Gubernur Kalteng Minta Pemerintah Pusat Tinjau Ulang Perizinan
Banjir di Kalimantan Tengah terus meluas. Deforestasi dan rusaknya sungai dinilai menjadi masalah utama yang menjadi perhatian pemerintah daerah.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Gubernur Kalteng Sugianto Sabran meminta pemerintah pusat untuk meninjau kembali perizinan di Kalimantan Tengah. Aktivitas yang legal ataupun ilegal menyebabkan pendangkalan di sungai besar dan hilangnya sungai kecil. Akibatnya, terjadilah banjir.
Hal itu disampaikan Sugianto Sabran di sela-sela Rapat Koordinasi Kesiapsiagaan Pemerintah Daerah Menghadapi Bencana Banjir dan Covid-19 di Kalteng pada Rabu (17/11/2021). Perizinan yang diminta ditinjau mulai dari izin perkebunan, hutan tanaman industri, hak pengusahaan hutan, dan pertambangan.
Hingga saat ini, enam kabupaten dan kota di Kalteng masih terendam banjir, yakni Kabupaten Katingan, Kotawaringin Timur, Pulang Pisau, Barito Selatan, Kota Palangkaraya, dan Kabupaten Kapuas.
Dari data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Provinsi Kalteng, terdapat 121 desa dan kelurahan terendam banjir di 36 kecamatan. Total terdapat 21.035 keluarga atau 67.508 orang yang terdampak banjir. Sebanyak 348 keluarga mengungsi ke posko darurat milik pemerintah.
Sugianto mengungkapkan, pihaknya akan melakukan kajian terkait bencana banjir yang terus melanda hampir setiap tahun, khususnya dua tahun belakangan. Pihaknya dalam waktu dekat akan mengirim surat ke pemerintah pusat agar meninjau kembali konsesi perizinan.
”Tolong ditinjau lagi (perizinan), bahkan ada satu perusahaan yang memiliki izin 100.000 hektar, kalau dibiarkan saja, ya, tidak boleh begitu,” kata Sugianto.
Menurut Sugianto, dalam pantauan udara yang ia lakukan dari hulu sampai hilir, banyak sungai kecil hilang dan terjadi pendangkalan pada sungai besar sehingga tidak mampu menampung air hujan. Hal itu disebabkan aktivitas konsesi yang legal dan juga aktivitas ilegal masyarakat.
”Akibat aktivitas ilegal ini, saya yakin Sungai Kahayan tak sampai 50 tahun akan hilang, sama dengan hutan yang ada di kanan dan kirinya,” ungkap Sugianto.
Untuk itu, lanjut Sugianto, dalam rencana jangka panjang pihaknya akan menanami kembali hutan-hutan yang hilang di kanan dan kiri sungai-sungai yang ada di Kalimantan Tengah, khususnya yang sering menjadi penyebab banjir. Namun, kini pihaknya masih akan fokus pada penanganan banjir sambil tetap membuat kajian lingkungan terhadap bencana banjir.
”Manusia harus sadar akan pentingnya menjaga lingkungan, ada yang sejahtera 1.000 orang dari aktivitas yang merusak lingkungan, tapi yang sakit ratusan ribu orang karena dampaknya,” kata Sugianto.
Akibat aktivitas ilegal ini, saya yakin Sungai Kahayan tak sampai 50 tahun akan hilang, sama dengan hutan yang ada di kanan dan kirinya.
Menanggapi hal itu, Manajer Advokasi Save Our Borneo Muhammad Habibi menjelaskan, sebelum menyurati pemerintah pusat, pemerintah provinsi memiliki tanggung jawab untuk melakukan evaluasi terhadap izin-izin yang mereka keluarkan. Apalagi, banyak kewenangan kabupaten saat ini dipindahkan ke provinsi.
”Dalam konteks perkebunan sawit, misalnya, sejak ada instruksi Presiden untuk menunda pemberian izin dan evaluasi perizinan saja tidak berjalan sampai kebijakan itu berakhir,” ungkap Habibi.
Saat melaksanakan evaluasi, lanjut Habibi, pemerintah bisa melihat banyak izin yang berdampak pada kerusakan lingkungan, tetapi tidak pernah ditindak tegas. ”Tidak ada upaya untuk memerintahkan kepada perusahaan untuk memulihkan ekosistem lingkungan yang dirusak sehingga dampaknya berujung pada bencana,” ungkapnya.
Dalam catatan Save Our Borneo, terdapat 22 perusahaan perkebunan kelapa sawit di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan. Dari 22 perusahaan itu, hutan yang dikonversi menjadi perkebunan totalnya 167.270 hektar atau dua setengah kali luas DKI Jakarta. ”Itu baru dari perkebunan kelapa sawit, belum izin lainnya,” kata Habibi.
Menurut Habibi, pemerintah baik di pusat maupun di daerah harus melakukan evaluasi dan menindak tegas perusahaan yang melanggar hukum khususnya kejahatan lingkungan. Akumulasi dari pelanggaran lingkungan yang dilakukan menjadi beban bencana di masa mendatang.
”Kalau hanya menanam pohon di pinggir sungai, tidak jadi daerah resapan air, harusnya cabut semua izin yang bermasalah lalu reforestasi di wilayah perkebunan oleh pelaku yang bersangkutan, pemerintah memastikan hal itu,” kata Habibi.
Penyebab utama banjir memang beragam sehingga diperlukan upaya yang beragam pula. Di wilayah Kota Palangkaraya, banjir disebabkan luapan Sungai Kahayan. Sebagian besar korban banjir saat ini merupakan mereka yang tinggal di bantaran sungai.
Wali Kota Palangkaraya Fairid Naparin menjelaskan, pihaknya sudah membuat rencana perbaikan tata kawasan untuk melihat secara utuh penyebab bencana banjir di wilayahnya. Salah satu upaya yang akan dilakukan ke depan adalah melakukan relokasi warga di bantaran sungai.
”Kami sudah lakukan, secara bertahap tetapi relokasi ini penting, karena tidak boleh (tinggal) di bantaran sungai,” kata Fairid.
Sampai saat ini banjir yang terus meluas masih merendam sejumlah ruas Jalan Trans-Kalimantan. Di bagian utara, Jalan Trans-Kalimantan masih terputus, tepatnya di wilayah Bukit Rawi, Kabupaten Pulang Pisau. Pantauan Kompas, ketinggian air mencapai 1,4 meter. Ratusan kendaraan sudah diimbau untuk tidak melewati jalan tersebut.
”Saya sudah dua hari bolak-balik ke jalan ini karena mau pulang ke Gunung Mas, tapi airnya enggak surut-surut,” ungkap Hardi (31), sopir truk pengangkut pasir.
Hardi tak sendiri, ratusan kendaraan roda empat juga terpaksa memutar balik karena jalan nasional itu masih terendam banjir. Mereka berharap pembangunan jembatan bisa lebih cepat ddiselesaikan karena melihat banjir makin parah setiap tahun.