Empat orang meninggal akibat tertimbun longsoran di Banjarnegara. Hidup di bawah tebing curam membuat mereka tidak sempat bangun untuk menyelamatkan diri. Mereka pun tidur selamanya akibat longsor.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Empat orang meninggal dunia akibat tertimbun tanah longsor di Desa Pagentan, Kecamatan Pagentan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Jumat (19/11/2021). Tebing setinggi 40 meter di belakang rumah mereka ambrol sekitar pukul 21.30 ketika mereka semua sudah terlelap tidur.
”Saya ikut mengevakuasi korban dan menggotong Putri (7). Posisi mereka semua sudah di tempat tidur dan memakai selimut,” kata Kepala Desa Pagentan Abdul Kohar, Sabtu (20/11/2021).
Abdul mengisahkan dirinya mendapat informasi dari perangkat desa bahwa tebing yang merupakan bagian dari pemakaman desa serta kebun jagung, longsor Jumat malam. Tidak ada tanda-tanda apa pun ketika longsor terjadi. Tiba-tiba gemuruh tanah runtuh menimpa tiga rumah yang berada persis di bawah tebing.
”Pertama saya melihat tangan, lalu dicoba dikeruk dan digali manual. Ketemulah Putri, posisinya agak miring, tangannya bergerak, tubuhnya lemas, dan masih bernapas lalu segera dibawa ke puskesmas,” tutur Abdul.
Selanjutnya, di sebelah Putri, ditemukan Bunga Citra Arumdhani (14) dan Alfino Sudarmaji (11) dalam kondisi sudah tak bernyawa. Ketiganya ditemukan di ruang tengah atau ruang keluarga yang biasa jadi tempat menonton televisi. Selanjutnya, setelah 7,5 jam penggalian, ditemukan Partini (38), ibu dari Bunga dan juga budhe dari Alfino.
”Putri dan Fino (Alfino) ini sudah lama ikut Partini. Mereka yatim piatu karena kedua orangtuanya meninggal karena penyakit jantung beberapa tahun lalu,” tutur Abdul.
Ibu dari Putri dan Fino bernama Walfiah. Walfiah adalah adik dari Budiman yang merupakan suami Partini. Budiman ini pun sudah meninggal pada Februari lalu karena diabetes. ”Pak Budiman ini adalah perangkat desa, dulu dia kasi pelayanan. Saya beberapa kali ke rumahnya, jadi agak paham posisi-posisi rumahnya,” ujar Abdul.
Karmawan (33), anak pertama dari Budiman, mengatakan, ayahnya menikah tiga kali dan Partini adalah ibu sambungnya yang sehari-hari membuka warung kelontong di rumahnya. Dirinya baru saja berkunjung ke rumah itu untuk menjenguk adik-adiknya dan tidak ada firasat apa pun.
”Sorenya saya baru ketemu dengan adik-adik. Memang tidak bilang apa-apa. Saya panik ketika dikabari ada longsor. Sampai di rumah, otomatis secara nurani, saya mencari pintu. Karena pintu tidak bisa dibuka, saya memecah kaca dan masuk. Di dalam sudah tanah semua. Saya di situ putus asa,” tuturnya.
Hampir setiap tahun Karmawan selalu rutin mengecek bagian atas tebing. Dia mengecek kalau-kalau ada retakan tanah yang mengancam keselamatan keluarganya.
Karmawan mengatakan, hampir setiap tahun dirinya selalu rutin mengecek bagian atas tebing. Dia mengecek kalau-kalau ada retakan tanah yang mengancam keselamatan keluarganya.
”Setiap tahun saya selalu lihat atas, siapa tahu ada pecahan tanah. Tapi tahun ini saya lupa. Saya selalu mengingatkan adik-adik untuk jauh dari dapur dan WC, tapi ternyata semua sudah terjadi,” katanya sambil mengusap air mata.
Malam itu, dua rumah rata tertimbun tanah. Satu milik Budiman yang ditinggali Partini dengan anak serta keponakannya. Adapun satu rumah lagi milik almarhum Walfiah yang disewakan sebagai indekos dan ditempati Andriyani Erowati (43), bidan desa setempat.
Andriyani pun meninggal dunia akibat longsor ini. Jenazahnya juga ditemukan di dalam kamar dengan kondisi berselimut. ”Kami kehilangan bidan desa satu-satunya. Beliau komunikatif dan rajin melatih kader-kader kesehatan desa,” kata Abdul.
Kepala BPBD Kabupaten Banjarnegara Aris Sudaryanto mengatakan, longsor berasal dari tebing setinggi 40 meter dan di atasnya merupakan kebun jagung serta makam desa. ”Total material longsor mencapai sekitar 100 meter kubik. Di atas tebing ini adalah perkebunan jagung yang tidak ada pengikatnya. Jadi dengan curah hujan tinggi, air menggenang, ada retakan, tapi tidak segera diatasi, lalu terjadi longsor,” paparnya.
Menurut Aris, karena kondisi tiga rumah mepet tebing yang terjal itu, longsor pun langsung menghantam dan menimbun ketiga bangunan rumah. ”Setelah kejadian ini, titik ini jadi zona merah dan tidak boleh dihuni lagi. Pemilik rumah juga sudah diingatkan berulang kali untuk tidak tinggal di situ, tapi mereka tetap tinggal di sana,” katanya.
Pagentan berada di kawasan perbukitan. Jalan menuju lokasi ini berkelok tajam. Jalur Pagentan ini menjadi jalur alternatif menuju Dataran Tinggi Dieng. Di kanan-kiri jalan menuju lokasi, perbukitan tampak menghijau, sebagian dilingkupi tanaman keras, tapi sebagian besar ditumbuhi tanaman salak. Di beberapa lokasi, tampak tempat pengepulan salak. Sejumlah rambu peringatan bahaya rawan longsor serta jalur evakuasi juga dipasang di kawasan berbukit ini.
Di Banjarnegara, lanjut Aris, ada 80 alat peringatan dini longsor yang dipasang sejak 3 tahun terakhir. ”Ini masih kurang karena wilayah Banjarnegara ini sekitar 75 persennya adalah wilayah rawan longsor. Paling tidak, idealnya satu desa ada satu EWS. Di Banjarnegara total ada 226 desa,” ujarnya.
Empat nyawa telah melayang dalam longsor di Pagentan, Banjarnegara ini. Mereka tertimbun longsor tatkala terlelap dalam tidurnya. Kewaspadaan dan mitigasi bencana perlu terus digiatkan untuk mencegah berulangnya bencana ini.