang ratusan juta rupiah agar sejumlah anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tetap sekolah. Namun, bantuan itu belum cukup.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Di hadapan belasan anak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Menteri Sosial Tri Rismaharini memberikan motivasi dan uang ratusan juta rupiah agar mereka tetap sekolah. Namun, hal itu belum cukup menyelesaikan persoalan pendidikan di Indramayu. Jalan terjal itu masih bakal berliku.
”Kalian harus sekolah. Kita enggak boleh putus asa, enggak boleh menyerah. Kita harus terus kuat, seberapa pun beratnya,” ujar Risma kepada anak-anak yang kehilangan ayah atau ibu akibat pandemi Covid-19 saat berkunjung ke Pendopo Indramayu, Selasa (23/11/2021).
Risma memahami beban yang mereka tanggung tidak ringan. Namun, bukan tidak mungkin anak-anak tersebut bisa sukses. ”Tidak bisa karena kamu perempuan, kawin aja. Padahal, anak-anak ini punya kemampuan. Siapa tahu dia yang gantikan saya jadi menteri sosial,” ucapnya.
Salah satu syaratnya, ujar Risma, anak tersebut punya kemauan besar melanjutkan pendidikan. ”Dengan sekolah, 50 persen keberhasilan sudah di tangan kalian. Saat kuliah, ibu mikir bagaimana kalau orangtua meninggal. Ternyata betul meninggal di tengah kuliah,” kata Risma mengenang kisah hidupnya.
Alumnus Institut Teknologi Surabaya ini masih ingat harus kuliah sembari kerja. Bahkan, ketika menjalani kursus Integrated Urban Development Management (IUDM) di Belanda pada 1996, ia harus menembus pagi yang dingin untuk berjualan koran.
”Jadi, tidak ada alasan kalian tidak sekolah. Ada itu (bantuan) tabungan. Ambil itu untuk sekolah. Kamu janji enggak berhenti sekolah?” ujar mantan Wali Kota Surabaya itu. Beberapa anak yang mendengarkan mengangguk. Ada juga yang menundukkan kepala.
Dalam kesempatan itu Risma secara simbolis menyalurkan bantuan asistensi rehabilitasi sosial kepada 137 anak yatim terdampak Covid-19 di Indramayu, Majalengka, Sumedang, dan Subang. Nilai bantuan mencapai Rp 122 juta. Uang tersebut diterima secara nontunai dalam tabungan.
Tidak hanya berbincang langsung, Risma juga sampai memeluk sejumlah anak. Harapannya, mereka tetap semangat melanjutkan sekolah. ”Sekarang tergantung kalian. Kalau kalian menyerah (berhenti sekolah), ya sudah selesai,” ucap ibu dua anak itu.
Sekarang tergantung kalian. Kalau kalian menyerah (berhenti sekolah), ya sudah selesai. (Tri Rismaharini)
Muhammad Anik (17), salah satu penerima bantuan, belum memastikan akan mewujudkan permohonan Risma. Sudah setahun lebih warga Kandanghaur ini memutuskan putus sekolah saat duduk di bangku kelas VIII SMP.
”Saya berhenti sekolah karena mau kerja di laut. Lebih enak dapat duit,” ucap nelayan tersebut. Sekali melaut sekitar setengah bulan, ia bisa meraup hingga Rp 600.000. Sebaliknya, meskipun sekolah gratis, ia tetap harus mengeluarkan uang untuk transportasi, jajan, dan sebagainya.
Remaja tersebut tinggal di lingkungan nelayan. Bapaknya dulu nelayan sebelum beralih menjadi buruh pabrik beras. Tetangganya juga melaut. ”Banyak juga teman-teman yang ke laut langsung putus sekolah,” ucap Anik tidak bisa menghitung anak seusianya yang tidak lagi sekolah.
Di antara 27 kabupaten/kota di Jabar, Indramayu tercatat sebagai daerah dengan angka rata-rata lama sekolah terendah, yakni 6,3 tahun pada 2020. Artinya, anak-anak Indramayu yang menjalani sekolah formal rata-rata hanya 6,3 tahun atau hanya tamat SD.
Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata lama sekolah di Jabar, yakni 8,55 tahun. Semakin tinggi angkanya, semakin lama jenjang pendidikannya. Kondisi ini berdampak pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indramayu yang tercatat 67,29, lebih rendah dari IPM Jabar, sebesar 72,09.
Ironisnya, Indramayu termasuk lumbung pangan Jabar, bahkan nasional. Tahun lalu lebih dari 1,3 juta ton gabah kering giling dihasilkan dari Indramayu. Daerah ini juga menjadi penyumbang terbesar perikanan tangkap di Jabar, yakni 150.530 ton pada 2020.
Di antara ratusan ton ikan itu, ada andil Anik. Namun, ia tak tahu bagaimana masa depannya kelak. Menjadi nelayan tidaklah mudah. Risiko kecelakaan laut menghantui, seperti 13 nelayan Indramayu yang masih hilang akibat tabrakan kapal, April lalu. Empat nelayan juga meninggal.
Penghasilan nelayan juga tak menentu seperti cuaca yang kian sulit ditebak. Nelayan tak lagi mampu membaca secara pasti kapan musim angin timur dan barat akibat perubahan iklim yang kian ganas. ”Sekarang cuma dapat Rp 200.000. Padahal, sudah melaut sampai satu bulan di Jakarta,” kata Anik.
Berbagai ketidakpastian itu juga belum membuat Anik kembali ke bangku sekolah. Apalagi, ibunya tutup usia, Juli lalu, yang menambah beban pikirannya. Sang ibu berpulang setelah terpapar virus korona baru. Almarhumah sempat dirawat di ruang isolasi tiga hari tiga malam.
Ibunya menyusul adiknya yang meninggal setahun sebelumnya karena dugaan penyakit lambung. Anik tidak hanya kehilangan salah satu tulang punggung keluarga karena ibunya berdagang di warung kecil. Ia juga kehilangan sosok yang selalu menyemangatinya, termasuk soal sekolah.
Bupati Indramayu Nina Agustina mengakui pekerjaan nelayan yang turun-temurun di Indramayu sulit dihentikan. Padahal, ada anak di bawah umur yang seharusnya sekolah justru ikut melaut. Pihaknya berencana membuat regulasi agar anak-anak tidak melaut (Kompas TV, 14/4/2021).
Ini PR (pekerjaan rumah) kita, bupati dan saya, agar stigma negatif Indramayu menghilang. Kita perlu berkolaborasi, termasuk mengurangi jumlah penerima bantuan. Kalau jumlah penerima bantuan semakin banyak, berarti ada kekeliruan dari negara. (Selly Andriany Gantina)
Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PDI-P, Selly Andriany Gantina, yang hadir bersama Mensos Risma, mengatakan, Indramayu lekat dengan persoalan putus sekolah hingga kasus perceraian. Bahkan, ada anekdot RCTI atau Randa (janda) Cilik (muda) Turunan (keturunan) Indramayu.
”Ini PR (pekerjaan rumah) kita, bupati dan saya, agar stigma negatif Indramayu menghilang. Kita perlu berkolaborasi, termasuk mengurangi jumlah penerima bantuan. Kalau jumlah penerima bantuan semakin banyak, berarti ada kekeliruan dari negara,” ungkapnya.
Bagi Anik, bantuan dana dari pemerintah cukup menolong. Namun, ia belum berjanji untuk kembali bersekolah. ”Saya mau pulang. Besok mau melaut lagi,” ucapnya berlari menjauhi Pendopo Indramayu di tengah guyuran hujan.