Mengantar Garuda Kembali ke Alam di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Seekor elang jawa kembali dilepasliarkan di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Ini merupakan langkah untuk menambah populasi salah satu burung endemi terancam punah dari 32 spesies endemik lainnya di Jawa-Bali
Tebasan golok oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno memutus tali nilon—yang diikuti dengan terbukanya pintu kandang—menandai kebebasan Mirah, seekor garuda berumur dua tahun.
Elang jawa berjenis kelamin betina itu pun melesat terbang dan hilang di balik tebing kawasan Blok Trisula di dalam wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (29/10/2021), yang bersaput kabut tipis
Mirah kembali ke alam setelah 1,5 tahun menjalani rehabilitasi di Stasiun Flora Fauna Bunder, Gunung Kidul, yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta. Elang jawa (Nisaetus bartelsi) dengan panjang tubuh paruh-ekor 35 sentimeter (cm) dan rentang sayap 105 cm itu merupakan serahan dari warga Kabupaten Sleman.
Setelah dilepas, perkembangan Mirah akan dipantau melalui alat (marker) yang dipasang di bagian sayap. Jika dia belum bisa mencari makan, tim akan membantu menyediakan pakan di beberapa titik. Aktivitas pemantauan ini juga melibatkan mahasiswa Universitas Brawijaya Malang.
”Setelah sembilan hari, ketika si elang survive, maka kita anggap masa kritisnya sudah terlewati,” ujar Zaini Rakhman, Ketua Raptor Indonesia—jaringan kelompok kerja yang bergerak dalam upaya penelitian dan pelestarian burung pemangsa—yang ikut dalam pelepasliaran.
Selain Wiratno, turut hadir pada kesempatan ini, antara lain Penasihat Senior Menteri LHK Agus Pambagio, Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah setempat, Perhutani, dan masyarakat desa penyangga TNBTS.
Kawasan Blok Coban Trisula dipilih sebagai lokasi pelepasliaran setelah melalui serangkaian kajian dan observasi guna melihat potensi dan kelayakan area, termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya. Sebelumnya, ada beberapa alternatif lokasi yang mengemuka.
Pelepasliaran elang jawa kali ini merupakan yang kedua di TNBTS dalam 2,5 bulan terakhir. Sebelumnya, 18 Agustus, elang jawa bernama Araga dan elang ular bido (Spilornis cheela) bernama Moris dilepasliarkan di kawasan Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah IV Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Lumajang.
Seperti Mirah, Araga dan Moris juga berasal dari tangan warga. Araga merupakan sitaan dari masyarakat dan diserahkan warga ke BBKSDA Jawa Barat, sedangkan Moris diserahkan masyarakat di Bogor ke Pusat Suaka Satwa Elang Jawa Loji, Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
TNBTS dinilai sebagai habitat ideal bagi perkembangbiakan elang jawa. Kondisi hutannya masih relatif lebat. Daerah lainnya, seperti Gunung Halimun Salak di Jawa Barat dan Merapi di DI Yogyakarta-Jawa Tengah.
Jumlah elang jawa di TNBTS kini terpantau sebanyak 37 ekor (termasuk 2 ekor hasil pelepasliaran). Mereka tersebar di empat wilayah penyangga TNBTS, khususnya di wilayah Malang dan Lumajang yang tutupannya masih bagus. Dua wilayah lainnya Probolinggo dan Pasuruan.
Baca juga: Tren Populasi Elang Jawa di Bromo Tengger Semeru Meningkat
Berdasarkan catatan Kompas, jika pada 2013 ada 10 elang jawa teramati di SPTN 1 dan 2 TNBTS, maka tahun 2017 teramati 21 ekor di SPTN 1-3, dan tahun 2020 ada 27 ekor di SPTN 1-3. ”Kami rutin memonitor empat kali dalam setahun, terakhir Minggu kemarin,” kata Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar TNBTS Novita Kusuma Wardani.
Selain elang jawa, TNBTS juga menjadi rumah bagi 200-an spesies burung yang lain, macan tutul jawa yang terpantau ada 22 ekor, anggrek, macan kumbang, dan lainnya.
TNBTS juga menjadi jalur migrasi elang dari Asia Timur, seperti China, Korea, dan Siberia, yang bulan-bulan ini mulai marak. Biasanya mereka terbang secara berkelompok dari arah Gunung Banyak di Kota Batu, lalu berlanjut ke arah Indonesia timur.
Wiratno berharap elang yang baru saja dilepasliarkannya bisa segera beranak pinak. Menurut dia, jumlah elang jawa di habitat terus bertambah dan kini jumlahnya 571 ekor di Jawa. Selain di Jawa, ada indikasi elang serupa juga ada di Bali yang sekaligus merupakan data baru.
Wiratno juga meminta masyarakat tidak lagi berburu satwa dilindungi. Mereka bisa menikmati elang melalui pengamatan di lapangan. Sebaliknya, Wiratno mengapresiasi komunitas pencinta elang yang selalu memantau perkembangan satwa-satwa tersebut.
”Bahkan, di Taman Nasional Gunung Halimun Salak kita memantau proses perkawinan dan kelahiran elang jawa melalui CCTV pada ketinggian 25 meter di puncak pohon,” ujar Wiratno yang menawarkan wacana pembangunan pusat rehabilitasi elang jawa di Malang.
Sejauh ini tempat konservasi elang jawa ada di Jakarta, Jawa Barat, dan DI Yogyakata. Untuk wilayah Jawa bagian timur (Jatim) belum ada. Padahal BKSDA Jawa Timur juga kerap menyita elang dari masyarakat dan hasil perdagangan bebas.
”Di BBKSDA Jatim saja kemarin ada 25 elang sitaan. Karena belum memiliki tempat rehabilitasi, mau tidak mau beberapa elang terpaksa dikirim ke Jawa Barat dan Yogyakarta untuk menjalani rehabilitasi,” tutur Zaini. Saat ini ada 140 individu yang menjalani rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Elang Kamojang dan 26 ekor di Yogyakarta.
Pemerintah telah menetapkan elang jawa dan 24 spesies terancam punah lainnya sebagai prioritas dengan target peningkatan populasi tiga persen 2010-2014 dan 10 persen pada 2015-2019. Target peningkatan ini tidak mudah karena tingginya perburuan dan rendahnya tingkat perkembangbiakan.
Zaini menyinggung bagaimana populasi elang jawa turun akibat perburuan dan kerusakan habitat. Jika data tahun 2005 ada 435 pasang elang jawa, pada 2010 jumlahnya tinggal 325 pasang. Bahkan, dari hasil investigasi tahun 2015, ada 2.471 ekor elang yang diperdagangkan melalui media sosial, termasuk 127 di antaranya elang jawa. Mereka dijual mulai dari harga Rp 500.000 sampai jutaan rupiah per ekor.
Perkembangan elang jawa cukup lambat karena mereka bertelur 1-2 tahun sekali dengan jumlah telur satu butir. Itu pun tidak setiap telur bisa menetas. Ada pula yang menetas lalu jatuh ke pangkuan pemburu.
”Padahal kita negara paling kaya di dunia untuk jenis elang. Di dunia ada 311 jenis elang. Di Asia ada 90 jenis. Dari 90 jenis itu, 82 di antaranya tercatat di Indonesia,” kata Zaini yang menulis buku Garuda Mitos dan Faktanya di Indonesia.
Elang jawa identik dengan lambang negara, yaitu Garuda yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional bersama bunga Padma Raksasa (Rafflesia arnoldi) sebagai satwa dan tumbuhan langka nasional.
Padahal, kita negara paling kaya di dunia untuk jenis elang. Di dunia ada 311 jenis elang. Di Asia ada 90 jenis. Dari 90 jenis itu, 82 di antaranya tercatat di Indonesia.
Menanggapi wacana pembangunan tempat rehabilitasi elang jawa di Malang, Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto menyambut baik hal itu. Dan lokasi yang dinilai cocok, menurut Didik, berada di sekitar kawasan pelepasliaran Mirah.
”Tidak hanya untuk elang jawa saja, di TNBTS ada sekitar 200 jenis burung. Mungkin, burung apa saja yang terancam punah bisa ikut ditangani di tempat ini,” tuturnya.
Baca juga: Elang Jawa dan Elang Ular Bido Dilepasliarkan di TNBTS
Didik pun menghubungkan elang jawa dengan relief Garudeya di Candi Kidal yang berada di Tumpang. Candi pendermaan Anusapati (Raja Singasari) itu memiliki relief sosok manusia berkepala burung. Relief ini kerap disebut-sebut mengilhami lahirnya lambang negara Garuda.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara—Penjelasan Pasal 1 dan 3, antara lain, menyatakan bahwa lukisan Garuda diambil dari benda peradaban Indonesia, seperti hidup dalam mitologi, simbologi, dan kesusastraan Indonesia dan seperti pula tergambar dalam beberapa candi sejak abad ke VI-XVI. Candi yang dimaksud ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur (seperti Dieng, Mendut, Prambanan, Kidal).
Menurut Didik, jika candi dan tempat rehabilitasi itu bisa dihubungkan, akan menjadi wahana edukasi sekaligus pelestarian sumber daya alam yang menarik.
Bagaimanapun juga wacana tentang pusat rehabilitasi di Jawa Timur perlu disambut gembira tidak saja karena ini mendukung langkah konservasi, tetapi juga karena ”dunia” elang jawa di kawasan timur Pulau Jawa belum sekental di kawasan barat.
Aktivitas berkaitan dengan elang di Jawa Barat sudah dikenal sejak lama. Setidaknya, sejak seorang ornitolog kebangsaan Jerman Max Eduard Gottlieb Bartels (1871-1936) dan keluarganya—yang kemudian dikenal sebagai penemu elang jawa—tinggal hingga akhir hayatnya di Pasir Datar yang kini masuk wilayah Taman Nasional Gede Pangrango.