Kasus Kekerasan terhadap Anak di Kota Malang Harus Jadi Pembelajaran
Polisi memeriksa 10 terduga pelaku pencabulan dan kekerasan terhadap siswa SD di Kota Malang, Jawa Timur. Kasus ini harus jadi pembelajaran bersama bahwa keselamatan anak menjadi tanggung jawab semua pihak.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Polisi memeriksa 10 terduga pelaku kekerasan fisik dan seksual terhadap Bunga (13), siswa SD di Kota Malang, Jawa Timur. Kasus ini harus jadi pembelajaran bersama bahwa keselamatan anak menjadi tanggung jawab semua pihak.
Hingga Selasa (23/11/2021), Polresta Malang Kota masih memeriksa sejumlah saksi, termasuk 10 terduga pelaku. Sebagian besar pelaku berusia di bawah 17 tahun.
Kepala Polresta Malang Kota Ajun Komisaris Besar Bhudi Hermanto mengatakan sudah mengantongi bukti visum dari dua kasus (kekerasan seksual dan penganiayaan) dan melakukan analisis video viral diduga terkait kasus tersebut. Selain itu, beberapa bukti lain juga dikumpulkan, misalnya pakaian korban dan pelaku sebagaimana muncul dalam video kekerasan yang viral serta ponsel yang digunakan untuk merekam kekerasan.
”Dalam hal ini, kami menyampaikan bahwa korban dan pelaku sama-sama berstatus anak sehingga kami bekerja sama dengan psikolog dan PPA, dan akan ada batas dalam penanganan kasus ini,” kata Bhudi, Selasa.
Adapun terkait kasusnya, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Malang Kota Komisaris Tinton Yudha Riambodo menjelaskan bahwa kasus penganiayaan terhadap Bunga dipicu kekesalan.
Istri dari pelaku kekerasan seksual merasa kesal karena suami sirinya tidur dengan perempuan lain (Bunga). Si istri pun memanggil rekan-rekan Bunga dan setelah itu Bunga dikeroyok oleh teman-temannya sendiri karena dianggap nakal. Peristiwa pengeroyokan itu pun direkam para pelaku.
Kasus ini mencuat setelah video kekerasan terhadap Bunga viral di media sosial. Kasus tersebut dilaporkan ke Polres Malang Kota pada Jumat (19/11/2021) pukul 17.00 WIB oleh AN (35), ibu Bunga.
AN sehari-hari bekerja di Sidoarjo sebagai pembantu rumah tangga. Adapun ayah Bunga menjalani perawatan di daerah Wajak, Kabupaten Malang, karena menderita gangguan jiwa. Sehari-hari, Bunga tinggal di sebuah panti asuhan di Kota Malang.
Kuasa hukum Bunga menyebut, sebelum dikeroyok, Bunga juga mengalami kekerasan seksual oleh seorang pria yang merupakan teman dari para pelaku pengeroyokan. Ia dipaksa tidur dengan Y (28), yang sudah beristri, setelah sebelumnya diajak jalan-jalan keliling kota.
”Kami ingin kasus ini diproses lebih lanjut dengan sasaran agar memberikan efek jera kepada para pelaku. Harus ada penanganan untuk mereka. Dengan usia seperti sekarang ini saja sudah berbuat seperti ini, kalau dibiarkan, bagaimana ke depannya?” kata Leo A Permana, kuasa hukum Bunga dari Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Malang Raya.
Adapun terkait kasus tersebut, Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat (BKBPM) Kota Malang Penny Indriani mengatakan bahwa kasus ini harus menjadi pelajaran bagi semua pihak. Keselamatan anak menjadi tanggung jawab semua pihak. Perlindungan dan perawatan anak tidak bisa hanya diserahkan sepenuhnya kepada sekolah/lembaga tertentu.
Hal lain yang disoroti Penny adalah bahwa pengelola pusat pembelajaran (dalam hal ini yayasan panti asuhan) harus juga tertib aturan. ”Panti asuhan tempat si anak ini rupanya belum memiliki izin operasional. Itu sebabnya, kami kesulitan mengawasi. Padahal, perihal perizinan itu penting karena bisa berhubungan dengan pengawasan dari pihak berwenang,” kata Penny.
Namun, sebagai bagian dari Pemkot Malang, Penny mengaku bahwa pihaknya akan terus menyosialisasikan perlindungan pada anak. Semua pihak bisa punya andil dalam terjadinya kekerasan pada anak ini.
Bagi Penny, kasus ini cukup menyedihkan karena Kota Malang sudah mendapat gelar Kota Layak Anak. Di satu sisi, kekerasan terhadap anak hampir setiap tahun selalu terjadi di Kota Malang. Sejak awal 2021 hingga saat ini, BKBPM Kota Malang mencatat telah terjadi 56 kasus kekerasan pada anak. Dua kasus terbanyak adalah kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Pelakunya mulai dari kerabat dekat hingga orang lain.
Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang, Luluk Dwi Kumalasari, mengatakan bahwa terus berulangnya kasus kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa kasus seperti ini sulit dicegah kembali berulang. Apalagi, di era digital seperti saat ini, di mana setiap orang bisa dengan cepat mendapatkan informasi (termasuk mengetahui contoh kekerasan) sehingga informasi kekerasan pun akan terus tersebar dengan cepat.
“Meminimalisasi kekerasan pada anak mungkin dikurangi, namun untuk mencegahnya terulang sama sekali, akan sulit. Sebab pada era cepat dengan teknologi canggih ini, saya melihat anak-anak cenderung semakin emosional dan jauh dari bimbingan orang tua, " kata Luluk.
Ketergantungan berlebihan anak terhadap gadget, menurut Luluk, membuat anak bisa jadi tidak mengenal nilai-nilai kebaikan, termasuk nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, bagi si anak, menurut Nurul, yang dipahaminya adalah bahwa kebenaran itu ada di dunia maya dan apa yang diyakininya sendiri.
”Tantangan berat seperti itulah yang akan kita hadapi ke depan, terutama dalam pengasuhan anak. Itu sebabnya, butuh kerja keras untuk mengenalkan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan secara langsung pada anak.
Luluk menekankan bahwa anak-anak tetap butuh perhatian, bimbingan, dan arahan dari orangtuanya.