”A Thousand Cuts”, Ketika Demokrasi Disayat dan Pers Dibungkam
Para jurnalis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dibungkam dengan perundungan siber dan pemenjaraan. Gejala yang sama seperti di Filipina dikhawatirkan mulai dan sedang terjadi di Indonesia.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Film A Thousand Cuts karya Ramona S Diaz menggambarkan bagaimana demokrasi di Filipina disayat-sayat di masa pemerintahan Presiden Rodrigo R Duterte. Para jurnalis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dibungkam dengan perundungan siber dan pemenjaraan. Gejala yang sama dikhawatirkan mulai dan sedang terjadi di Indonesia.
Demikian benang merah acara menonton bersama dan diskusi film A Thousand Cuts yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang di Kota Padang, Sumatera Barat, Kamis (4/11/2021) malam. Diskusi menghadirkan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Indira Suryani sebagai pemantik.
Film berdurasi 1 jam 39 menit yang dirilis tahun 2020 ini menceritakan tentang Maria Ressa, jurnalis Filipina sekaligus pemimpin redaksi media daring Rappler. Rappler gencar mengkritik kebijakan sadis Presiden Duterte, yang membunuh para pengedar narkoba di jalanan tanpa proses pengadilan.
Film tersebut juga mengungkap indikasi pengerahan akun media sosial palsu untuk menggiring opini publik guna mereduksi fakta yang disampaikan pers dan melanggengkan kekuasaan Duterte. Sikap kritis Maria terhadap pemerintah melalui Rappler memicu perundungan siber terhadap para jurnalisnya, bahkan pemenjaraan terhadap Maria. Peraih hadiah Nobel Perdamaian tahun 2021 itu dipenjara 6 tahun atas tuduhan penipuan dan pencemaran nama baik.
Feri Amsari berpendapat, dari film itu terlihat ada kesamaan gejala yang terjadi di Filipina dan Indonesia, yang sama-sama menganut sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, ada suatu godaan untuk memperpanjang masa jabatan melalui kekuasaan. Duterte mulai melakukan itu setelah mengubah konsep masa jabatan presiden menjadi tujuh tahun satu periode.
”Duterte tergoda untuk memperpanjangnya. Kenapa? Karena inilah godaan kekuasaan sistem presidensial. Presiden itu dalam teorinya, adalah raja yang dibatasi konstitusi. Dia berlaku seperti raja karena seluruh kewenangan ada di presiden, atau tunggal. Presiden punya jabatan tetap, semua kekuatan melekat pada dirinya,” kata Feri.
Masyarakat mesti hati-hati dengan presiden seperti itu. Bisa saja, dia akan menggunakan kekuasaannya untuk kemudian menyayat-nyayat sejumlah elemen demokrasi. (Feri Amsari)
Duterte memulai jalannya menjadi presiden sejak 2016 sejak berhasil memenangkan hati publik. Kata Feri, Duterte pandai memanfaatkan kerinduan masyarakat akan pemberantasan narkoba yang lebih serius, sama dengan kerinduan masyarakat Indonesia terhadap sosok pemimpin yang merakyat dan rela masuk got. Namun, ketika ia mendapatkan simpati, ia tergoda untuk memperpanjang masa jabatannya.
Menurut Feri, masyarakat mesti berhati-hati dengan presiden seperti itu. Bisa saja, dia akan menggunakan kekuasaannya untuk kemudian menyayat-nyayat sejumlah elemen demokrasi. Itu bahasa persis yang digunakan Maria di dalam film A Thousand Cuts of Our Democracy. Dalam perspektif Maria, sayatan-sayatan itu memenjarakan kebenaran yang disampaikan para jurnalis. Dalam konteks ini, presiden begitu sensitif terhadap kritik.
”Kita sedang berhadapan dengan itu. Saya agak khawatir. Meskipun Duterte lebih dulu menggunakan pola kampanye dan lainnya, menggunakan buzzer, yang juga kita rasakan hari ini, saya agak khawatir, ujungnya, walaupun tipologi pimpinan berbeda, gestur dan cara berbicara berbeda, tetapi metode yang digunakan sama,” kata Feri yang juga pakar hukum tata negara itu.
Feri melanjutkan, kejahatan seperti yang dilakukan Duterte perlu diwaspadai terjadi di Indonesia. Jangan sampai kejahatan yang dilakukan Duterte berulang di Indonesia. Adapun kejahatan yang terjadi di Filipina mirip dengan kejadian penembakan misterius (petrus) di era Presiden Soeharto.
”Benahi kapitalis-kapitalis partai politik dan partai politiknya itu sendiri. Jangan sampai kapitalis partai politik menjadi pemilik media. Bukan tidak mungkin mereka mengendalikan seluruh informasi. Itu yang dikhawatirkan Maria Ressa, informasi salah yang disampaikan ke publik, tetapi dianggap benar. Itu sudah terjadi tahun 2014 dan 2019,” ujarnya.
Ditambahkan Feri, para jurnalis mesti memahami pesan yang disampaikan Maria di dalam film ini. Jangan diam ketika terjadi ketidakadilan terhadap orang lain, yang bukan dari golongan sendiri. ”Begitu jurnalis dibungkam, bahkan ditangkap, maka tidak ada apa-apa lagi karena orang tidak lagi mendapat informasi,” ujarnya.
Sementara itu, Indira Suryani berpendapat, film A Thousand Cuts ini menjadi motivasi bagi pejuang hak asasi manusia (HAM). Maria Ressa menunjukkan, semua perjuangan itu harus dinikmati, dijalani dengan bahagia, sampai hari-hari terakhir kebebasannya akan direnggut.
”Dalam perjuangan kebaikan, kemanusian, dan kebenaran, kita harus menikmati detik-detik itu walaupun detik-detik itu detik terberat untuk memperjuangkan sesuatu. Film ini memotivasi dan memberikan energi yang kuat kepada kita untuk selalu menyuarakan hal-hal yang benar,” kata Indira.
Indira melanjutkan, seperti yang disajikan di dalam film, dia melihat ada kesamaan antara Filipina dan Indonesia, salah satunya praktik oligarki. Ketika Duterte berkuasa, dia berupaya agar keluarga, kerabat, dan sahabatnya ikut berkuasa. Anak perempuan Duterte, Sara Davao, juga menjadi Wali Kota Davao, meneruskan jejak bapaknya.
Adapun fenomena buzzer yang terjadi di Filipina, lanjut Indira, juga terjadi di Indonesia. Apa yang dilakukan buzzer itu membelah masyarakat dan merusak demokrasi. Untuk itu, generasi muda perlu merebut ruang-ruang virtual itu guna menciptakan demokrasi yang lebih baik di dunia digital.
Ketua AJI Padang Aidil Ichlas mengatakan, menonton bersama dan diskusi film A Thousand Cuts ini digelar di sepuluh AJI kota yang tersebar di Indonesia. Kegiatan ini dalam rangka memperingati Hari Internasional Memperingati Impunitas Atas Kejahatan terhadap Jurnalis yang diperingati setiap tanggal 2 November sekaligus sebagai bentuk dukungan terhadap Maria Ressa.
”Film ini secara khusus kami harapkan dapat menjaga semangat para jurnalis dan aktivis dalam membela HAM sekaligus mengingatkan ancaman serupa di negara kita, seperti yang terjadi di Filipina,” kata Aidil.