Harga Bawang dan Tomat Merosot, Petani di Solok Menjerit
Selain anjloknya harga bawang dan tomat, petani semakin terjepit karena melejitnya harga pupuk dan pestisida.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Merosotnya harga bawang merah dan tomat dalam sebulan terakhir membuat para petani di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, menjerit. Petani semakin terjepit karena penurunan harga komoditas tersebut diikuti pula kenaikan harga pupuk.
Fajar Sarli (27), petani di Nagari Limau Lunggo, Kecamatan Lembang Jaya, Rabu (17/11/2021), mengatakan, harga bawang merah saat ini cuma berkisar Rp 6.000-9.000 per kilogram di tingkat petani. Harga turun dari Rp 15.000 per kg pada bulan lalu, sedangkan harga normalnya Rp 13.000-15.000 per kg.
Sementara itu, harga tomat saat ini cuma Rp 1.000 per kg. Padahal, sebulan lalu, harga mencapai Rp 8.000 per kg. Harga normalnya berkisar Rp 3.000-5.000 per kg. Penurunan drastis harga tomat terjadi dalam dua minggu terakhir.
”Kondisi ini membuat petani merugi. Bawang, misalnya, modal Rp 8 juta, hasil penjualan cuma Rp 3 juta. Perekonomian saya jadi sulit,” kata Fajar ketika dihubungi dari Padang, Rabu.
Fajar tidak tahu pasti penyebab harga bawang dan tomat anjlok. Namun, informasi dari penampung, harga bawang rendah karena rendahnya daya beli dari daerah Riau dan Jambi, yang biasanya mengambil pasokan dari Sumbar.
Untuk tomat, harga turun karena daerah tetangga, seperti Curup, Bengkulu, juga sedang panen raya. Pasar-pasar yang biasanya diisi petani Sumbar, baik di dalam provinsi maupun di provinsi tetangga, mengalami kelebihan pasokan.
”Terakhir saya panen tomat hari Minggu. Panen tomat sekali empat hari. Biasanya, pembeli sudah mengontak, tapi sekarang belum ada. Kalau tidak juga, mungkin besok tomat tidak dipanen. Harganya murah, mencari pembelinya juga susah. Petani lain banyak yang tidak memanen tomatnya karena upah panen lebih besar dibanding hasil penjualan,” ujar Fajar.
Menurut Fajar, kondisi semakin sulit karena harga pupuk dan pestisida justru melejit dalam dua bulan ini. Pupuk NPK, misalnya, yang biasanya dijual Rp 11.000 per kg, sekarang dijual Rp 14.000 per kg.
Kondisi serupa dialami oleh Eril Sastra Hadi (25), petani bawang di Nagari Kampung Batu Dalam, Kecamatan Danau Kembar. Rabu pagi, ia menjual bawang merah dengan kualitas baik hanya Rp 7.000 per kg. ”Kacau sekali harga bawang sekarang,” katanya.
Eril pun merugi akibat anjloknya harga tersebut. Modal yang dikeluarkannya untuk satu petak bawang yang baru ia panen ini Rp 2,5 juta. Namun, hasil jual panen cuma Rp 1,7 juta.
Kenaikan harga pupuk dan pestisida empat bulan terakhir seakan membuat kondisi petani di salah satu sentra pertanian Sumbar itu semakin sulit. Harga pupuk SS, misalnya, sekarang Rp 13.000 per kg dari sebelumnya Rp 7.500-Rp 8.000 per kg. Pestisida dari Rp 55.000-Rp 70.000, sekarang mencapai Rp 120.000.
Jadi, saat harga murah, petani tidak kesulitan karena hasil panen bisa diolah menjadi saos, selai tomat, dan lain-lain.
”Kami berharap harga stabil. Jika tidak mahal, setidaknya harganya stabil normal. Jadi, petani bisa mendapat keuntungan. Begitu pula harga pupuk dan pestisida, diharapkan bisa turun,” ujar Eril.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Solok Imran Syahrial mengatakan, hasil hortikultura memang riskan dengan tingginya fluktuasi harga karena tergantung kondisi permintaan dan penawaran. Jika pasokan sedang melimpah, harga akan turun.
”Kebetulan, di bulan-bulan ini, di Sumbar panen, di Pulau Jawa panen juga. Suplai banyak, harga murah,” kata Imran.
Sebagai solusi jangka pendek, kata Imran, dinas bakal mendorong kelompok Unit Pelayanan, Pengembangan, dan Pengolahan Hasil Pertanian (UP3HP) untuk menyerap hasil panen petani. Hasil panen bawang bakal diolah menjadi bawang goreng, minyak bawang, dan turunannya, begitu pula dengan tomat diolah menjadi selai.
”Untuk jangka panjang, program bupati baru (Epyardi Asda) adalah mendirikan pabrik saos tomat dan bawang olahan. Jadi, saat harga murah, petani tidak kesulitan karena hasil panen bisa diolah menjadi saos, selai tomat, dan lain-lain. Kami melakukan uji kelayakan program ini tahun 2022, setelah itu segera dibangun,” tuturnya.
Adapun untuk harga dan distribusi pupuk, kata Imran, ini tidak hanya menjadi masalah Solok ataupun Sumbar, tetapi mungkin juga masalah nasional. Harga pupuk sering mahal dan distribusinya tidak tepat waktu. Pemerintah kabupaten mendorong Badan Usaha Milik Nagari (BUMNag) melalui gabungan kelompok tani agar bisa menjadi pengecer sehingga pupuk bisa lebih dekat ke petani dan harganya terjangkau.