Kali Lamong Meluap, Ratusan Warga Gresik Masih Mengungsi
Hujan intensitas tinggi bersamaan pasang air laut memicu luapan Kali Lamong, anak Sungai Bengawan Solo, di Gresik, Jatim. Sebanyak 1.451 rumah warga terdampak, 1.295 hektar sawah tergenang, dan 403 jiwa mengungsi.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Hujan berintensitas tinggi yang terjadi bersamaan dengan pasang air laut memicu terjadinya luapan Kali Lamong, anak Sungai Bengawan Solo, di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Sebanyak 1.451 rumah warga terdampak dan 1.295 hektar sawah tergenang. Selain itu, sebanyak 403 warga mengungsi hingga saat ini.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim, banjir yang terjadi sejak Sabtu (6/11/2021) dini hari tersebut mengakibatkan 13 titik tanggul di sepanjang aliran Kali Lamong rusak, bahkan jebol. Tanggul itu, antara lain, berada di Desa Bengkelor, Desa Cermen, dan Desa Lampah.
Kerusakan tanggul itu menyebabkan sedikitnya 29 desa yang tersebar di lima kecamatan tergenang, yakni Cerme, Balongpanggangg, Benjeng, Kedamean, dan Meganti. Saat kejadian awal, tinggi genangan banjir mencapai 1,5 meter di beberapa titik. Selain permukiman warga, banjir juga merendam balai desa, sekolah, dan jalan desa.
Memasuki hari ketiga, Senin (8/11/2021), genangan banjir di sebagian desa terdampak berangsur surut. Tinggal beberapa kawasan yang masih terendam banjir cukup parah, yakni di Kecamatan Cerme dan Kedamean. Di Desa Cermen, Kecamatan Kedamean, misalnya, terdapat 818 rumah yang tergenang banjir sehingga ratusan warganya mengungsi.
Sementara itu, di Desa Guranganyar, Cerme, terdapat 270 rumah tergenang dengan tinggi air mencapai 60 sentimeter. Bahkan, di Perumahan Prismaland, tinggi genangan bisa mencapai 100 sentimeter. Selain rumahnya terendam banjir, warga mengungsi karena khawatir terjadi banjir susulan.
Kepala Desa Cermen Muhammad Suhadi mengatakan, banjir terjadi hampir setiap tahun di desanya akibat Kali Lamong meluap karena tak mampu menampung debit air. Namun, banjir yang terjadi kali ini, menurut dia, yang paling parah dalam 15 tahun terakhir.
”Hal itu terjadi lantaran banyak tanggul Kali Lamong yang jebol. Dari lima dusun di Desa Cermen, hanya satu dusun yang tidak kebanjiran. Empat dusun lainnya terendam meski saat ini banjir berangsur surut,” ujar Suhadi.
Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Jatim Satriyo Nurseno membenarkan, banjir yang melanda Kabupaten Gresik kali ini merupakan yang terparah. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya hujan dengan intensitas tinggi yang menyebabkan Kali Lamong meluap.
”Pada saat bersamaan, terjadi pasang air laut di wilayah hilir sungai sehingga air laut masuk ke sungai dan menambah volume air di Kali Lamong,” kata Satriyo.
Faktor lainnya yang memperparah banjir ialah rusaknya tanggul sungai di beberapa titik. Penyebab kerusakan tanggul itu sendiri beragam. Salah satunya, kondisi tanggul Kali Lamong yang masih labil karena baru diperbaiki. Pekerjaan perbaikan tanggul baru berjalan sekitar satu bulan belakangan.
Sementara pada Minggu (7/11/2021), Menteri Sosial Tri Rismaharini meninjau lokasi banjir Desa Cermenlerek, Kecamatan Kedamean, Kabupaten Gresik. Masih banyak warga yang menempati tenda-tenda sederhana di sepanjang jalan.
Kepada pihak terkait, Mensos meminta agar didirikan tenda sementara bagi warga. Selain membantu menjadi titik evakuasi sementara, tenda juga bisa berfungsi sebagai penampung barang milik warga, seperti padi, terutama yang sedang dijemur di jalan raya sehingga rawan basah.
”Saya minta bisa didirikan di sini supaya kalau ada bencana susulan masyarakat bisa mengakses jalur evakuasi. Tadi saya lihat ada warga jemur padi di jalan. Itu bisa diselamatkan kalau ada tenda,” kata Risma.
Sinergi ”pentahelix”
Satriyo mengatakan, penanganan bencana banjir di Gresik dilakukan bersama-sama dengan pemerintah daerah, kepolisian, TNI, sukarelawan, dan masyarakat serta melibatkan akademisi dari perguruan tinggi. Salah satu fokus penanganan saat ini ialah warga korban banjir yang rumahnya masih terendam dan mengungsi.
BPBD Jatim bersama BPBD Gresik dan pemerintah desa setempat telah menyediakan tempat pengungsian yang aman, nyaman, serta laik huni. Meski demikian, pihaknya tidak menampik ada sejumlah warga yang mendirikan tenda pengungsian sendiri karena ingin mengamankan aset atau harta bendanya.
”Tempat pengungsian swadaya yang didirikan warga ini kondisinya beragam, salah satunya jauh dari ketentuan atau prosedur standar lokasi pengungsian yang aman karena berada di daerah rawan, yakni dekat tanggul sungai,” katanya.
Diperlukan sinergi dengan berbagai pihak, terutama jajaran pentahelix. (Satriyo Nurseno)
Menurut Satriyo, dalam penanganan bencana di wilayah Jatim, baik banjir di Gresik maupun banjir bandang di Kota Batu, BPBD telah menerapkan konsep pentahelix. Konsep tersebut diterapkan sejak tahap mitigasi bencana atau prabencana, pada saat tanggap darurat, hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
Pentahelix merupakan model inovasi yang menekankan kerja sama dinamis lima unsur, yakni pemerintah atau otoritas publik, komunitas masyarakat atau pengguna, industri, universitas atau sistem pendidikan, dan medis. Satriyo mengklaim konsep ini sudah lama diimplementasikan di Jatim.
Dia mencontohkan, pada saat memasuki musim hujan, Pemprov Jatim telah menggelar apel siaga bencana di lapangan Markas Kodam V Brawijaya, Surabaya, dan Bendungan Semantok, Nganjuk. Kegiatan itu untuk melihat kesiapan semua institusi yang terlibat dalam penanganan bencana, termasuk medis dan komunitas masyarakat.
Saat terjadi tanggap darurat bencana seperti banjir akibat luapan anak Sungai Bengawan Solo di Gresik, BPBD menyalurkan bantuan yang tidak hanya berasal dari pemerintah. Kalangan industri digandeng untuk memberikan bantuan sosial terhadap penyintas untuk meringankan derita dan mempercepat proses pemulihan.
Menurut Satriyo, konsep pentahelix juga diimplementasikan dalam penanganan bencana banjir bandang di Kota Batu. Perguruan tinggi, misalnya, akan dilibatkan dalam edukasi tentang potensi rawan bencana dan membangun masyarakat tangguh sebagai bagian dari upaya mitigasi.
”Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam menanggulangi bencana karena memiliki banyak keterbatasan, seperti anggaran dan sumber daya manusia. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dengan berbagai pihak, terutama jajaran pentahelix,” ujar Satriyo.