Belajar dari Banjir Bandang Kota Batu, Waspadai Bencana Susulan
Beberapa lokasi di lereng Gunung Arjuno, Kota Baru, sangat minim tanaman keras, berganti tanaman runduk, sayur, dan bahkan benar-benar gundul tanpa tanaman.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·6 menit baca
Satu bencana dengan bencana lain sangat mungkin saling berkaitan. Banjir bandang di Kota Batu, Jawa Timur, Kamis (4/11/2021) pekan lalu salah satunya. Diperlukan mitigasi bencana menyeluruh agar kasus serupa tidak terulang atau terjadi di tempat lain.
Dalam siaran pers Sabtu (6/11), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa salah satu penyebab tingginya debit material banjir bandang di Kota Batu adalah jebolnya bendung alami di jalur sungai di kawasan Gunung Arjuno. Bendung atau penyumbatan itu terjadi karena adanya longsor di beberapa titik di aliran sungai yang sebenarnya sungai mati dan hanya teraliri air jika hujan.
Jebolnya bendung alami itu membuat air bercampur material terdorong dengan cepat ke bawah. Bercampur lumpur, batu, kayu, dan material lain yang ditemui di sepanjang aliran sungai, volume banjir membesar saat tiba di permukiman warga.
Sedemikian besarnya volume banjir saat itu membuat sungai yang sebenarnya hanya selebar 3-5 meter akhirnya tak mampu menampung material banjir. Air bah meluber mencari jalan lain hingga menyapu perkampungan warga dengan diameter mencapai sekitar 40 meter.
Pada pengamatan terkini menggunakan drone menunjukkan bahwa bukaan lahan di kawasan Gunung Arjuno cukup besar. Beberapa lokasi tampak sangat minim tanaman keras, dan berganti tanaman runduk, sayur, dan bahkan benar-benar gundul tanpa tanaman.
Selain itu, di lokasi kawasan Gunung Arjuno, ditemukan dugaan lokasi awal bendung air sebagai sumber banjir bandang pekan lalu. Lokasinya diperkirakan di area Pusung Lading, sekitar 4 km dari lokasi bencana. Sumber air pun semula berasal dari dua jalur, dan kemudian bertemu di satu titik sebelum kemudian turun dengan cepat ke desa.
“Yang harus dilihat lebih lanjut, bendung/mangkok air ini apakah sudah habis dengan banjir kemarin. Atau masih ada dan siap memuntahkan material tanah, lumpur, dan material lain ke depan? Jika memang masih ada, lalu jalur mana lagi dari bendung alami ini yang akan pecah? Sebab ini akan menentukan arah banjir bandang ke depan. Apalagi, menurut keterangan tim di lapangan, masih terdapat cekungan-cekungan air di bagian hulu,” kata Pengurus Pokja Manajemen Sumber Daya Air Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) Cabang Jawa Timur Bayu Pramadya Kurniawan Sakti (36), Sabtu (06/11/2021).
Cekungan/bendung air tersebut masih berada di jalur Pusung Lading, yang jika tidak segera di atasi, cekungan atau bendung air itu bisa menyebabkan banjir bandang susulan. Apalagi, saat ini masih merupakan awal musim hujan, dan musim hujan diperkirakan akan berlangsung hingga Februari tahun 2022.
“Banjir bandang Kota Batu ini alarm untuk siapa pun. Bahwa ada saatnya kita harus berani mengutamakan kepentingan ekologi demi keselamatan bersama. Butuh mitigasi menyeluruh dan kerja sama semua pihak,” kata Bayu.
Yang menjadi catatan MKTI, menurut Bayu, bendung alami di bagian hulu juga bisa terjadi karena pembuangan material sisa-sisa pembalakan serta sisa kebakaran hutan.
Kebakaran hutan Arjuno-Welirang terjadi hampir setiap tahun. Bahkan dalam setahun, kebakaran bisa terjadi berulang kali terutama saat musim kemarau. Terakhir kebakaran hutan terjadi tahun 2019.
Kebakaran-kebakaran hutan itu, menurut Bayu, diduga juga membawa dampak ikutan pada terjadinya banjir bandang kali ini. Mereka percaya bahwa antara kebakaran hutan dan banjir bandang saling berhubungan. Antara satu bencana dan bencana lain bisa saling terkait.
“Banjir bandang diduga memang dari ‘pembendungan’ air di bagian hulu. Sebab, kondisi DAS-nya tidak memungkinkan menampung air hujan langsung dalam jumlah besar. Dugaan itu ditambah data dari masyarakat bahwa banjir terjadi hanya 10-15 menit. Yang harus dilihat adalah bagaimana bendung air itu bisa terjadi,” kata dia.
Bendung air bisa terjadi secara alami, misalnya dari dahan, ranting, yang jatuh ke tanah. Namun, juga bisa tidak alami, misalnya saat ada pembalakan hutan, di mana material sisa pembalakan dibuang begitu saja di tanah. Material-material itulah yang dimungkinkan menahan air.
“Pembendungan air akan membentuk semacam ‘mangkok’ atau cekungan air. Dan ketika ada pemicu, seperti hujan deras atau gempa, sementara bendunga air sudah jenuh, maka mangkok/cawan/bendung air itu bisa bocor dan terjadilah banjir bandang,” kata Bayu.
Kajian Didik Suprayono dan Sudarno (Ketua MKTI Jatim dan pengurus MKTI Jatim) pada tahun 2019, bendung alami bisa tercipta sebagai dampak dari kebakaran hutan. Hutan di kawasan Arjuno terbakar berulang kali pada tahun 2019.
Kebakaran hutan, menurut Didik, berarti menghilangkan atau mengurangi tutupan lahan. Dengan berkurangnya tutupan lahan akan mengurangi intersepsi air hujan. Bila hujan deras terjadi, berkurangnya tutupan lahan dapat meningkatkan daya hancur air hujan terhadap permukaan tanah, menurunkan infiltrasi air hujan ke dalam tanah secara perlahan, karena pori-pori tanah banyak tersumbat hancuran tanah.
Selain itu, kebakaran juga menyebabkan seresah (berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah) ikut terbakar. Dengan terbakarnya seresah, maka peran seresah dalam mempertahankan infiltrasi dan dampak positif terhadap fungsi hidrologi menjadi tidak berfungsi.
Padahal, seresah berfungsi mempertahankan kegemburan tanah dengan melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung air hujan, sehingga agregat dan pori makro tanah tetap terjaga.
Masih menurut Didik, seiring terbakarnya hutan, serapan air oleh pohon menurun drastis. Selama ini, pohon menyerap air dari dalam tanah untuk proses metabolisme, sehingga sejumlah ruang pori menjadi kosong yang memungkinkan air hujan dapat meresap ke dalam tanah. Bila resapan air cukup cepat dan banyak, maka limpasan permukaan akan berkurang. Namun jika itu tak terjadi, maka yang terjadi adalah air akan melimpas.
Selain itu, menurut Dosen Ilmu Tanah Universitas Brawijaya tersebut, kekasaran permukaan pada bentang lahan seperti adanya cekungan, kelak-kelok aliran dan batuan, memberi peluang aliran air untuk untuk berhenti lebih lama dan meresap ke dalam tanah. Kondisi tersebut juga berfungsi sebagai filter sedimen. Namun bila hutan terbakar, maka fungsi kekasaran permukaan menjadi berkurang dalam mengatur hidrologi DAS.
Itu semua, menurut Sudarto dan Didik, memunculkan potensi kerawanan banjir bandang usai kebakaran hutan kawasan Arjuno. Hasil pengolahan data dengan kawasan DAS, daerah berisiko banjir bandang adalah Kabupaten Mojokerto (Desa Pacet, Cepokolimo, Mojokembang, Sumberkembar dan Jatijajar di Kecamatan Pacet), Kabupaten Pasuruan (Desa Prigen, Gambiran, Ledug, Sukolilo, Jatiargo dan Dayurejo di Kecamatan Prigen), Kabupaten Malang (Desa Toyomerto, Ardimulyo dan Candirenggo di Kecamatan Singosari serta Desa Ngenep dan Tawangargo (Kecamatan Karangploso), Kota Batu (Desa Sumbergondo, Kecamatan Bumiaji).
Malang Raya sudah memiliki sejarah longsor dan banjir bandang berulang kali. Awal tahun 2000-an, banjir banjang terjadi di Pujiharjo, Kecamatan Tirtoyudi, Kabupaten Malang (Malang Selatan). Di Kecamatan Singosari Kabupaten Malang, banjir bandang juga terjadi pada akhir tahun 1990-an. Tahun 2017, banjir bandang terjadi di Desa Sumberbrantas Kota Batu. Dan tahun 2016, terjadi banjir bandang di kaki Gunung Kawi tepatnya di Desa Karangwidoro Kota Malang dan di Wanawisata Cobanrondo.