Tidak Ada Monopoli, Dewan Pers Hanya Fasilitator Organisasi Pers
Peraturan di bidang pers justru dibentuk oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers, sedangkan Dewan Pers berperan sebagai fasilitator.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Ahli pers dan hukum pers berpandangan, tidak ada monopoli oleh Dewan Pers dalam pembentukan peraturan-peraturan di bidang pers. Peraturan tersebut justru disusun organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Dewan Pers hanya bertindak sebagai fasilitator.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring ”Dewan Pers Monopolistik, Benarkah?” yang diadakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Padang, Sabtu (16/10/2021). Diskusi ini menanggapi upaya uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pemohon Heintje Grontson Mandagie, Hans M Kawengian, dan Soegiharto Santoso.
Para pemohon mempersoalkan norma Pasal 15 Ayat (2) Huruf f dan Ayat (5). Ketidakjelasan tafsir Pasal 15 Ayat (2) Huruf f dinilai telah mencederai kemerdekaan dan kebebasan pers serta menghilangkan hak organisasi-organisasi pers dalam menyusun dan membuat peraturan-peraturan di bidang pers. Dewan Pers dinilai memonopoli semua pembentukan peraturan pers dan tidak memberdayakan organisasi-organisasi pers.
Mereka juga mengklaim ketidakjelasan tafsir Pasal 15 Ayat (5) melanggar hak konstitusional para pemohon. Dampaknya, Dewan Pers Indonesia yang terbentuk melalui Kongres Pers Indonesia 2019 di Asrama Haji Jakarta pada 6 Maret 2019 tidak kunjung ditetapkan dengan keputusan presiden.
Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Hendra Makmur berpendapat, peraturan di Dewan Pers justru dibuat dan disepakati organisasi pers. Kode etik jurnalistik, misalnya, dibuat dan disepakati oleh puluhan organisasi pers.
”Kode etik jurnalistik itu bukan dibuat Dewan Pers, tetapi organisasi pers,” kata Hendra, yang juga ahli pers, Sabtu.
Hendra melanjutkan, terkait pembentukan organisasi wartawan, ada persyaratan yang mesti dipenuhi. Syarat-syarat tersebut disepakati oleh 27 organisasi pers. Standar itu disepakati organisasi-organisasi tersebut sejak awal, bukan Dewan Pers. Dewan Pers hanya bertindak sebagai fasilitator.
Menurut Hendra, terus bertambahnya jumlah konstituen juga membuktikan bahwa tidak ada monopoli di Dewan Pers. Awalnya, hanya tujuh organisasi yang menjadi konstituen di Dewan Pers, yaitu tiga organisasi wartawan—PWI, AJI, dan IJTI—serta empat organisasi perusahaan pers—SPS, PRSSNI, ATVLI, dan ATVSI. Beberapa tahun terakhir ada tambahan konstituen, yaitu organisasi wartawan PFI serta organisasi perusahaan pers AMSI dan SMSI.
”Itu artinya apa? Tidak ada monopoli Dewan Pers oleh (konstituen) yang lama. Ada konstituen yang baru. Asal organisasi itu memenuhi syarat untuk menjadi konstituen Dewan Pers,” ujar Hendra, yang juga Pemimpin Redaksi Langgam.id.
Selanjutnya, soal standar kompetensi wartawan (SKW), kata Hendra, juga ditetapkan oleh konstituen Dewan Pers. SKW dirapatkan dan digodok menjadi peraturan oleh konstituen.
”Artinya, organisasi pers mengatur diri sendiri itu berjalan, Dewan Pers memfasilitasi. Aturan-aturan tersebut masuk akal untuk diikuti. Artinya, kalau kita benar-benar wartawan, benar-benar media, saya rasa itu bisa kita jalankan,” ujarnya.
Hendra berharap permohonan uji materi tersebut ditolak MK. Kalau seandainya dikabulkan, dampaknya sangat besar, kode etik jurnalistik dan aturan lain bisa habis. ”Dunia pers bisa sampai pada titik ketidakpastian, tidak jelas standarnya, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Sementara itu, ahli hukum pers Roni Saputra mengatakan, keberadaan Dewan Pers sebenarnya untuk memastikan kemerdekaan pers berjalan dan memastikan peningkatan kehidupan pers nasional. Dalam UU Pers diatur tentang keberadaan Dewan Pers yang independen. Independensi tersebut bisa dibuktikan dari komposisi perwakilan yang ada di Dewan Pers.
”Apakah komposisi sekarang sudah tepat? Sudah. Ada perwakilan organisasi wartawan, perwakilan organisasi perusahaan pers, dan perwakilan masyarakat yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Sehingga memang betul-betul ditujukan agar kemerdekaan pers berjalan baik,” kata Roni, yang pernah menjabat Direktur LBH Pers Padang.
Roni melanjutkan, dalam pembentukan aturan, Dewan Pers hanya bertindak sebagai fasilitator. Semua aturan dan ketentuan yang dikeluarkan Dewan Pers berdasarkan kesepakatan organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
Organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers, misalnya, sepakat mengadakan uji kompetensi wartawan dan pendaftaran perusahaan pers. Itu diakomodasi Dewan Pers untuk mengembangkan pers yang profesional.
Menurut Roni, apabila permohonan uji materi dikabulkan, salah satu konsekuensi yang muncul adalah adanya kode etik jurnalistik yang berbeda-beda dan tidak ada lagi dewan yang akan menegakkan kode etik jurnalistik. Selain itu, akan muncul perusahaan pers yang tidak profesional dan tidak ada yang bisa memastikan kemerdekaan pers bisa terjaga.
”Jika permohonan ini dikabulkan, akan memunculkan persoalan baru, misalnya soal pendataan perusahaan pers, keanggotaan, dan lainnya. Kalau Mahkamah Konstitusi ingin menjaga kemerdekaan pers berjalan benar dan profesional, permohonan ini patut untuk dipertimbangkan untuk ditolak,” ujar Roni.