Banjir terus meluas di Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Pengungsi pun terus bertambah hingga pemerintah menggunakan fasilitas publik untuk menampung para pengungsi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pengungsi banjir Kota Palangkaraya terus bertambah seiring meluasnya banjir. Pemerintah menggunakan Gelanggang Olah Raga Sanaman Mantikei untuk menampung para pengungsi.
Sebelumnya, banjir hanya melanda 17 kelurahan dari empat kecamatan di Kota Palangkaraya. Kini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palangkaraya mencatat, banjir melanda di 21 kelurahan dari lima kecamatan.
Setidaknya, terdapat 5.199 keluarga atau 11.127 orang dari 120 wilayah rukun tetangga yang terendam banjir. Dari jumlah yang terdampak, 619 orang mengungsi ke posko-posko di kelurahan mereka. Jumlah yang mengungsi juga bertambah, sebelumnya hanya 478 orang.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palangkaraya Emi Abriyani mengungkapkan, saat ini pihaknya sudah meningkatkan status dari siaga darurat menjadi tanggap darurat banjir. Hal itu dilakukan melihat potensi banjir yang lebih besar bisa saja terjadi.
Menurut Emi, hasil koordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Palangkaraya, saat ini baru dimulai musim hujan sehingga puncak musim hujan masih diperkirakan pada dasarian kedua pada November atau pada Desember nanti.
”Kami fokus pada pelayanan dan penanganan banjir khususnya para pengungsi. Mereka membutuhkan beragam bantuan dan kami berupaya memenuhinya,” kata Emi, pada Jumat (19/11/2021).
Pemerintah, lanjut Emi, saat ini menggunakan beberapa fasilitas publik untuk menampung para pengungsi. Di Kelurahan Langkai, pemerintah menjadikan lapangan futsal di Gelanggang Olah Raga Sanaman Mantikei Kota Palangkaraya sebagai tempat pengungsian.
Di tempat itu, terdapat 230 pengungsi dari 13 rukun tetangga di Kelurahan Langkai. Sebagian dari mereka tinggal di bantaran Sungai Kahayan.
Suparti (67), warga Flamboyan Bawah, Kelurahan Langkai, mengungkapkan sudah hampir seminggu tinggal di pengungsian. Sebelumnya, ia dan cicitnya tinggal di SD Negeri I Langkai, kemudian dipindah karena sudah penuh sesak.
”Sudah tidak bisa tinggal di rumah lagi, airnya udah di langit-langit,” ujar Suparti.
Menurut Suparti, anaknya selalu memeriksa rumah mereka karena khawatir ada pencuri yang datang. ”Setiap pulang jaga rumah itu, dia bilang airnya masih terus naik jadi belum bisa pulang,” ungkapnya.
Diserang penyakit
Sudah hampir seminggu tidur beralaskan tikar, beratap tenda membuat para pengungsi diserang penyakit. Beberapa penyakit yang menyerang antara lain, gatal-gatal, infeksi saluran pernapasan akut, dan diare. Fatimah (42), warga Jalan Mendawai III, Kelurahan Palangka, mengungkapkan, dirinya terpaksa mengungsi lantaran ketinggian air sudah lebih dari 1,5 meter. Ibu dua anak itu tinggal dengan orangtua dan neneknya yang berumur 101 tahun.
Ia bersama keluarga yang berjumlah tujuh orang kemudian mengungsi ke sebuah rumah toko (ruko) kosong di Pasar Kahayan. Mereka semua tinggal di ruangan 3 x 4 meter dengan beralaskan tikar purun.
Kini Fatimah dan tiga anggota keluarganya diserang batuk dan penyakit kulit gatal-gatal. Kulit di bagian tangan Fatimah memerah dan timbul bercak. Tak hanya tangan, sela-sela kakinya juga mulai diserang kutu air. ”Tiap hari bolak-balik ke rumah takut ada yang maling barang di rumah, ke sini (posko) hanya untuk makan dan tidur,” katanya.
Di GOR Sanaman Mantikei, Surandi (55) mengaku terus batuk sejak tinggal di pengungsian. ”Tapi di sini lengkap, air bersih ada, toilet ada, tiga kali sehari ada makanan juga,” ungkapnya.