Monumen Perjuangan Covid-19, Hargai Hidup dari Mereka yang Pergi
Monumen Perjuangan Covid-19 didedikasikan untuk tenaga kesehatan dan petugas lain yang gugur saat pandemi. Giliran kita yang masih diberi kehidupan menghargai dedikasi itu dengan hidup lebih baik.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/CORNELIUS HELMY
·5 menit baca
Ratusan tenaga kesehatan dan petugas lainnya tercatat gugur saat menangani Covid-19 di Jawa Barat. Kenangan pada kesetiaan dan keberanian mereka terpatri abadi di Monumen Perjuangan Covid-19. Giliran yang masih ada di dunia ini menghargai pengorbanan itu.
Suasana di Monumen Perjuangan Covid-19 Jawa Barat, berjarak sekitar 200 meter dari Gedung Sate, Kota Bandung, begitu sendu, Kamis (11/11/2021). Gerimis membasahi pucuk bunga yang mulai menguning di bawah tugu kembar setinggi 17 meter. Ada delapan kuntum mawar putih gading berjejer di salah satu sisi tugunya. Deru ramai kendaraan di Jalan Surapati, berjarak 50 meter, belum mampu mengusir syahdu sore itu.
Akan tetapi, lebih dari sekadar kesenduan, kawasan itu memelihara ingatan sekaligus menawarkan harapan. Huruf kapital keemasan terpatri di dinding tugu. Menghadap Gunung Tangkubanparahu, guratannya menuliskan nama 291 petugas kesehatan dan lainnya yang gugur saat menangani Covid-19 di Jabar.
Salah satu nama yang tercetak di sana adalah Rohaetin, perawat di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati. Dia gugur akibat tertular Covid-19 pada Kamis (5/11/2020), hanya beberapa hari setelah melahirkan.
Rohaetin terkonfirmasi Covid-19 setelah pemeriksaan tes usap tenggorokan pada 20 Oktober 2020. Tes dilakukan karena tempat kerjanya di RSD Gunung Jati menjadi kluster penyebaran Covid-19. Perawat ruangan high care unit (HCU) itu pun kemudian dirawat di ruangan isolasi RSD Gunung Jati karena dalam kondisi hamil anak ketiga.
Tidak berlebihan Rohaetin disebut pahlawan kesehatan. Di mata kolega, dedikasinya luar biasa.
Di tengah hamil tua, dia masih tetap bekerja merawat pasien Covid-19. Dia tahu, Cirebon tengah babak belur menghadapi lonjakan kasus baru. Jumlah perawat di HCU berkurang dari 21 orang menjadi 15 orang karena yang lainnya harus bekerja di ruang isolasi. Setiap perawat mengurus tiga pasien.
Yulian Teguh Setiawan, suami Rohaetin, mengatakan, monumen tersebut lebih dari sekadar bentuk penghormatan, tetapi juga pengingat untuk dirinya dan anak-anaknya. Di sana, ia akan menceritakan sekaligus memberi tahu kepada anaknya tentang perjuangan dan pengorbanan Rohaetin menangani pandemi.
”Saya akan berkata bahwa ibu adalah pahlawan kesehatan. Kamu harus bangga dan kamu harus seperti ibumu,” ucapnya.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Jabar Eka Mulyana berujar, lebih dari 100 dokter di Jabar meninggal dunia saat bertugas karena terpapar Covid-19. Bahkan, dokter yang terpapar dan membutuhkan perawatan medis mencapai lebih dari 10 kali lipat dari yang gugur.
”Kerja para nakes berlipat ganda saat terjadi gelombang kedua pandemi pada pertengahan 2021. Rumah sakit penuh, petugas kelelahan. Orang-orang menjadi takut ke mana-mana. Tetapi, petugas tetap berjuang karena itu bentuk tanggung jawab profesi mereka,” tuturnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, monumen itu berbentuk dua portal, yang merupakan simbol dari ketangguhan dan tumbuh. Harapannya, penulisan nama petugas yang tangguh saat menangani Covid-19 bisa ikut menumbuhkan inspirasi warga bangkit dari pandemi.
”Monumen ini dibangun sebelum Covid-19. Sekarang, kami akan dedikasikan kepada pahlawan Covid-19 yang meninggal. Kami berharap monumen ini dapat membangun semangat dan simbol perjuangan rakyat Jabar dalam melawan Covid-19,” ujarnya.
Meski telah tiada, pengorbanan tenaga kesehatan yang gugur itu jelas tidak sia-sia. Seiring berjalannya waktu, tren kasus Covid-19 di Jabar menurun. Hingga Sabtu (13/11/2021) sore, misalnya, masih ada 1.488 pasien yang terdeteksi Covid-19.
Kenaikan kasus terkonfirmasi positif juga berjumlah 60 orang dibandingkan sehari sebelumnya. Angka ini lebih kecil dibandingkan beberapa bulan lalu dengan kenaikan kasus mencapai ribuan orang per hari. Saat serangan inilah para petugas kesehatan dan pendukung penanganan Covid-19 kewalahan dan sebagian meninggal dunia.
Selain itu, ada empat daerah tercatat berada di level 1 pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat di Jabar. Artinya, pusat keramaian sudah dibuka. Ragam kegiatan publik kembali dilakukan. Banyak warga kembali mendekati kerumunan seiring angka vaksinasi di Jabar mencapai 23,67 juta untuk dosis pertama dari total 37,9 juta target.
Akan tetapi, pandemi ini belum usai. Lonjakan kasus masih bisa terjadi kapan saja. Pengalaman di pertengahan 2021, saat penerapan protokol kesehatan mulai longgar, harus jadi guru terbaik. Dampaknya semakin menyesakkan dada akibat munculnya varian Delta yang mudah menular.
Belum saatnya masyarakat lengah dalam euforia. Protokol kesehatan saat berkegiatan di luar ruangan dibutuhkan untuk menghambat laju pandemi. (Eka Mulyana)
Hampir dua tahun pandemi, masih ada warga tanpa masker, enggan menjaga jarak, memicu kerumunan, hingga abai vaksinasi. Minggu (14/11/2021) pagi di sekitar Monumen Perjuangan Covid-19, misalnya, aktivitas jual beli kaki lima berjalan tanpa protokol kesehatan ideal. Di tempat pejuang Covid-19 diabadikan, penularan bisa terjadi kapan saja dan siapa saja yang datang ke sana.
Satuan Tugas Covid-19 Pusat juga menyebutkan, tujuh dari 27 kabupaten kota di Jabar mengalami tren kenaikan kasus dalam beberapa waktu terakhir. Daerah itu adalah Sukabumi, Cirebon, Sumedang, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kota Bekasi, dan Kota Depok. Jika masih terus begitu, ujung pandemi masih sulit ketahuan.
Menurut Eka Mulyana, belum saatnya masyarakat lengah dalam euforia. Protokol kesehatan saat berkegiatan di luar ruangan dibutuhkan untuk menghambat laju pandemi.
”Yang menjadi catatan kami, jangan sampai masyarakat melonggarkan kewaspadaan. Negara tetangga, Singapura, yang dulu merasa aman dan melonggarkan mobilitas, sekarang mengalami gelombang ketiga. Kalau Indonesia juga kena (gelombang ketiga), saya khawatir ini lebih banyak dari gelombang sebelumnya,” ujar Eka.
Penerapan protokol kesehatan ini, lanjut Eka, menjadi bentuk penghormatan besar kepada pejuang penanganan Covid-19 yang telah tiada. Ini juga menjadi bentuk penghargaan kepada petugas garda terdepan yang masih berjuang melawan pandemi. Alasannya, merawat kehidupan adalah cara untuk menghormati pejuang yang telah lebih dahulu pergi.